Sekar Anindyah Lamase | Rial Roja Saputra
Illustrasi Anak Sekolah. (Pixabay/IndusSchool)
Rial Roja Saputra

Setiap kali hasil survei kemampuan pelajar, baik skala nasional maupun internasional, dirilis, kita seolah dipaksa untuk kembali menelan pil pahit yang sama.

Angka-angka tersebut, entah itu PISA ataupun Asesmen Nasional, secara konsisten menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan, yaitu menurunnya kemampuan dasar literasi dan numerasi anak-anak kita. Ini adalah sebuah ironi di tengah zaman yang paling kaya akan informasi.

Fenomena ini tidak bisa lagi kita anggap sebagai sekadar fluktuasi statistik atau dampak sisa dari pandemi semata. Ini adalah sebuah alarm bahaya yang nyaring berbunyi, sebuah sinyal bahwa ada sesuatu yang secara fundamental rapuh dalam fondasi pendidikan nasional kita.

Cermin Retak di Ruang Kelas Kita 

Rendahnya skor literasi dan numerasi bukanlah masalah itu sendiri, melainkan sebuah gejala. Ia adalah cermin retak yang memantulkan gambaran buram dari apa yang sebenarnya terjadi di ruang-ruang kelas kita.

Kita mungkin telah berhasil membuat anak-anak datang ke sekolah secara fisik, tetapi kita tampaknya gagal membuat pikiran mereka hadir secara utuh. Kita sibuk mengganti kurikulum dan menambah fasilitas, namun kita mungkin lupa bahwa inti dari pendidikan adalah dua hal paling dasar, yaitu kemampuan untuk memahami apa yang dibaca dan kemampuan untuk menggunakan logika dalam berhitung.

Ketika dua fondasi ini goyah, maka seluruh bangunan pengetahuan yang kita coba bangun di atasnya pasti akan ikut rapuh, tidak peduli seberapa megah desain kurikulumnya.

Literasi Bukan Sekadar Bisa Mengeja, Tapi Mampu Menyelam 

Salah satu kekeliruan kita adalah menyederhanakan makna literasi. Kita merasa tugas selesai ketika seorang anak sudah bisa mengeja dan membaca kalimat dengan lancar. Padahal, itu barulah kemampuan paling permukaan. Di era digital ini, anak-anak kita mungkin membaca lebih banyak teks setiap hari di layar gawai mereka, tetapi mereka terlatih untuk membaca secara menyebar atau skimming, bukan membaca secara mendalam.

Mereka adalah Generasi Scroll yang terlatih untuk melompat dari satu informasi ke informasi berikutnya dalam hitungan detik.

Sementara itu, literasi yang sesungguhnya menuntut kemampuan untuk menyelam, untuk berkonsentrasi pada satu teks panjang, memahami konteks, menganalisis argumen, dan membedakan nuansa. Sistem pendidikan kita saat ini ternyata gagal bersaing dengan gempuran gawai dalam melatih otot konsentrasi ini.

Numerasi Bukan Hafalan Rumus, Tapi Logika Hidup 

Hal yang sama terjadi pada numerasi. Kita terlalu sering menyamakan numerasi dengan pelajaran matematika yang penuh dengan rumus-rumus abstrak.

Akibatnya, siswa belajar matematika bukan untuk memahami logikanya, melainkan untuk menghafal rumus demi lulus ujian. Padahal, numerasi adalah kemampuan yang jauh lebih membumi.

Ia adalah logika hidup. Ia adalah kemampuan untuk membaca grafik di surat kabar, untuk memahami data statistik sederhana, untuk menghitung diskon di toko, atau untuk membuat anggaran bulanan yang masuk akal.

Ketika anak-anak kita gagap dalam numerasi, itu artinya kita telah gagal membekali mereka dengan kemampuan dasar untuk bernalar secara logis dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Fondasi yang Terlupakan: Saat Semua Guru Gagal Menjadi Guru Literasi 

Inilah gagasan baru yang harus menjadi fokus utama kita. Selama ini kita melakukan kesalahan fatal dengan membebankan masalah literasi hanya kepada guru Bahasa Indonesia dan masalah numerasi hanya kepada guru Matematika.

Ini adalah sebuah kekeliruan sistemik. Literasi dan numerasi bukanlah mata pelajaran, ia adalah fondasi yang harus menopang semua mata pelajaran.

Seorang guru Sejarah yang tidak bisa mengajari siswanya cara membaca teks sejarah secara kritis, pada hakikatnya telah gagal menjadi guru literasi.

Seorang guru Biologi yang tidak bisa melatih siswanya untuk membaca dan menafsirkan data hasil percobaan, pada hakikatnya telah gagal menjadi guru numerasi. Setiap guru di sekolah, apa pun bidangnya, harus menyadari bahwa mereka adalah guru literasi dan numerasi terlebih dahulu.

Alarm yang Tidak Bisa Lagi Kita Abaikan 

Pada akhirnya, alarm ini tidak hanya berbunyi untuk dunia pendidikan. Ia berbunyi untuk masa depan ekonomi dan demokrasi kita.

Bagaimana kita bisa berharap memiliki ekonomi digital yang inovatif jika angkatan kerja kita kesulitan memahami data?

Bagaimana kita bisa berharap memiliki demokrasi yang sehat jika warga negara kita mudah termakan hoaks karena tidak mampu membaca informasi secara kritis?

Penurunan literasi dan numerasi adalah sebuah krisis senyap yang menggerogoti fondasi bangsa. Alarm ini tidak bisa lagi kita matikan dengan tombol tunda. Ia menuntut kita untuk bangun, merombak total cara kita mengajar, dan mengembalikan fokus pendidikan kita pada dua hal paling esensial yang akan menentukan nasib generasi mendatang.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS