Di berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin banyak orang yang mengaku merasa cemas dan takut mengenai masa depan bumi. Berita tentang banjir besar yang kian sering, musim kemarau panjang, kebakaran hutan, dan naiknya permukaan air laut memenuhi linimasa media sosial dan pemberitaan setiap hari.
Tidak sedikit anak muda yang merasa masa depan mereka suram, bahkan mempertanyakan apakah masih layak merencanakan karier, pendidikan, atau keluarga. Banyak orang menyebut kondisi ini sebagai eco-anxiety atau kecemasan iklim dan sayangnya, sebagian menganggapnya sebagai sesuatu yang patologis, tidak sehat, atau berlebihan.
Padahal, urgensi pembahasan mengenai eco-anxiety semakin penting. Di tengah krisis iklim yang kian nyata, meremehkan atau menekan emosi ini justru dapat memperburuk ketidakpedulian publik.
Ketika sebagian orang mengalaminya sebagai beban berat, sebagian lainnya bahkan tidak merasakan kecemasan sama sekali meski ancaman krisis iklim sangat besar. Di sinilah penelitian psikologi berperan penting dalam memahami bagaimana eco-anxiety seharusnya ditempatkan dalam konteks sosial dan moral masa kini.
Sebuah penelitian yang berjudul “Eco-Anxiety: What It Is and Why It Matters”, Kurth dan Pihkala (2022) menjelaskan bahwa eco-anxiety bukanlah penyakit mental atau tanda kelemahan psikologis.
Justru, mereka menemukan bahwa eco-anxiety dapat menjadi emosi moral yang bernilai dan memiliki potensi mendorong tindakan nyata terhadap krisis iklim. Mereka menyebut bahwa tidak cukup banyak orang yang mengalami kecemasan ini, namun justru kesadaran emosional seperti inilah yang mampu memicu perubahan sosial yang konstruktif.
Apa Itu Eco-Anxiety?
Eco-anxiety adalah bentuk kecemasan yang muncul sebagai respons terhadap ancaman kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan ketidakpastian masa depan planet.
Berbeda dengan gangguan kecemasan klinis, eco-anxiety tidak selalu muncul tanpa alasan. Emosi ini justru berakar pada data ilmiah dan pengalaman langsung masyarakat yang terdampak bencana.
Penelitian menunjukkan bahwa eco-anxiety bukan hanya muncul sebagai ketakutan pasif, tetapi dapat hadir sebagai practical eco-anxiety, yaitu kecemasan yang berorientasi pada solusi dan tindakan.
Jenis kecemasan ini membantu seseorang mengambil keputusan, memotivasi perubahan gaya hidup, dan menumbuhkan partisipasi dalam gerakan lingkungan. Dengan kata lain, eco-anxiety tidak selalu melemahkan, melainkan menjadi bahan bakar keterlibatan sosial.
Eco-Anxiety sebagai Emosi Moral
Kurth dan Pihkala menegaskan bahwa eco-anxiety adalah tanda kepedulian moral. Orang yang merasakan kecemasan ini biasanya memiliki kepekaan tinggi terhadap penderitaan makhluk hidup lain, ketidakadilan lingkungan, dan rasa tanggung jawab antar generasi.
Dalam kerangka psikologi moral, emosi ini mirip dengan empati atau rasa bersalah, bukan sesuatu yang harus disingkirkan, tetapi dipahami dan diarahkan.
Di saat banyak orang memilih bersikap apatis atau menyangkal, eco-anxiety justru menunjukkan kesadaran etis bahwa bumi sedang berada dalam kondisi darurat.
Peneliti menekankan bahwa kita justru membutuhkan lebih banyak eco-anxiety, karena tanpa keterlibatan emosional, sulit membangun kehendak kolektif untuk perubahan.
Dari Rasa Takut Menjadi Aksi
Salah satu temuan penting penelitian ini adalah bahwa eco-anxiety dapat menjadi pendorong tindakan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Banyak aktivis lingkungan mengaku bahwa aksi mereka lahir dari rasa takut akan masa depan bumi. Ketika diarahkan dengan dukungan sosial dan pengetahuan yang tepat, eco-anxiety berubah menjadi dorongan positif untuk bergerak.
Namun, eco-anxiety akan menjadi beban berat bila seseorang merasa sendirian atau tidak memiliki kontrol atas situasi.
Karena itu, penting untuk mengembangkan ruang dialog, komunitas, dan pendidikan yang tidak mengecilkan perasaan tersebut, melainkan mengolahnya menjadi energi kolektif. Pendekatan semacam ini mampu mengubah kecemasan menjadi harapan dan keberanian moral.
Alih-alih menstigmatisasi eco-anxiety sebagai gangguan psikologis, kita perlu melihatnya sebagai respons manusiawi yang sehat dalam menghadapi krisis iklim. Rasa takut terhadap masa depan bumi bukan tanda kelemahan, tetapi tanda kepedulian dan kesadaran.
Dunia bukan membutuhkan lebih banyak ketidakpedulian, melainkan lebih banyak orang yang cukup peduli dan bertindak. Karena mungkin saja, masa depan planet ini bergantung pada mereka yang berani merasakan rasa sakit melihat bumi terluka.
Baca Juga
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
The Power of Three: Pilar Resiliensi yang Menjaga Kita Tetap Tangguh
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
Artikel Terkait
-
Tamparan Keras di KTT Iklim: Bos Besar Lingkungan Dunia Sindir Para Pemimpin Dunia!
-
Gen Z dan Masyarakat Adat Ngamuk, Kepung KTT Iklim COP30 di Brasil: Apa Alasannya?
-
Suara Penyandang Disabilitas di Forum Iklim: Tuntutan Keadilan di Tengah Krisis
-
Garis Pertahanan Terakhir Gagal? Batas 1,5C Akan Terlampaui, Krisis Iklim Makin Gawat
-
Peneliti: Pemanasan Arktik dan Antartika Bisa Picu Gelombang Penyakit di Dunia
Kolom
-
Antara Keluarga dan Masa Depan, Dilema Tak Berujung Sandwich Generation
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
Terkini
-
Ditanya Rumor Keretakan, Anthony Xie Hanya Minta Doa dan Enggan Membantah
-
Pilih Independen, AKMU Siap Hengkang dari YG Entertainment setelah 12 Tahun
-
Sinopsis The Family Man Season 3, Series India Terbaru Manoj Bajpayee
-
Ulasan Film Korea Firefighters: Sajikan Kisah Heroik Para Pemadam Kebakaran
-
Sempat Divonis Mandul, Kini Krisjiana dan Siti Badriah Dikaruniai Dua Putri