Sekar Anindyah Lamase | Imas Hanifah N
Ilustrasi dua orang sedang melakukan wawancara. (Pixabay/geralt)
Imas Hanifah N

“Ya, nama saya Okan. Di dalam novel yang ditulis Nyonya Cho, saya berperan sebagai laki-laki muda yang jatuh cinta dengan seorang gadis dari keluarga kaya. Tapi, tentu saja saya sadar diri kalau saya tidak layak. Saya hanyalah seorang montir miskin, yang kebetulan pernah membetulkan mobilnya satu kali. Di pertemuan itu, saya jatuh cinta kepadanya. Tapi, ia tidak. Novel Nyonya Cho tidak seperti sinetron. Dan mungkin karena itulah, banyak peminatnya.”

Saya mengangguk-angguk sembari mencatat dengan hati-hati setiap kata yang keluar dari mulut Okan. Memperhatikan ekspresinya, tampak bahwa Okan memang mengatakan semuanya dengan penuh kejujuran. Sebagai wartawan, saya bisa sedikit-banyaknya tahu bagaimana ekspresi seseorang yang jujur atau bohong. 

“Baiklah, Tuan Okan. Kita beralih ke pertanyaan selanjutnya. Menurut Tuan Okan, apakah karakter Tuan Okan di sini, cukup pas dengan yang Tuan inginkan?”

Okan tersenyum penuh arti. Saya tahu, mungkin soal itu, ia sedikit tak sepaham dengan Nyonya Cho. 

“Kalau memang tidak seperti yang saya inginkan, mau bagaimana lagi? Toh, Nyonya Cho yang menciptakan segalanya tentang saya. Walaupun ya, saya pernah berpikir beberapa kali untuk keluar dari karakter yang saya miliki. Seperti misalnya, saya kepikiran ingin merampok bank, karena sudah tidak tahan jadi orang miskin, tapi saya ingat lagi kalau karakter Okan yang dibuat Nyonya Cho adalah karakter yang tabah dan amat baik. Meskipun Anda tahu kan, kalau pada akhirnya Okan tetap membunuh orang di akhir cerita.”

“Betul. Ini juga yang ingin saya tanyakan kepada Tuan Okan. Saya tahu bahwa di dalam novel Nyonya Cho, Anda memang membunuh seseorang di akhir cerita. Akan tetapi, itu juga ada alasannya. Menurut Tuan Okan, apakah itu cukup kuat untuk membuat karakter Anda berubah sangat drastis?”

Okan sedikit berpikir lebih lama sebelum menjawab, “Jadi begini, Tuan Pewawancara. Saya sebetulnya gelisah ketika Nyonya Cho memberikan alasan itu. Alasannya sebenarnya tidak cukup kuat bagi saya. Ia menempatkan saya sebagai seseorang yang jatuh cinta, malah dibutakan oleh cinta terhadap satu wanita yang tidak mencintai saya balik. Saya kira memang agak berlebihan, ya,"

"Di dunia ini, banyak sekali perempuan. Jadi, kenapa saya hanya mencintai satu orang? Akan tetapi, Tuan, ketika saya kembali mengingat latar belakang saya di dalam novel Nyonya Cho, bahwa saya hidup sejak kecil dengan segudang kepedihan, ditinggalkan begitu saja oleh orang tua saya dan berjuang hidup sendirian di jalanan pinggiran kota yang kumuh, saya jadi maklum,"

"Perempuan itu, Tuan Pewawancara, perempuan itu, walaupun tidak mencintai saya, ia sangat sempurna. Sungguh, tak ada cela. Bukan hanya soal cantik, bukan soal budinya yang baik, ia punya segala kesempurnaan yang didambakan manusia. Maka, ketika ia disakiti oleh orang lain, saya geram. Saya merasa itu tak boleh terjadi. Saya merasa cukup sudah ada satu orang yang hidupnya penuh kemalangan setiap hari. Cukup saya. Jadi, itulah mengapa saya membunuh.”

Okan meminum secangkir teh yang ada di meja kami. Saya pun melakukan hal yang sama. Saya terpukau dengan cara Okan menjelaskan karakternya di dalam novel Nyonya Cho, sehingga saya merasa ikut kembali masuk ke dalam ceritanya. Walaupun kali ini dengan cara yang berbeda. 

“Kalau begitu, kali ini, soal pendapat dari pembaca. Banyak sekali yang menginginkan adanya buku kedua yang menampilkan Okan menjadi orang yang lebih berbahagia. Apakah Anda setuju mengenai hal itu? Dengar-dengar, Nyonya Cho memang tertarik untuk menciptakan buku kedua.”

Okan tersenyum. Saya ikut tersenyum. Mungkin kami punya pendapat serupa.

“Tentunya saya ingin. Sebagai sosok Okan di dalam novel Nyonya Cho, saya tidak ingin berakhir di penjara seumur hidup. Saya ingin keadilan menghampiri saya, sekalipun itu terdengar mustahil. Karena ya, Anda tahu sendiri seperti apa keadilan di negeri yang ada di novel saya itu. Semua pejabatnya busuk."

Okan kembali menyeruput tehnya sejenak, sebelum melanjutkan. “Tapi, meskipun saya juga setuju soal pendapat para pembaca, tapi Nyonya Cho sedang mengerjakan proyek lain. Mungkin buku baru dengan judul yang sudah direncanakan sebelumnya, atau mungkin dia sedang banyak jadi narasumber di kampus-kampus. Saya memahami hal itu dan berpikir harus lebih tahu diri. Toh, saya hanya sosok yang harus berperan sesuai dengan Nyonya Cho inginkan di dalam novel. Jadi ya, kita tunggu saya, hahaha.”

Tawa itu menular. Saya jadi ikut-ikutan juga. 

“Wah, berharap sekali buku kedua betul-betul diciptakan oleh Nyonya Cho. Saya penggemar Anda juga sebetulnya.”

“Wah, hahaha. Rupanya banyak juga yang suka dengan tokoh pembunuh ya? Ya ampun. Baiklah. Saya bersyukur peran saya bisa diterima dengan baik.”

“Baiklah. Saya tutup wawancara hari ini. Terima kasih kepada Tuan Okan, saya harap Anda selalu berbahagia.”

Tuan Okan mengangguk dan menjabat tangan saya. Setelahnya, saya juga memintanya untuk mengambil foto bersama. Ia sangat ramah. Tidak lupa, saya juga menyodorkan novel Love and Jail kepadanya untuk ditandangani. Awalnya, ia menolak.

“Lho, harusnya Nyonya Cho yang tanda tangan,” katanya. 

“Tenang, saya beli dua. Satu sudah ditandatangani oleh Nyonya Choi.”

“Waduh, hahaha. Ini pertama kalinya ada yang meminta saya tanda tangan novel yang saya perankan.”

Mendengar itu, saya bahagia sekali. Saya berdoa semoga buku kedua benar-benar dibuat oleh Nyonya Cho dan saya bisa melakukan wawancara lagi dengan Tuan Okan di kesempatan berikutnya. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS