Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi banjir (Pexels/Pok Rie)
Fauzah Hs

Ada satu tradisi musiman di Indonesia yang tidak pernah benar-benar kita akui sebagai tradisi, yaitu banjir. Setiap tahun, entah itu awal musim hujan atau ketika hujan dadakan turun terlalu lama, kita kembali melihat gambar-gambar yang sama di linimasa.

Rumah terendam, motor digotong, warga mengungsi sambil mengangkat kasur yang basah. Dan entah kenapa, hampir selalu reaksinya saling menyalahkan, membuat konten, atau pasrah. Seakan-akan kita sudah berdamai dengan bencana yang seharusnya bisa dicegah.

Namun yang lebih aneh lagi, kita jarang mau mengulik pertanyaan, kenapa banjir bisa terjadi lagi dan lagi?

Penyebab banjir itu tidak sesederhana curah hujan ekstrem yang selalu jadi kambing hitam di setiap konferensi pers pejabat. Cuaca ekstrem memang meningkat akibat perubahan iklim global, itu benar.

Tapi banjir parah tidak terjadi hanya karena hujan, melainkan karena kita, manusia, sistem, kebijakan, dan kebiasaan yang membuat kota ini tidak mampu menampung air yang turun.

Air yang seharusnya meresap ke tanah justru dipantulkan kembali karena 60–80% permukaan sudah berubah jadi beton, aspal, dan bangunan.

Ibaratnya, air itu cuma mau masuk ke rumahnya, tapi pintunya sudah ditutup rapat oleh pembangunan yang tidak direncanakan dengan memikirkan ekosistem. Akhirnya, air masuk ke rumah kita sebagai balasan.

Sobat yoursay, diskusi soal banjir kadang selalu berhenti pada gejala, bukan akar masalahnya.

Kita bicara soal pompa mati, soal sungai meluap, soal sampah yang numpuk, soal jalan yang tergenang. Tapi jarang sekali kita bicara tentang hulu. Padahal, hulu inilah yang diam-diam berubah setiap tahun.

Coba bayangkan, bagaimana air tidak turun deras ke kota kalau daerah-daerah penyangganya terus dibabat untuk perumahan baru? Bagaimana sungai tidak meluap kalau bantaran sungai terus disempitkan sedikit demi sedikit demi pembangunan yang katanya strategis?

Bagaimana air tidak bingung mencari jalan kalau drainase yang dibangun 30 tahun lalu masih dipakai untuk menampung debit air kota yang penduduknya sudah berlipat ganda?

Namun, setiap kali ada banjir besar, pembahasan seperti ini jarang masuk headline. Yang masuk justru liputan dramatis tentang warga mengungsi, banjir sampai atap rumah, atau pejabat yang datang meninjau sambil pakai sepatu boots baru.

Banjir itu juga persoalan tata kelola air, bukan hanya persoalan curah hujan. Negara-negara lain yang curah hujannya tidak kalah ekstrem dari kita, seperti Jepang atau Belanda, tidak mengalami banjir parah setiap tahun karena mereka memiliki sistem manajemen air yang terencana dan terintegrasi.

Mereka tidak membangun kota dengan anggapan yang penting jalan dan bangunan jadi dulu, drainase belakangan. Mereka justru menjadikan air sebagai elemen yang harus dikelola, bukan musuh yang harus dilawan.

Di Indonesia, sebaliknya. Kita membangun dulu, mikir soal air belakangan, atau kadang malah nggak dipikir sama sekali. Buktinya, banyak proyek besar yang mengubah aliran air, tapi dampaknya terhadap lingkungan baru diributkan setelah banjir terjadi.

Sobat yoursay, kita memang mudah sekali terjebak dalam narasi, “banjir itu karena sampah.” Padahal, riset urban planning menunjukkan bahwa persoalan sampah hanya salah satu dari sekian banyak penyebab, dan sering kali bukan penyebab utama.

Di beberapa kota besar, bahkan ketika warga sudah disiplin membuang sampah, banjir tetap terjadi karena kapasitas sungai dan drainase memang tidak memadai sejak awal. Infrastruktur yang dibangun juga tidak didesain untuk menahan volume air yang sekarang.

Kalau kita hanya membahas banjir sebagai peristiwa tahunan tanpa menyentuh struktur yang membuatnya terus terjadi, itu artinya kita hanya mengobati gejala, bukan penyakit. Kita seperti seseorang yang setiap tahun pilek karena AC bocor, tapi malah sibuk beli obat flu tanpa pernah memperbaiki AC-nya.

Yang dibutuhkan Indonesia bukan hanya pompa baru, bukan hanya tanggul baru, bukan hanya relokasi darurat ketika air sudah masuk rumah.

Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk merombak cara kita membangun kota, cara kita mengelola air, cara kita menata ruang. Banjir bukan takdir geografis, tapi hasil keputusan-keputusan yang diambil selama bertahun-tahun.

Sobat yoursay, kita sering berkata, “Banjir ini sudah biasa, tiap tahun juga begini.” Tapi justru itu masalahnya, kita terlalu menerima. Apakah kita ingin melanjutkan tradisi banjir ini sampai anak cucu? Atau kita berani memutus siklusnya sekarang?

Karena selama akar masalahnya tidak pernah disentuh, banjir akan selalu datang tepat waktu, lebih tepat daripada jadwal apa pun yang disusun pemerintah.