Sekar Anindyah Lamase | Thedora Telaubun
Ketua LPSK Achmadi saat konferensi pers usai acara dialog bersama Polri dan Kejaksaan di Jakarta, Kamis (18/12/2025). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)
Thedora Telaubun

Restitusi selama ini diposisikan sebagai bagian penting dari pemulihan hak korban tindak pidana. Namun, realisasinya di lapangan masih menghadapi banyak hambatan. 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai, meski restitusi telah memiliki dasar hukum yang jelas, pelaksanaannya belum berjalan optimal dan kerap meninggalkan korban dalam ketidakpastian.

Ketua LPSK Achmadi mengungkapkan bahwa tantangan restitusi tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga struktural. 

Ia menyoroti perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan jumlah korban massal, persoalan restitusi kurang bayar, hingga belum optimalnya penerapan sita jaminan restitusi sebagai kendala yang sering muncul.

“Selain itu, terdapat tantangan khusus, seperti perkara TPPU dengan korban massal, restitusi kurang bayar, serta belum optimalnya penerapan sita jaminan restitusi,” kata Achmadi, dikutip dari Suara.com pada Jumat (19/12/2025). 

Kondisi tersebut membuat restitusi yang sudah diputuskan di pengadilan tidak selalu berujung pada pemenuhan hak korban. 

Dalam banyak kasus, putusan hakim hanya berhenti sebagai dokumen hukum, sementara dampak nyata yang seharusnya diterima korban belum sepenuhnya terwujud. 

Korban kembali berada di posisi lemah ketika berhadapan dengan pelaku yang tidak memiliki kemampuan finansial memadai.

Achmadi menambahkan, kendala lain muncul dari belum efektifnya mekanisme penyitaan dan pelelangan aset pelaku, serta lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan putusan restitusi. 

Situasi ini memperpanjang jarak antara putusan hukum dan realitas yang dialami korban.

“Meskipun kewajiban restitusi telah ditetapkan melalui putusan pengadilan, pelaksanaannya seringkali kurang optimal akibat keterbatasan kemampuan finansial pelaku, belum efektifnya mekanisme penyitaan dan pelelangan aset, serta lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan putusan restitusi,” imbuhnya.

Di sisi lain, proses pengajuan restitusi juga dinilai belum sepenuhnya berpihak pada kondisi korban. 

Prosedur yang kompleks, tenggat waktu yang ketat, serta beban pembuktian kerugian yang tidak sederhana kerap menjadi hambatan tambahan, terutama bagi korban yang masih berada dalam situasi trauma.

Situasi ini menunjukkan bahwa pemulihan korban belum sepenuhnya menjadi pusat perhatian dalam sistem peradilan pidana. 

Negara masih sangat bergantung pada kemampuan pelaku untuk memenuhi kewajibannya, tanpa skema alternatif yang cukup kuat ketika pelaku tidak mampu membayar restitusi.

Keadilan bagi korban tidak cukup berhenti pada vonis pengadilan. 

Tanpa penguatan mekanisme eksekusi, pengawasan yang konsisten, serta pendekatan yang lebih berorientasi pada kondisi korban, restitusi berisiko tetap menjadi hak yang sulit diwujudkan, meski telah dijanjikan oleh hukum.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS