Tanggal 28 Oktober menjadi tonggak sejarah yang tak terlupakan bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, tahun 1928, para pemuda dari berbagai daerah menegaskan tekad mereka untuk bersatu dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa—Indonesia.
Sumpah Pemuda bukan hanya simbol persatuan, tetapi juga pernyataan tegas bahwa keberagaman bukan penghalang untuk bersatu demi cita-cita bangsa. Kini, hampir seabad kemudian, semangat itu diuji kembali di tengah derasnya arus globalisasi.
Globalisasi membawa banyak kemajuan dalam bidang teknologi, informasi, dan komunikasi. Dunia menjadi semakin terbuka, interaksi lintas negara terjadi dengan mudah, dan anak muda Indonesia bisa belajar atau bekerja di mana saja.
Namun, kemudahan itu juga membawa tantangan besar, terutama bagi rasa nasionalisme dan identitas kebangsaan.
Menurut penelitian Ardiansyah (2021) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, globalisasi berpotensi melemahkan nasionalisme generasi muda karena mereka lebih banyak terpapar budaya asing dibandingkan budaya lokal.
Kondisi ini terlihat dari fenomena sehari-hari: gaya hidup yang meniru budaya luar, penggunaan bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari, hingga kurangnya minat terhadap produk dan kesenian lokal.
Jika dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan hilangnya jati diri bangsa. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda di era modern, bukan dengan cara menolak globalisasi, tetapi dengan memadukan nilai-nilai nasionalisme dengan semangat kemajuan global.
Semangat Sumpah Pemuda di era globalisasi dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Pertama, menjadi generasi muda yang berdaya saing global tanpa kehilangan jati diri nasional. Pemuda masa kini perlu memanfaatkan teknologi digital untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia.
Misalnya, melalui konten kreatif di media sosial, musik, kuliner, atau karya seni yang mengangkat nilai-nilai lokal. Dengan begitu, globalisasi bukan lagi ancaman, melainkan sarana memperkuat eksistensi bangsa di kancah internasional.
Kedua, semangat persatuan yang diwariskan para pemuda 1928 perlu diterjemahkan dalam bentuk kolaborasi lintas daerah dan profesi.
Jika dulu mereka bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan, kini generasi muda bisa bersatu membangun kemajuan bangsa—dalam bidang pendidikan, ekonomi kreatif, lingkungan, dan teknologi.
Seperti disampaikan oleh Sari (2020) dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, kolaborasi antar generasi muda di era digital dapat memperkuat solidaritas nasional sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, menjaga bahasa Indonesia juga menjadi bentuk nyata dari semangat Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga simbol pemersatu bangsa.
Di tengah maraknya penggunaan bahasa asing, kebanggaan terhadap bahasa nasional harus tetap dijaga. Menguasai bahasa asing tentu penting untuk bersaing di dunia global, tetapi jangan sampai melupakan bahasa yang menjadi identitas bangsa sendiri.
Di era global yang penuh tantangan ini, pemuda Indonesia juga perlu menanamkan nilai karakter dan etika digital. Arus informasi yang cepat sering kali membuat banyak orang mudah terpengaruh oleh berita palsu, ujaran kebencian, dan budaya konsumtif.
Oleh karena itu, semangat Sumpah Pemuda dapat diterapkan dengan cara menjadi warga digital yang cerdas, beretika, dan berempati—selaras dengan nilai gotong royong dan persatuan bangsa.
Akhirnya, Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah masa lalu, melainkan inspirasi abadi bagi generasi masa kini.
Semangatnya harus terus hidup dalam setiap langkah anak muda Indonesia: semangat untuk bersatu, mencintai tanah air, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Globalisasi boleh membuka batas dunia, tetapi hanya bangsa yang berakar kuat pada identitasnya yang akan tetap tegak berdiri.
Dengan demikian, di era globalisasi ini, semangat Sumpah Pemuda bukan hanya tentang persatuan, melainkan juga tentang kemandirian, kreativitas, dan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia.
Sebagaimana semangat para pemuda 1928 yang menatap masa depan dengan keberanian, generasi muda masa kini pun harus siap membawa Indonesia maju tanpa kehilangan jati diri.
Baca Juga
-
Logika Sesat dan Penyangkalan Sejarah: Saat Kebenaran Diukur dari Selembar Kertas
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Merantau: Jalan Sunyi yang Diam-Diam Menumbuhkan Kita
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
-
Saat Generasi Z Lebih Kenal Algoritma daripada Sila-sila Pancasila
Artikel Terkait
-
Prabowo di Hari Sumpah Pemuda: Jangan Takut Bermimpi Besar, Indonesia Tak Akan Pernah Kalah!
-
'Spill' Blueprint Gen Z Ideal Versi Megawati: Cerdas, Melek Politik, dan Merawat Bumi
-
Tari Kolosal Jaipong Warnai Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Ciamis
-
Ajak Anak Muda Berpikir Kritis, Hasto: Tantangan Apa yang Harus Kita Jawab...
-
28 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 Oktober: Klaim 60.000 Token dan 9.500 Gems di Hari Sumpah Pemuda
Kolom
-
Deforestasi: Investasi Rugi Terbesar dalam Sejarah Pembangunan Indonesia
-
Di Antara Ombak & Bukit Hijau, Harapan Way Haru Tak Pernah Tumbang
-
Logika Sesat dan Penyangkalan Sejarah: Saat Kebenaran Diukur dari Selembar Kertas
-
Mudah Marah ke Orang Tua tapi Ramah ke Orang Lain? Begini Kata Psikolog
-
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan
Terkini
-
Dampak Jangka Panjang Bullying: Dari Depresi hingga PTSD pada Remaja
-
Cerita Ruangkan, Solusi dari Bayang-Bayang Burnout dalam Hustle Culture
-
Sinopsis dan Kontroversi Drama China Love dan Crown, Layakkah Ditonton?
-
5 Rekomendasi Drama China Misteri Baru 2025 untuk Temani Akhir Pekan
-
Indonesia di Mata Ji Chang Wook: Perjalanan Healing yang Penuh Makna