Hikmawan Firdaus | Mutami Matul Istiqomah
ilustrasi anak membuka jendela dan menghirup udara.[freepik.com/freepik]
Mutami Matul Istiqomah

Ada satu hal yang sering kali sulit dimengerti sebagian orang: bahwa tidak semua perjuangan itu harus terlihat keras, kadang ia hanya berupa upaya sederhana untuk bertahan hidup di tengah udara yang penuh asap. Beberapa orang memilih diam, bukan karena setuju dengan asap rokok, tapi karena lelah menjelaskan bahwa sesak itu nyata.

Di antara kita, mungkin ada yang berusaha hidup lebih sehat, menjaga paru-paru, atau sekadar ingin udara bersih untuk anak dan keluarganya. Tapi ironisnya, perjuangan seperti itu sering dianggap “lebay.” Seseorang yang menolak rokok di ruang publik sering dipandang terlalu sensitif, terlalu ribut, atau dianggap sok suci. Padahal, mereka hanya sedang memperjuangkan hak paling dasar dari manusia: hak untuk bernapas tanpa racun.

Mungkin karena sebagian orang sudah terbiasa dengan asap. Asap yang dulu dianggap gangguan kini seolah jadi bagian dari udara itu sendiri. Sehingga ketika ada yang protes, justru dia yang disalahkan. “Cuma sebentar kok,” kata mereka. Tapi siapa yang tahu bahwa “sebentar” itu bisa berarti paru-paru yang semakin menjerit, atau sesak yang bertahan hingga malam?

Di Antara Asap dan Napas yang Tercekik

Banyak orang yang hidup berdampingan dengan asap rokok bukan karena pilihan, tapi karena keadaan. Di rumah, di lingkungan, di tempat kerja — ruang bersih nyaris tidak ada. Ada anak-anak yang tumbuh besar dengan aroma asap di bantalnya, ada istri yang diam menahan batuk tiap malam, ada suami yang sebenarnya ingin berhenti tapi tak kuasa melawan kebiasaan yang sudah lama menjadi candu.

Aku pernah mendengar kisah seseorang yang hidup dalam situasi seperti itu. Setiap malam, ia menyalakan kipas angin bukan hanya untuk mengusir panas, tapi untuk “menyaring udara.” Entah benar atau tidak kipas itu bisa melindungi paru-parunya, tapi baginya itu semacam pelindung kecil yang membuat udara terasa sedikit lebih bisa ditoleransi.

Suatu hari, kipas itu rusak. Ia bercerita kepada ibunya, berharap akan ada sedikit empati — harapan sederhana bahwa ibunya akan berkata, “Ya sudah, nanti kubilang ke ayahmu, jangan merokok dulu malam ini.” Tapi jawaban yang datang sungguh di luar dugaan: “Tahan saja sesaknya semalam lagi.”

Bayangkan, sesak yang nyata dianggap bisa dinegosiasikan. Seolah paru-paru bisa diajak berbicara, seolah napas bisa diminta bersabar.

Malam itu, ia, suaminya yang sedang sakit paru-paru, dan anaknya tidur dengan masker di wajah. Bayangkan, di rumah sendiri pun mereka tidak bebas bernapas. Mereka berusaha tidur sambil menahan rasa sakit yang seharusnya tidak perlu ada, karena yang mereka lawan bukan hanya asap — tapi juga ketidakpedulian.

Antara Memahami dan Menyerah

Kisah seperti itu tidak hanya satu atau dua. Banyak orang yang memilih diam karena sudah terlalu sering disalahkan saat mencoba berbicara. Ketika mereka mengatakan bahwa asap membuat sesak, orang lain malah tertawa kecil atau menyebut mereka manja. Ketika mereka menutup jendela untuk menahan asap dari luar, orang menyindir bahwa mereka terlalu ribet.

Padahal, tidak ada yang ingin menjadi musuh bagi para perokok. Tidak ada yang ingin menuntut orang lain berhenti sepenuhnya, karena semua orang berhak mengatur hidupnya sendiri. Yang diinginkan hanya sedikit empati — sedikit ruang untuk bernapas tanpa harus memohon.

Sayangnya, yang terjadi sering kali sebaliknya. Orang yang ingin sehat justru yang harus mengalah. Mereka yang ingin menjaga tubuhnya justru yang dianggap menyusahkan. Bahkan terkadang, rasa bersalah itu justru ditanamkan pada mereka yang tidak salah apa-apa.

Ada yang mencoba menegur dengan lembut, tapi dibalas dengan ejekan. Ada yang memilih menjauh, tapi disebut sombong. Ada juga yang akhirnya menyerah, membiarkan diri terbiasa pada racun yang seharusnya tidak ada. Padahal, menyerah bukan berarti rela — hanya karena tidak ada lagi ruang untuk bicara.

Rumah yang Bukan Lagi Tempat Bernapas

Bagi sebagian orang, rumah seharusnya tempat paling aman. Tapi bagi mereka yang hidup berdampingan dengan asap rokok, rumah justru bisa menjadi ruang yang paling menyakitkan.

Ada rumah besar, dinding tinggi, lantai bersih, tapi udaranya penuh asap. Setiap sudut menyimpan aroma yang menusuk, menempel di tirai, di baju, di rambut anak-anak. Kadang, yang merokok sudah berusaha menjauh — ke dapur, ke teras — tapi asap itu tidak mengenal batas. Ia tetap mencari jalan masuk, menyusup lewat celah-celah pintu dan jendela, lalu menetap di udara yang sama.

Dan di tengah semua itu, ada istri yang memilih diam, anak yang terpaksa terbiasa, dan seseorang yang setiap malam memutar kipas angin dengan harapan bisa tidur tanpa batuk.

Tapi seiring waktu, sesuatu berubah. Kelelahan yang dulu hanya fisik mulai berubah menjadi lelah mental. Bukan hanya karena sesak, tapi karena perasaan tidak dipahami — perasaan bahwa perjuangan menjaga kesehatan dianggap hal sepele. Bahwa ingin bernapas bersih saja sudah dianggap permintaan berlebihan.

Ruang Kecil yang Akhirnya Membebaskan

Hidup selalu punya cara untuk menunjukkan arti “lega.”
Kadang bukan lewat kemewahan, tapi lewat udara yang bersih.

Setelah bertahun-tahun hidup di rumah penuh asap, ada yang akhirnya memilih pindah — bukan ke rumah besar, bukan ke tempat yang mewah, tapi ke ruang kecil yang bisa diatur sendiri. Sebuah toko kecil, yang dulu hanya tempat usaha sederhana, kini menjadi rumah baru yang justru terasa lebih lapang dari rumah megah mana pun.

Di toko kecil itu, udara lebih jujur. Tidak ada asap yang menyelinap, tidak ada alasan untuk menahan napas. Di sanalah seseorang bisa mengatur segalanya sendiri — membuka jendela kapan pun mau, menutup pintu ketika debu masuk, dan memastikan udara yang beredar adalah milik mereka sendiri.

Bukan tentang ukuran rumah, tapi tentang rasa bebas yang perlahan kembali. Tentang perasaan bisa bernapas tanpa takut, bisa tidur tanpa masker, dan bisa hidup tanpa harus mengalah setiap hari.

Toko kecil itu bukan sekadar tempat mencari nafkah, tapi tempat untuk memulai ulang hidup. Di sana, udara bersih menjadi simbol kebebasan yang selama ini hilang.

Tentang Menghargai dan Tidak Memaksa

Mungkin, tidak semua orang bisa langsung berhenti merokok. Tidak semua orang bisa mengubah kebiasaan yang sudah melekat bertahun-tahun. Tapi menghargai, bukankah itu hal yang lebih sederhana?

Kita tidak meminta dunia berhenti merokok. Kita hanya meminta sedikit ruang untuk hidup tanpa asap. Tidak perlu heroik, tidak perlu pengorbanan besar — cukup dengan menunda sebatang rokok saat ada anak kecil di dekatmu, atau mematikan puntung sebelum memasuki ruangan tertutup.

Karena di balik seseorang yang menegurmu dengan suara pelan, mungkin ada paru-paru yang sudah menjerit. Di balik seseorang yang menutup pintu kamar rapat-rapat, mungkin ada anak kecil yang sedang berjuang agar tidak sesak.

Bukan lebay. Bukan sensitif. Hanya manusia yang ingin bernapas seperti kamu juga ingin bernapas.

Napas yang Akhirnya Ditemukan

Hidup sehat memang tidak selalu mudah. Kadang yang ingin menjaga diri justru harus menanggung cap lebay, cerewet, bahkan sok suci. Tapi jika semua orang terus diam, siapa yang akan bicara untuk udara bersih?

Di balik semua lelah, ada harapan bahwa suatu hari, menghormati hak bernapas orang lain bukan lagi hal yang butuh dijelaskan. Bahwa orang-orang akan sadar, udara bersih bukan kemewahan, melainkan kebutuhan yang seharusnya dimiliki semua manusia.

Kadang, yang ingin sehat justru yang paling sering diminta mengalah. Tapi dari setiap pengorbanan kecil, ada kekuatan yang tumbuh: keberanian untuk memilih ruang sendiri, untuk menciptakan tempat di mana udara tidak lagi menakutkan.

Dan mungkin, di toko kecil yang sederhana itu, ada pelajaran besar tentang hidup:
bahwa kebahagiaan tidak selalu soal luasnya rumah, tapi tentang udara yang bisa kau hirup dengan tenang — tanpa harus memohon maaf karena ingin sehat.