Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah pada awal 2025 sejatinya hadir sebagai angin segar di tengah kekhawatiran terhadap gizi anak-anak sekolah.
Dengan visi besar untuk menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas pendidikan, MBG menjadi simbol intervensi negara yang progresif di bidang kesehatan anak. Sayangnya, seperti banyak proyek ambisius lainnya, niat baik tak selalu sejalan dengan realitas di lapangan.
Sejak program ini berjalan, laporan demi laporan bermunculan dari berbagai wilayah di Indonesia. Isinya mencengangkan, di mana banyak siswa keracunan, muntah-muntah, bahkan dilarikan ke rumah sakit.
Dari Bombana di Sulawesi Tenggara, Sukoharjo di Jawa Tengah, hingga Nunukan di Kalimantan Utara, kejadian serupa terus berulang. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan asupan gizi untuk mendukung tumbuh kembangnya justru harus menanggung risiko kesehatan serius dari makanan yang seharusnya aman.
Kita tidak sedang berbicara soal insiden sekali dua kali. Ini adalah pola. Sesuatu yang sistemik. Sesuatu yang semestinya tidak dianggap sebagai noise dalam proses besar. Lalu, bagaimana bisa program yang dimaksudkan untuk menyelamatkan justru membahayakan?
Sistem Gagal dari Hulu ke Hilir
Dari berbagai laporan yang beredar, ada beberapa akar masalah yang mulai terbaca jelas. Pertama, persoalan bahan baku. Banyak makanan disajikan dalam kondisi tidak layak konsumsi sepertu makanan berlendir, bau amis, busuk bahkan ditemukan bagian yang berulat.
Ini menunjukkan rantai pasokan bahan pangan yang buruk, tidak dikontrol secara ketat, dan mungkin dikompromikan demi efisiensi biaya atau kecepatan distribusi.
Kedua, pengolahan makanan. Sejumlah menu ditemukan belum matang sempurna, misalnya ayam goreng yang masih berdarah di dalam. Prosedur sanitasi dapur pun patut dipertanyakan.
Ketiga, distribusi dan penyimpanan makanan yang bermasalah. Menu MBG yang disiapkan pagi hari dan dikonsumsi siang dalam suhu ruang tropis jelas menimbulkan risiko tinggi jika tidak disimpan dengan benar.
Makanan berpotensi terkontaminasi bakteri berbahaya seperti Salmonella atau E. coli, apalagi jika tidak ada sistem rantai dingin (cold chain) dalam transportasinya.
Dan terakhir, tentu saja lemahnya pengawasan. Baik di tingkat sekolah, dinas pendidikan, maupun dinas kesehatan, tampaknya belum ada sistem monitoring dan evaluasi yang menyeluruh dan aktif.
Bahkan, dalam beberapa kasus, justru muncul narasi untuk meredam kasus agar tidak mencoreng citra program. Ini sangat disayangkan.
Gizi Makanan yang Tak Menyentuh Rasa Aman
Kita semua tentu sepakat bahwa program makan gratis adalah bentuk perhatian negara yang patut diapresiasi. Tapi perhatian yang sembrono sama bahayanya dengan ketidakpedulian.
Memberikan makanan tanpa menjamin kualitasnya seperti memberi payung yang berlubang saat hujan lebat, lebih baik tidak diberi sama sekali.
Anak-anak sekolah adalah kelompok rentan. Mereka belum punya kendali atas apa yang masuk ke tubuh mereka, karena kepercayaan penuh diletakkan pada guru, pihak sekolah, dan tentu saja negara.
Maka, jika dalam kepercayaan itu terselip racun karena lalai, kita bukan hanya mencederai perut mereka, tapi juga kepercayaan mereka terhadap sistem.
Kasus MBG ini seharusnya jadi cermin. Bahwa sebuah program publik tidak bisa hanya dinilai dari besarnya anggaran, jumlah target, atau pencapaian administratif. Program publik harus dinilai dari seberapa aman dan bermartabat pelaksanaannya.
Pentingnya Evaluasi Masalah MBG
Kita memerlukan audit menyeluruh terhadap program MBG. Bukan sekadar permintaan maaf atau kunjungan pejabat ke rumah sakit.
Pemerintah harus meninjau ulang proses pengadaan bahan makanan, seleksi penyedia, sistem pengolahan dan penyimpanan, hingga sistem pelaporan jika terjadi insiden. Perlu ada standar operasional yang tidak bisa ditawar dan harus diterapkan merata, dari kota besar hingga pelosok.
Selain itu, transparansi harus ditegakkan. Masyarakat berhak tahu menu harian anak-anak mereka, sumber bahan baku, penyedia makanan, hingga hasil inspeksi dapur dan distribusi. Sekolah juga perlu dilatih dalam deteksi dini makanan yang tidak layak konsumsi dan harus punya protokol tanggap darurat.
Antara Niat Baik dan Kenyataan Pahit di Meja Makan Sekolah
Kita tidak sedang menentang program MBG. Sebaliknya, kita ingin program ini berjalan sukses, berkelanjutan, dan menjadi contoh bahwa negara bisa hadir dalam perut anak-anaknya. Tapi kesuksesan itu tidak akan datang jika negara gagal mendengar suara anak-anak yang muntah di kelas, atau suara orang tua yang gelisah di depan UGD.
Gizi bukan sekadar soal isi piring. Ini soal rasa aman, kepercayaan, dan hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang sehat. MBG adalah janji besar. Dan setiap janji besar, harus ditepati dengan tanggung jawab yang setara.
Baca Juga
-
Wajib Tahu, Rahasia Peningkatan Motorik di Balik Permainan Futsal
-
Futsal di Era Digital: Menggiring Bola dan Menggiring Hidup Lebih Baik
-
SEVENTEEN Ajak Memaknai Cinta dan Bahagia dalam Lagu 'Candy'
-
Futsal Zaman Now: Ekspresi Diri, Kepribadian, dan Gaya Hidup Anak Muda
-
Demokrasi Bukan Sekadar Kotak Suara, Tapi Nafas Kehidupan Bangsa
Artikel Terkait
-
Telur Ceplok vs Dadar, Mana yang Lebih Bergizi? Ini Pilihan Prabowo untuk Menu MBG
-
MBG Jalan Terus Meski Ribuan Anak Keracunan, Bivitri Susanti Murka: Keras Kepala Betul Macam Batu!
-
Problem MBG Bikin Ahli Gizi Masyarakat Murka, Saatnya Evaluasi atau Stop?
-
Ribuan Siswa Jadi Korban Keracunan MBG, Pakar Hukum Sebut Negara "Punya Niat Jahat"?
-
Apakah Ikan Hiu Boleh Dikonsumsi? Jadi Lauk MBG yang Bikin Puluhan Siswa Keracunan
Kolom
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Santri Pelopor dan Pelapor: Melawan Bullying di Pesantren
-
Media Sosial, Desa, dan Budaya yang Berubah
-
Ketika Whoosh Bikin Anggaran Bengkak, Kereta Konvensional Jadi Anak Tiri?
Terkini
-
Patrick Kluivert Coret Pemain Langganan, Manuver Cerdik atau Malah Blunder?
-
Sempat Panik! Justin Hubner Hilangkan Cincin Rp60 Juta dari Jennifer Coppen
-
Buaian Coffee Jogja: Kisah 'Rumah' Hangat yang Lahir dari Ruang Kosong di Gang Sempit
-
Dari Reformasi Sampai Gen Z: Kisah FODIM, Komunitas Kritis yang Tak Lekang Waktu di Atma Jaya
-
Dari Nada ke Warna: Slank Hadirkan Harmoni Alam di Dinding Rumah