Di usia dua puluhan, banyak orang tumbuh dengan keyakinan bahwa masa muda adalah puncak kehidupan: masa eksplorasi, pencapaian, dan kebebasan. Namun, kenyataannya tak selalu seindah narasi motivasional yang sering terdengar. Di balik senyum di media sosial dan pencapaian yang dipamerkan teman sebaya, banyak anak muda justru merasa tersesat, cemas, dan kehilangan arah. Fenomena inilah yang dikenal sebagai quarter life crisis krisis makna dan identitas yang muncul di usia muda, ketika seseorang mulai mempertanyakan siapa dirinya, apa yang sedang dikejar, dan ke mana hidup ini akan berlabuh.
Istilah quarter life crisis pertama kali diperkenalkan oleh Alexandra Robbins dan Abby Wilner pada tahun 2001 melalui buku Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties. Fenomena ini menggambarkan masa peralihan antara dunia remaja dan dewasa muda, di mana seseorang dihadapkan pada berbagai tekanan untuk “menjadi sesuatu.” Tekanan itu bisa datang dari lingkungan sosial, keluarga, pekerjaan, atau bahkan dari diri sendiri. Di usia yang dianggap produktif ini, banyak individu merasa harus segera menemukan jati diri, karier, pasangan, dan kestabilan finansial. Ketika hal-hal itu tak kunjung terwujud, muncul perasaan gagal, cemas, dan kehilangan arah.
Secara psikologis, quarter life crisis merupakan bentuk krisis perkembangan yang berakar pada pencarian identitas dan makna hidup. Menurut teori Erik Erikson, fase dewasa muda adalah tahap di mana individu berjuang untuk mencapai intimacy versus isolation mencari hubungan yang bermakna tanpa kehilangan jati diri. Namun, dalam konteks masyarakat modern yang serba kompetitif, tahap ini menjadi lebih kompleks. Tekanan sosial media menambah lapisan baru dalam krisis ini: perbandingan diri tanpa henti. Setiap unggahan pencapaian orang lain kelulusan, pernikahan, karier sukses menjadi pengingat akan apa yang belum dimiliki diri sendiri. Fenomena ini dikenal sebagai social comparison fatigue, kelelahan emosional akibat terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.
Bagi banyak anak muda, krisis ini bukan hanya tentang pekerjaan atau status sosial, tetapi juga tentang makna hidup. Mereka mulai mempertanyakan apakah jalur yang ditempuh benar-benar pilihan pribadi atau hanya mengikuti ekspektasi lingkungan. Sering kali muncul rasa terjebak di antara dua kutub: keinginan untuk mandiri dan ketakutan akan kegagalan. Di satu sisi, ada dorongan untuk mengejar impian besar; di sisi lain, ada realitas keras tentang dunia kerja, biaya hidup, dan ketidakpastian masa depan. Perpaduan idealisme dan realisme inilah yang membuat quarter life crisis terasa begitu melelahkan.
Secara emosional, individu yang mengalami quarter life crisis sering merasakan kecemasan eksistensial semacam keresahan yang tidak selalu punya sebab konkret. Mereka mungkin sudah memiliki pekerjaan, pendidikan tinggi, atau hubungan romantis yang stabil, namun tetap merasa hampa. Hal ini terjadi karena pencapaian eksternal tidak selalu sejalan dengan kepuasan batin. Otak terus menuntut kepastian tentang masa depan, sementara hati masih mencari makna dari hari ini. Akibatnya, banyak anak muda merasa hidupnya stagnan meski secara objektif terlihat “baik-baik saja.”
Fenomena ini juga diperparah oleh budaya produktivitas yang merajalela. Di dunia yang menilai nilai diri dari seberapa sibuk seseorang, istirahat sering dianggap sebagai tanda kelemahan. Banyak anak muda memaksakan diri untuk selalu “on track,” mengikuti ritme kesuksesan versi orang lain. Padahal, tidak semua orang berjalan dengan kecepatan yang sama. Ketika lelah, mereka justru merasa bersalah karena “tidak cukup berjuang.” Di sinilah quarter life crisis menjadi lingkaran setan antara ambisi dan kelelahan.
Dari sisi sosial, krisis ini turut mencerminkan perubahan struktur masyarakat. Dahulu, usia dua puluhan identik dengan fase mapan: bekerja tetap, menikah, dan membangun keluarga. Kini, masa itu menjadi transisi yang tidak pasti. Karier sering berganti, hubungan cenderung cair, dan nilai-nilai tradisional mulai digantikan oleh pencarian makna individual. Dunia digital mempercepat perubahan ini, tetapi juga memperparah tekanan untuk “selalu siap.” Akibatnya, banyak anak muda merasa tertinggal bahkan sebelum benar-benar memulai.
Meskipun terdengar suram, quarter life crisis sebenarnya dapat menjadi fase yang sangat berharga. Dalam pandangan psikologi eksistensial, krisis bukanlah akhir, melainkan awal dari kesadaran diri. Ia adalah momen ketika seseorang berhenti hidup berdasarkan standar luar dan mulai mendengarkan suara batin. Proses ini menyakitkan, tetapi perlu. Dari keresahan itu lahir pemahaman baru tentang apa yang benar-benar penting. Banyak orang justru menemukan arah hidup yang lebih autentik setelah melalui masa-masa krisis ini entah dengan mengganti pekerjaan, mengejar passion yang lama tertunda, atau sekadar berdamai dengan ketidaksempurnaan.
Untuk melewati quarter life crisis, yang paling dibutuhkan bukanlah jawaban instan, melainkan ruang untuk bertanya dengan jujur. Menerima bahwa kebingungan adalah bagian alami dari pertumbuhan dapat membantu mengurangi tekanan. Dalam psikologi positif, hal ini disebut self-compassion kemampuan memberi belas kasih kepada diri sendiri di tengah kegagalan dan ketidakpastian. Dukungan sosial juga berperan besar. Berbicara dengan teman sebaya atau profesional dapat membantu menata ulang perspektif dan mengubah krisis menjadi kesempatan untuk tumbuh.
Pada akhirnya, quarter life crisis bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa seseorang sedang bertumbuh. Ia adalah cermin yang memaksa kita melihat diri sendiri tanpa topeng kesuksesan semu. Dunia mungkin menuntut kepastian, tetapi kehidupan sejati sering kali bergerak dalam ketidakpastian. Mungkin kita belum menemukan semua jawaban, dan itu tidak apa-apa. Karena justru dalam proses pencarian itulah, makna hidup perlahan terbentuk.
Masa muda tidak seharusnya diukur dari seberapa cepat mencapai tujuan, tetapi seberapa dalam kita memahami perjalanan. Quarter life crisis mungkin terasa seperti badai, tapi setiap badai membawa angin perubahan. Dan di ujungnya, ada versi diri yang lebih kuat, lebih sadar, dan lebih hidup bukan karena telah menemukan semua jawaban, tapi karena berani menghadapi pertanyaannya.
Baca Juga
-
Fame Cafe Jambi: Suasana Santai, Rasa Juara, Bikin Tak Mau Pulang
-
Terjebak dalam Kritik Diri, Saat Pikiran Jadi Lawan Terberat
-
Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial
-
Peduli Kesehatan Mental Remaja, HIMPSI Gelar Sosialisasi di SMAN 3 Jambi
-
Menuju Generasi BAIK, Pro Ide Sebaya Sosialisasi di Desa Senaung Jambi
Artikel Terkait
-
Bukan Egois tapi Self-Love: Kenapa Punya 'Boundaries' Itu Penting Banget
-
Bukan Cuma Soal Uang atau Jabatan: Apa Sih Sebenarnya Bahagia Itu?
-
Saat Kata-kata Tak Lagi Cukup: Kenalan Sama 'Art Therapy', Jurus Ampuh Lawan Stres
-
Terjebak dalam Kritik Diri, Saat Pikiran Jadi Lawan Terberat
-
Takut Dinilai Buruk, Penjara Tak Terlihat di Era Media Sosial
Kolom
-
Maudy Ayunda dan Filosofi Teras: Rahasia Tenang di Tengah Masalah Hidup
-
Mereka Tak Hanya Memadamkan Api, Tapi Menjaga Hidup yang Hampir Padam
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Pernah Ragu dan Takut, Ini Rahasia Najwa Shihab Menaklukkan Rasa Insecure!
-
Ganti Menteri Ganti Kurikulum, Pendidikan Kita Kapan Majunya?
Terkini
-
Fame Cafe Jambi: Suasana Santai, Rasa Juara, Bikin Tak Mau Pulang
-
Sudah Move On dari Luka Lama? Ini 5 Tanda Kamu Benar-Benar Pulih!
-
Nasib! Banding Ditolak FIFA, Malaysia Juga Terancam Potensi Hukuman Tambahan
-
Jefri Nichol dan Ameera Khan Putus? Bukti Unfollow Hingga Hapus Foto Jadi Sorotan!
-
Film Lupa Daratan Bikin Vino G. Bastian Lupa Cara Akting, Masa Sih?