Kita hidup di era ketika informasi mengalir tanpa henti. Di ruang tunggu, di kedai kopi, hingga di trotoar kota, pemandangan orang-orang menunduk menatap gawai sudah menjadi hal lumrah. Jari-jemari kita luwes menggulir linimasa, menyerap potongan video atau teks singkat dalam hitungan detik. Namun, di balik derasnya arus informasi ini, terselip sebuah ironi: kegiatan membaca secara mendalam, terutama membaca buku, justru semakin terasa jauh.
Data dan survei literasi menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Padahal, kita hidup di zaman yang paling mudah untuk mengakses tulisan, dari artikel akademik hingga cerita fiksi. Pertanyaannya, mengapa membaca tetap dipandang sebagai pekerjaan berat, bukan sebagai kegiatan yang menyenangkan?
Sekolah Mengajarkan Membaca, Tapi Bukan Menikmati Bacaan
Jawabannya bisa ditelusuri sejak dini, di bangku sekolah. Pendidikan kita cukup berhasil mengajarkan membaca secara teknis—mengenali huruf, menyusun kata, memahami kalimat. Tetapi, tahap berikutnya yang jauh lebih penting sering terabaikan: menumbuhkan kecintaan pada membaca, serta kemampuan berpikir kritis melalui bacaan.
Bagi banyak siswa, membaca hanya bagian dari tugas akademik. Buku dibaca bukan untuk menikmati alur cerita atau berinteraksi dengan gagasan penulis, melainkan untuk menjawab soal pilihan ganda atau membuat ringkasan sesuai format. Pesan yang tertanam jelas: membaca adalah pekerjaan yang melelahkan, dinilai dengan angka, dan jarang diperlakukan sebagai sebuah petualangan intelektual.
Gurun Buku di Ruang Publik
Masalah lain muncul dari lingkungan kita. Coba perhatikan ruang publik di sekitar: stasiun kereta, terminal, ruang tunggu rumah sakit, atau kantor pemerintahan. Jarang sekali kita menemukan rak buku atau sudut baca yang menarik perhatian.
Kita hidup dalam kondisi yang bisa disebut sebagai gurun buku. Alih-alih dikelilingi bahan bacaan yang memancing rasa ingin tahu, kita lebih sering disuguhi televisi yang menyala tanpa henti atau papan iklan yang memaksa mata kita menatap. Akibatnya, membaca tidak hadir sebagai kebiasaan alami, tetapi membutuhkan niat ekstra dan usaha yang lebih besar.
Budaya Lisan yang Mengakar Kuat
Secara kultural, Indonesia adalah masyarakat lisan. Sejak lama, pengetahuan diwariskan lewat cerita, dongeng, dan percakapan. Tradisi ini menciptakan ruang interaksi yang hangat dan komunal, tetapi sekaligus membuat transisi menuju budaya literasi tidak pernah tuntas.
Membaca buku menuntut keterampilan berbeda: duduk tenang dalam sunyi, fokus dalam waktu lama, dan menikmati dialog batin dengan penulis. Bagi banyak orang, mode atensi semacam ini terasa asing. Bukan karena kita tidak mampu, melainkan karena akar budaya lisan masih jauh lebih dominan.
Godaan Imbalan Instan
Tantangan paling besar justru datang dari dunia digital modern. Media sosial, gim, dan berbagai platform hiburan melatih otak kita untuk menginginkan kepuasan seketika. Satu guliran layar memberi video lucu sepuluh detik, satu permainan singkat memberi poin atau hadiah dalam hitungan menit.
Sebaliknya, membaca buku setebal ratusan halaman membutuhkan energi, kesabaran, dan konsistensi. Imbalan dari membaca—seperti wawasan baru, kosa kata yang lebih kaya, atau perspektif yang lebih luas—tidak datang seketika. Ia abstrak, tertunda, dan baru terasa dalam jangka panjang. Maka, dalam perebutan atensi, membaca hampir selalu kalah oleh distraksi digital yang menawarkan imbalan instan.
Membangun Ulang Ekosistem Literasi
Krisis literasi ini jelas tidak bisa diatasi hanya dengan program donasi buku. Diperlukan proyek budaya jangka panjang. Sekolah perlu mengubah cara mengajarkan membaca: dari sekadar tugas menjadi pengalaman yang menggugah rasa ingin tahu. Ruang publik perlu dirancang ulang agar ramah literasi—hadirnya sudut baca di stasiun, rak buku di terminal, atau pojok dongeng di pusat layanan publik bisa menjadi langkah sederhana tapi bermakna.
Lebih dari itu, kita perlu menanamkan kembali nilai kesabaran dan kemampuan menunda kepuasan. Di tengah dunia yang serba cepat, membaca adalah latihan mental yang mengajarkan kita tentang kedalaman, ketekunan, dan penghargaan terhadap proses.
Seperti diungkapkan Ibu Lisa Apriliya, Waka Kesiswaan Yayasan Pendidikan Budi Bakti, dalam sebuah percakapan di Desa Sidorejo, Lampung Tengah: “Membaca bukan hanya soal bisa atau tidak, tetapi soal bagaimana kita menjadikannya bagian dari hidup sehari-hari.”
Menghidupkan kembali budaya membaca berarti menyiapkan generasi yang mampu bertahan di tengah kebisingan zaman. Generasi yang tidak hanya mahir menyerap potongan informasi, tetapi juga mampu merenung, memahami, dan menimbang makna di baliknya.
Baca Juga
-
Bukan Sekadar Candu: Membesarkan Generasi Alpha di Tengah Kepungan Layar
-
Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga: Apa Artinya bagi Kredit dan Investasi?
-
Paradoks Media Sosial: Semakin Lama Online, Ternyata Semakin Tidak Bahagia
-
Ulasan Novel People Like Us: Kehangatan Hubungan Antar Manusia
-
Ulasan Novel The First Gentleman: Saat Suami Presiden Jadi Sorotan Politik dan Dilema Pribadi
Artikel Terkait
Kolom
-
Membaca Kehidupan dari Balik Cangkir Kopi Pangku di Jalur Pantura
-
Bukan soal Birokrasi: Mengapa Kementerian Haji dan Umrah Diragukan Publik?
-
Kalau Kamu Memaknai Literasi Hanya dengan Membaca Buku, Kamu Masih Keliru!
-
Pemerintah Tambah Utang Rp781 T: Antara Pembangunan dan Beban Rakyat
-
Israel vs Iran: Potensi Perang Dunia III?
Terkini
-
BRIN Dorong Kolaborasi Global untuk Percepat Inovasi Nanoteknologi
-
Bukan Hanya Satu, Tiga Ujian Kehidupan Sekaligus Kini Tengah Dihadapi oleh Pratama Arhan
-
Stupid oleh AB6IX: Tangisan Batin dan Luka karena Diabaikan
-
Gaya Kontras Dua Mantan di Senayan: Primus Yustisio Naik KRL, Nafa Urbach Keluhkan Macet
-
3 Pemain Tertua di Skuad Timnas Indonesia Jelang FMD September, Bisa Jadi Mentor?