Lintang Siltya Utami | Angelia Cipta RN
Ilustrasi Kehidupan Nelayan (Pexels/Ric Andy)
Angelia Cipta RN

Kegigihan nelayan pesisir sering dipahami secara dangkal sebagai keberanian menghadapi laut. Padahal, yang mereka hadapi bukan hanya ombak dan cuaca, tetapi juga sistem yang membuat hidup mereka terus berada dalam ketidakpastian.

Setiap melaut adalah pertaruhan antara pulang membawa hasil atau pulang dengan tangan kosong. Dalam kondisi cuaca yang semakin tak menentu akibat perubahan iklim, kegigihan nelayan bukan lagi pilihan heroik, melainkan keharusan agar hidup tetap berjalan

Ironisnya, kegigihan ini sering dinormalisasi. Nelayan dianggap sudah terbiasa hidup susah dan tak tentu, sehingga kerentanan mereka seolah wajar dan tidak mendesak untuk diselesaikan secara struktural.

Padahal, di balik kegigihan itu tersimpan kelelahan panjang harga ikan yang tidak stabil, biaya operasional yang meningkat, serta ruang tangkap yang menyempit akibat kebijakan dan investasi pesisir. Kegigihan nelayan, dalam konteks ini, adalah bentuk perlawanan sunyi terhadap sistem yang tidak memberi mereka banyak pilihan.

Perempuan Pesisir Sosok Penopang Hidup yang Tak Diakui

Jika kegigihan nelayan terlihat di laut, maka kegigihan perempuan pesisir berlangsung di ruang yang sering luput dari perhatian.

Mereka mengelola rumah tangga dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, mengolah hasil laut, mencari tambahan penghasilan, dan menjaga keberlanjutan keluarga ketika laut tidak bersahabat. Saat hasil tangkapan menurun, perempuanlah yang pertama kali memutar otak agar dapur tetap berasap.

Namun, peran sentral perempuan pesisir jarang diakui dalam kebijakan maupun narasi pembangunan. Mereka sering diposisikan hanya sebagai pendamping nelayan, bukan aktor ekonomi dan sosial yang mandiri.

Kegigihan mereka dianggap bagian dari kewajiban domestik, bukan kerja produktif yang layak dihitung. Ketika krisis lingkungan dan ekonomi terjadi, beban perempuan justru berlipat, sementara akses mereka terhadap perlindungan sosial dan pengambilan keputusan tetap terbatas.

Kegigihan yang Lahir dari Ketiadaan Pilihan

Penting untuk membaca kegigihan masyarakat pesisir secara kritis, agar tidak terjebak pada romantisasi. Kegigihan nelayan dan perempuan pesisir sering kali bukan lahir dari pilihan bebas, melainkan dari ketiadaan alternatif.

Bertahan menjadi satu-satunya jalan ketika akses terhadap pendidikan, pekerjaan lain, dan perlindungan negara sangat terbatas. Dalam konteks ini, kegigihan adalah strategi bertahan, bukan kondisi ideal.

Romantisasi kegigihan justru berbahaya karena menutupi kegagalan struktural. Ketika masyarakat pesisir dipuji karena tangguh, perhatian terhadap akar persoalan kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, dan kebijakan yang tidak berpihak menjadi kabur.

Kegigihan mereka seharusnya menjadi alarm, bukan penghiburan. Ia menandakan adanya ketidakadilan yang terus dipikul oleh kelompok yang sama, dari generasi ke generasi.

Kegigihan masyarakat pesisir, terutama perempuan dan nelayan, bukan sekadar kisah inspiratif. Ia adalah cermin ketimpangan struktural yang belum diselesaikan.

Menghargai kegigihan berarti lebih dari sekadar mengagumi daya tahan mereka. Ia menuntut perubahan kebijakan yang mengurangi beban, memperluas pilihan, dan mengakui peran mereka secara adil. Tanpa itu, kegigihan akan terus menjadi cerita tentang bertahan bukan tentang hidup yang benar-benar layak.