Bimo Aria Fundrika | Rial Roja Saputra
Ilustrasi literasi digital. (Pexels.com/fauxels)
Rial Roja Saputra

Bayangkan ekosistem informasi kita hari ini seperti sebuah sumber mata air raksasa. Dulu, sumber mata air ini dijaga oleh beberapa penjaga gerbang, seperti media massa tradisional, yang menyaring dan memverifikasi air sebelum dialirkan ke masyarakat. Kini, di era digital, sumber mata air itu telah menjadi terbuka untuk semua orang. Siapa saja bisa menambahkan air ke dalamnya.

Masalahnya, tidak semua orang menuangkan air jernih. Banyak yang dengan sengaja atau tidak sengaja menuangkan racun disinformasi ke dalamnya. Di tengah kondisi inilah, literasi digital yang minim berfungsi layaknya sebuah sistem kekebalan tubuh yang lemah. Ia membuat demokrasi kita, yang sangat bergantung pada kejernihan informasi, menjadi korban yang paling rentan dari polusi kebohongan.

Ekosistem Informasi yang Tercemar: Bernapas dalam Kabut Hoaks

Ilustrasi literasi digital. [Freepik]

Gagasan pertama yang harus kita sadari adalah bahwa kita tidak lagi hidup dalam sebuah era kelangkaan informasi, melainkan era polusi informasi. Setiap hari, kita bernapas dalam kabut tebal yang terdiri dari berita benar, berita salah, opini, fakta yang dipelintir, dan kebohongan yang dirancang dengan sangat meyakinkan.

Bagi seseorang dengan literasi digital yang kuat, ia mungkin memiliki masker metaforis untuk menyaring udara kotor ini. Namun, bagi sebagian besar masyarakat yang literasinya minim, mereka menghirup semua polusi itu tanpa filter. Mereka tidak dibekali dengan kemampuan untuk membedakan mana udara segar berupa fakta dan mana asap beracun berupa disinformasi. Akibatnya, pandangan mereka tentang realitas politik dan sosial menjadi kabur dan mudah dibentuk oleh pihak-pihak yang paling gencar menyemburkan polusi.

Bias Konfirmasi, Filter Udara yang Rusak di Pikiran Kita

Mengapa disinformasi begitu mudah menyebar? Jawabannya terletak pada sebuah kelemahan bawaan dalam sistem operasi otak kita yang disebut bias konfirmasi. Kita semua secara alami cenderung lebih menyukai dan lebih mudah memercayai informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang sudah kita miliki sebelumnya. Di dunia digital, bias ini menjadi semakin berbahaya. Algoritma media sosial, yang tahu persis apa yang kita sukai, akan terus-menerus menyuplai kita dengan informasi yang sejalan dengan pandangan kita.

Ini menciptakan sebuah gelembung nyaman di mana kita merasa semua orang setuju dengan kita. Bias konfirmasi ini berfungsi seperti sebuah filter udara yang rusak di dalam pikiran kita. Ia hanya menyaring masuk informasi yang kita sukai dan menolak informasi lain yang mungkin menantang atau mengoreksi pandangan kita, tidak peduli seberapa faktualnya informasi tersebut.

Kecepatan Viral Mengalahkan Akurasi Faktual

Ekosistem digital memiliki satu hukum alam yang dominan, yaitu kecepatan mengalahkan segalanya. Sebuah informasi yang sensasional, emosional, dan mengejutkan akan menyebar jauh lebih cepat dan lebih luas daripada sebuah klarifikasi atau verifikasi fakta yang sering kali membosankan. Para produsen disinformasi sangat memahami hukum ini.

Mereka merancang kebohongan mereka agar mudah dibagikan, dengan judul yang provokatif dan gambar yang memancing emosi. Sementara itu, para jurnalis dan pemeriksa fakta harus bekerja dengan lambat untuk melakukan verifikasi yang teliti. Pada saat kebenaran akhirnya terungkap, kebohongan sudah terlanjur menyebar ke jutaan orang dan membentuk persepsi publik. Dalam perlombaan antara kecepatan viral dan akurasi faktual, akurasi sering kali tertinggal jauh di belakang.

Demokrasi Asma: Sesak Napas di Tengah Polusi Informasi

Lalu, apa dampaknya bagi demokrasi? Sebuah demokrasi yang sehat membutuhkan setidaknya tiga hal, yaitu kepercayaan pada institusi, debat publik yang rasional, dan kemampuan untuk mencapai kompromi. Disinformasi menyerang ketiga pilar ini secara bersamaan. Ia mengikis kepercayaan masyarakat pada media, pada pemerintah, dan bahkan pada proses pemilihan umum itu sendiri.

Ia menggantikan debat rasional dengan caci maki dan adu domba berbasis emosi. Dan ia membuat kompromi menjadi mustahil karena setiap kelompok hidup dalam realitas alternatifnya masing-masing, meyakini bahwa kelompok lain tidak hanya salah, tetapi juga jahat. Demokrasi kita pada akhirnya menderita kondisi yang bisa disebut sebagai asma, ia menjadi sesak napas, kesulitan untuk berfungsi dengan baik karena terlalu banyak menghirup udara beracun dari polusi informasi.

Sebagai kesimpulan, memerangi disinformasi tidak cukup hanya dengan mengandalkan aplikasi pemeriksa fakta atau pemblokiran situs. Ini adalah sebuah pertarungan jangka panjang yang hanya bisa dimenangkan melalui pembangunan fondasi literasi digital yang kokoh di seluruh lapisan masyarakat. Kita harus mengajarkan generasi baru bukan hanya cara menggunakan teknologi, tetapi juga cara menjadi seorang skeptis yang sehat. Mengajarkan mereka untuk selalu bertanya siapa yang membuat informasi ini, untuk tujuan apa, dan bagaimana mereka tahu bahwa ini benar. Tanpa kemampuan dasar untuk menyaring informasi ini, demokrasi kita akan selamanya menjadi korban yang rentan, yang nasibnya ditentukan bukan oleh kebijaksanaan warganya, melainkan oleh kelihaian para penyebar kebohongan.

Artikel ini merupakan hasil dari liputan pribadi – 26 Agustus 2025 pukul 08.30 – Desa Sidodadi, Punggur, Lampung Tengah – Anwar Pratama (Ketua Komunitas Generasi Cemerlang Desa Sidodadi)