Menjadi guru kini tak sekadar mengajar dan menilai. Mereka harus berhati-hati dalam setiap kata, setiap nada suara, bahkan setiap gerakan tangan. Sebab di era yang sensitif ini, satu tindakan bisa disalahartikan sebagai kekerasan.
Ironisnya, di tengah gaji yang terbatas dan tekanan administrasi yang menumpuk, guru justru harus menanggung risiko sosial yang makin berat.
Belakangan ini, kita sering mendengar berita guru dilaporkan ke polisi hanya karena menghukum siswa. Padahal, kalau ditelusuri, hampir semua kasus bermula dari niat mendidik.
Namun, di era media sosial yang serba cepat menilai, konteks sering kali hilang. Potongan video guru memarahi siswa bisa viral, disebar tanpa penjelasan, lalu seketika masyarakat menjatuhkan vonis, “Guru kasar!” atau “Tidak pantas menjadi pendidik!”
Baru-baru ini, Bupati Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang sebelumnya dikenal sebagai pembela guru, bahkan menyediakan pengacara untuk mereka yang dilaporkan karena mendisiplinkan siswa, kini justru menyatakan akan melarang hukuman fisik bagi murid dan berencana menerbitkan surat edaran resmi.
Sekilas, langkah itu tampak benar dalam hal melindungi anak dari kekerasan. Tapi di sisi lain, keputusan ini menempatkan guru di posisi yang makin sulit.
Guru zaman sekarang hidup di tengah dilema besar, dilarang keras, tapi dituntut tegas. Masyarakat menuntut guru mendidik anak-anak agar disiplin, sopan, dan berkarakter. Tapi ketika guru berusaha tegas—menegur, menasihati, bahkan memberi hukuman ringan—mereka bisa langsung berhadapan dengan amarah orang tua.
Bahkan ada kasus, seorang guru menegur murid yang tidak hormat justru dibalas laporan polisi. Ironisnya, orang tua murid itu sering kali tidak tahu betapa sabarnya guru tersebut sebelum akhirnya marah. Sebab, sebelum satu amarah keluar, biasanya sudah ada seribu kali nasihat yang tak digubris.
Kalimat “Guru tidak mungkin menghukum tanpa alasan” bukan sekadar pembelaan. Itu realita yang hanya dipahami oleh mereka yang benar-benar pernah berdiri di depan kelas. Tidak ada guru yang bahagia melihat siswanya menangis atau dihukum. Justru sebaliknya, setiap teguran yang keluar biasanya lahir dari keputusasaan setelah berbagai cara lembut tidak lagi mempan.
Kalau mau dihitung, tugas guru hari ini bukan cuma mengajar. Mereka harus mengurus administrasi yang menumpuk, laporan belajar, perangkat ajar, penilaian karakter, hingga rapor digital. Banyak dari mereka harus menyiapkan bahan ajar di malam hari, mengevaluasi ujian di akhir pekan, tapi gaji mereka kadang bahkan tidak cukup untuk menutup biaya transportasi ke sekolah.
Namun anehnya, di mata sebagian orang, guru dianggap punya kesabaran tak terbatas. Seolah mereka harus bisa mengajar dengan senyum terus-menerus, tanpa pernah lelah, tanpa boleh marah. Padahal, guru juga manusia. Mereka punya batas sabar, punya emosi, dan punya rasa tanggung jawab yang justru membuat mereka menegur ketika melihat murid melanggar.
Yang sering terlupakan adalah fakta bahwa guru bukan hanya pengajar, tapi juga pengasuh karakter. Mereka ikut membentuk kepribadian anak-anak yang kelak akan menjadi warga negara. Dan membentuk karakter itu tidak bisa dilakukan dengan kata manis saja. Kadang, butuh ketegasan. Tapi di zaman yang serba sensitif ini, ketegasan sering disamakan dengan kekerasan.
Sobat Yoursay, fenomena guru dilaporkan karena menghukum siswa ini sebenarnya cermin dari hubungan yang makin renggang antara sekolah dan rumah. Dulu, guru dan orang tua berada di pihak yang sama, sama-sama mendidik. Sekarang, tidak jarang justru berhadapan.
Begitu anak pulang dan mengadu, “Bu, aku dimarahi guru,” sebagian orang tua langsung tersulut emosi. Mereka lupa menanyakan dulu, “Kenapa kamu dimarahi?” atau “Kamu sudah jujur belum?”
Padahal, anak-anak zaman sekarang tahu betul bahwa dunia dewasa lebih cepat berpihak pada yang terlihat lemah. Maka mereka tahu bagaimana “bercerita” agar terlihat sebagai korban.
Akibatnya, guru kehilangan wibawa. Murid jadi tidak takut lagi berbuat salah, karena mereka tahu selalu ada tameng bernama “hak anak.” Padahal, hak anak seharusnya berjalan seiring dengan kewajiban belajar menghormati orang lain.
Sobat Yoursay, sudah waktunya masyarakat berhenti memperlakukan guru seolah mereka musuh.
Kalau ada guru yang salah, tentu harus ditegur dan diluruskan. Tapi jangan biarkan satu dua kasus membuat seluruh profesi tercoreng.
Sebaliknya, mari kita rawat kembali budaya menghormati guru, bukan untuk membenarkan kesalahan, tapi untuk menjaga niat baik mereka agar tidak padam.
Karena kalau guru terus merasa serba salah, siapa yang akan mendidik anak-anak kita menjadi generasi berkarakter? Dan kalau setiap teguran berubah jadi laporan, jangan heran bila suatu hari nanti, tidak ada lagi yang berani menjadi guru.
Guru tidak butuh pujian setinggi langit. Mereka hanya butuh dipahami bahwa di balik suara yang meninggi, ada hati yang ingin muridnya berhasil. Mereka bukan sedang marah karena benci, tapi sedang lelah karena peduli.
Baca Juga
-
Bahlil dan Padel: Antara Rebranding Partai dan Realitas Rakyat
-
Uang Digital, Nol Virtual: Masih Perlukah Redenominasi di Era Cashless?
-
Mata Uang dan Martabat Bangsa: Menghapus Nol untuk Menghapus Inferioritas?
-
Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu: Mengapa Ide Dedi Mulyadi Memicu Kritik?
-
QRIS dan Dompet Digital: Siapkah Indonesia Cashless Total?
Artikel Terkait
-
Dedi Mulyadi Ekspos Bahan BBM Jenis Baru: Bukan Lagi Limbah, Jerami Disulap Jadi 'Solar' Murah
-
Kapan Pengumuman Seleksi PPG Calon Guru 2025? Cek Jadwal dan Link Resminya
-
MUI DKI Mau Standarisasi Guru Ngaji, Ketua DPRD Bilang Begini
-
Guru Besar UI Sebut Polri Wajib Diawasi Ketat! Ini Alasannya...
-
Kronologi Guru di Trenggalek Dihajar Keluarga Murid di Rumahnya, Berawal dari Sita HP Siswi di Kelas
Kolom
-
Film yang Lahir dari Hati dan Jujur, Akan Selalu Ada di Hati Sinefil
-
Kamu Gak Punya Privilege? Tenang, Hidup Tetap Bisa Kamu Menangkan!
-
Bahlil dan Padel: Antara Rebranding Partai dan Realitas Rakyat
-
Uang Digital, Nol Virtual: Masih Perlukah Redenominasi di Era Cashless?
-
Mata Uang dan Martabat Bangsa: Menghapus Nol untuk Menghapus Inferioritas?
Terkini
-
Sinopsis Akiba Lost, Drama Jepang Terbaru Hiromitsu Kitayama dan Sayuri Matsumura
-
Sinopsis The Girlfriend, Film India Romantis Terbaru Rashmika Mandanna
-
Ulasan Novel Never Over, Cinta yang Tak Pernah Selesai
-
Telah Kandas, DJ Bravy Ngaku Selingkuh dari Erika Carlina: Salah Gue
-
4 Ide OOTD Boyish ala Park Yoo Na, Cocok untuk Look Tomboy nan Stylish!