Coba deh perhatiin sekitar kita. Anak-anak zaman sekarang kayaknya udah lahir barengan sama gadget. Baru umur 3 tahun aja, sudah bisa buka YouTube sendiri, pilih video kesukaan, bahkan tahu cara skip iklan. Fenomena ini bikin banyak orang tua geleng-geleng kepala.
Media sosial, yang tadinya lebih banyak dipakai orang dewasa, sekarang jadi teman akrab anak-anak usia dini. Pertanyaannya: bagus nggak sih buat tumbuh kembang mereka? Jawabannya ternyata nggak sesederhana “boleh” atau “nggak boleh”. Ada manfaat yang bisa dipetik, tapi juga ada risiko yang harus hati-hati dijaga (Pebriani & Darmiyanti, 2024).
Media Sosial Bisa Jadi Guru Tambahan
Buat anak-anak di usia emas (golden age), media sosial bisa jadi tempat belajar yang menyenangkan. Contoh gampangnya, banyak orang tua yang ngenalin huruf dan angka lewat Cocomelon, Little Baby Bum, atau channel edukasi anak di YouTube. Tanpa sadar, anak jadi bisa nyanyi alfabet, tahu warna, atau bahkan hafal angka dalam bahasa Inggris. Ada juga konten edukasi di TikTok yang mengajarkan berhitung dengan lagu atau eksperimen sederhana yang bikin anak penasaran.
Selain itu, media sosial juga bisa membantu anak menyalurkan bakatnya. Misalnya, ada anak yang suka nyanyi lalu direkam orang tuanya dan diunggah ke Instagram atau TikTok. Dari situ, bakatnya bisa berkembang, bahkan berpotensi diapresiasi orang lain. Guru pun mulai memanfaatkan media sosial, misalnya lewat grup WhatsApp orang tua untuk berbagi materi tambahan. Dengan begitu, anak-anak bisa belajar lebih fleksibel, nggak hanya di kelas.
Risiko yang Sering Terjadi
Nah, meskipun ada banyak sisi positif, kita juga nggak bisa tutup mata sama dampak negatifnya. Dunia maya itu luas banget, dan nggak semua konten aman buat anak. Kadang niatnya cuma mau nonton kartun, tapi bisa nyasar ke video dengan adegan kekerasan atau bahasa kasar. Kalau terus-terusan terpapar, anak bisa jadi gampang marah, meniru kata-kata kasar, atau menunjukkan perilaku yang kurang baik.
Selain itu, kebiasaan main gadget juga bisa bikin anak lupa waktu. Banyak orang tua cerita kalau anaknya jadi susah tidur karena terbiasa nonton YouTube sebelum tidur. Ada juga yang lebih suka main game online kayak Roblox daripada main di luar rumah. Akibatnya, anak kurang bergerak, gampang lelah, dan minim interaksi sosial. Dari sisi sosial, kebiasaan ini juga bisa bikin anak jadi kurang percaya diri saat harus ngobrol langsung dengan teman sebaya. Mereka mungkin lebih nyaman lewat chat, tapi minder kalau tatap muka.
Peran Orang Tua dan Guru Itu Penting Banget
Supaya anak nggak kebablasan, peran orang tua dan guru jadi sangat penting. Orang tua bisa bikin aturan waktu layar, misalnya maksimal 1 jam sehari untuk menonton YouTube atau main game. Selain itu, orang tua juga sebaiknya mendampingi anak saat menonton, biar bisa langsung memberi penjelasan kalau ada konten yang kurang sesuai.
Guru pun bisa ikut berperan dengan cara mengajarkan etika digital sederhana, seperti bersikap sopan di dunia maya atau tidak mudah percaya dengan orang asing di internet. Di sisi lain, platform media sosial dan pemerintah juga punya andil. Misalnya, YouTube sudah meluncurkan YouTube Kids untuk menyaring konten, meski tetap butuh pengawasan. Pemerintah pun diharapkan hadir lewat aturan perlindungan data anak dan pengawasan konten yang ramah anak (Pebriani & Darmiyanti, 2024).
Penutup: Bijak Itu Kuncinya
Media sosial ibarat koin dengan dua sisi. Di satu sisi, bisa membantu anak belajar, mengembangkan bakat, dan menambah kreativitas. Di sisi lain, ada risiko paparan konten negatif, masalah kesehatan, dan berkurangnya interaksi sosial langsung. Karena itu, kuncinya ada di keseimbangan.
Anak-anak tetap butuh main di luar, lari-larian, dan ketemu teman sebaya. Media sosial bisa jadi tambahan, bukan satu-satunya hiburan. Dengan kerjasama orang tua, guru, penyedia platform, dan pemerintah, anak-anak bisa menikmati manfaat dunia digital tanpa kehilangan masa kecilnya yang sehat, ceria, dan penuh interaksi nyata.
Baca Juga
-
Guru yang Menjadi Cermin: Keteladanan yang Membangun Karakter Siswa
-
Menemukan Ketenangan di Tengah Dunia yang Selalu Online
-
Efisiensi Tanpa Overthinking: Menata Ulang Budaya Kerja Lembaga Mahasiswa
-
Duet Ayah dan Anak di Pemilu: Sah secara Hukum, tapi Etiskah?
-
Generasi Z di Pusaran Globalisasi: Masihkah Cinta Tanah Air?
Artikel Terkait
-
'Abuse of Power?' Kemendagri Sebut Wali Kota Arlan Langgar Aturan Copot Kepala SMP 1 Prabumulih
-
Padahal Orangtua Kandung, Kenapa Suami Mpok Alpa Ajukan Perwalian Anak? Begini Menurut Hukum
-
Terkuak! Kejagung Ogah Kasih Keterangan Soal Pemeriksaan Anak Jusuf Hamka karena Ini
-
Kumpulan Prompt Gemini AI untuk Edit Foto Bareng Ayah, Hasil Natural dan Gaya Variatif
-
Buntut Aksi Pemukulan Siswa ke Guru, Dikeluarkan Sekolah dan Ayah yang Polisi Terancam Sanksi
Kolom
-
Bangga! Omara Esteghlal muncul di 'Romantics Anonymous' Bareng Bintang Asia
-
Guru yang Menjadi Cermin: Keteladanan yang Membangun Karakter Siswa
-
Terjebak dalam Kritik Diri, Saat Pikiran Jadi Lawan Terberat
-
Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
Terkini
-
Pandji Pragiwaksono Dituntut Sanksi Hukuman 50 Kerbau usai Stand Up Comedy Singgung Adat Toraja
-
Jessica Iskandar Bangga dengan Hasil Rapor El Barack: You Are My Einstein!
-
4 Serum Korea Glutathione, Bikin Wajah Glowing Merata dan Cegah Flek Hitam!
-
Disebut Sebagai Putra Mahkota Keraton Solo, Intip Profil KGPH Purbaya
-
Onad Terseret Narkoba, Menguak Apa Itu Ganja dan Ekstasi serta Bahayanya