Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilustrasi mahasiswa (pexels/Ivan Samkov)
Sherly Azizah

Masa perkuliahan sering dianggap sebagai fase kemerdekaan dan puncak eksplorasi diri, termasuk dalam hal menjalin hubungan romantis. Namun, benarkah jatuh cinta di masa ini adalah awal dari kehancuran, atau justru penyemangat? Berbagai penelitian mengemukakan adanya dua sisi ekstrem.

Disadur dari penelitian "Pengaruh Pacaran terhadap Konsentrasi Mahasiswa dalam Perspektif Islam dan Ilmu Psikologi" di jurnal Nathiqiyyah, hubungan percintaan memang memiliki pengaruh signifikan terhadap konsentrasi belajar mahasiswa, yang dapat mengganggu fokus dan berpotensi menurunkan prestasi akademik, bahkan memengaruhi hubungan sosial lainnya.

Namun, penting untuk melihatnya secara netral: hubungan romantis di kampus adalah pisau bermata dua yang keberhasilannya sangat bergantung pada kedewasaan pengelolanya.

Di satu sisi, hubungan romantis yang sehat (sering disebut support system yang baik) bisa menjadi katalisator positif. Pasangan yang memiliki visi akademik serupa dan saling mendukung dapat meningkatkan motivasi belajar. Mereka bisa saling mengingatkan tenggat waktu tugas, belajar bersama untuk ujian, dan menjadi sandaran emosional saat tekanan kuliah memuncak.

Rasa memiliki dan dicintai ini—seperti yang sering dicatat dalam kajian psikologi perkembangan—dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental, yang secara tidak langsung berdampak baik pada kinerja di kelas. Ini adalah skenario ideal di mana cinta berjalan beriringan dengan ambisi.

Namun, skenario ideal jarang terjadi. Konflik, pertengkaran, dan drama adalah menu harian dalam hubungan di usia dewasa awal. Dan inilah titik kehancuran yang ditakuti. Sebuah perpisahan yang pahit di tengah semester dapat benar-benar merenggut konsentrasi, mengubah waktu belajar menjadi sesi meratapi nasib, dan membatalkan jadwal kuliah demi mengasingkan diri.

Waktu adalah komoditas paling berharga bagi mahasiswa, dan hubungan yang menuntut perhatian berlebihan akan menggerus waktu tersebut habis-habisan. Mahasiswa bisa kehilangan jam belajar krusial hanya untuk berkencan atau menanggapi pesan yang tiada akhir.

Lebih jauh lagi, hubungan di masa kuliah seringkali melibatkan ketergantungan emosional yang tidak sehat. Ketika seseorang terlalu mengandalkan pasangannya untuk validasi dan rasa percaya diri, kehancuran hubungan akan terasa seperti hilangnya identitas.

Kegagalan romantis saat ini bisa menunda kelulusan, bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena hilangnya fokus total pada tujuan akademik. Tujuan utama masuk kuliah—yaitu menuntut ilmu dan meraih gelar—bergeser menjadi tujuan sekunder, dikalahkan oleh upaya mempertahankan hubungan.

Maka, jatuh cinta di dunia perkuliahan bukanlah tentang kehancuran yang tak terhindarkan, melainkan tentang pertaruhan prioritas. Apakah Anda mampu menempatkan tujuan akademik dan perkembangan pribadi sebagai fondasi utama, menjadikan pasangan sebagai sayap, bukan sebagai rantai? Jika cinta membuat Anda lebih termotivasi, lebih teratur dalam manajemen waktu, dan lebih kuat secara emosional menghadapi tantangan skripsi, maka ia adalah aset.

Namun, jika cinta mengubah Anda menjadi pribadi yang emosional, mengorbankan tidur untuk tugas demi menghabiskan waktu bersama, atau mengubah suasana hati Anda sepenuhnya hanya karena pesan dari pasangan tidak dibalas, maka ia telah menjadi liabilitas.

Kunci untuk bertahan adalah kedewasaan: kemampuan untuk menetapkan batasan yang jelas, berkomunikasi tentang tujuan akademik, dan yang terpenting, tidak pernah membiarkan kebahagiaan (atau kesedihan) Anda sepenuhnya dikendalikan oleh orang lain.

Di kampus, hubungan romantis adalah ujian kedewasaan yang sesungguhnya: apakah Anda akan jatuh dan hancur, atau terbang lebih tinggi bersama? Jawabannya sepenuhnya ada pada cara Anda mengelola cinta dan waktu Anda. Jadi, mana yang menurut Anda lebih baik?