Sobat yoursay, belakangan ini RKUHAP kembali membuat banyak orang mengernyitkan dahi, salah satunya yaitu soal pasal 16.
Pasal ini memperluas penggunaan undercover buy dan controlled delivery, dua metode penyamaran yang sebelumnya dipahami publik hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu, terutama narkotika.
Publik selama ini hidup dengan asumsi bahwa operasi seperti itu hanya dilakukan untuk penjahat kelas berat. Nyatanya, sobat yoursay, jika pasal itu disahkan tanpa kontrol ketat, penyamaran polisi bisa merambah ke hampir semua jenis tindak pidana, termasuk yang skalanya kecil, ambigu, atau bahkan didorong oleh pihak kepolisian sendiri.
Di sinilah letak masalahnya.
Mari kita urai pelan-pelan. Undercover buy pada dasarnya adalah teknik polisi menyamar sebagai pembeli atau pihak yang terlibat dalam transaksi ilegal untuk menangkap pelaku.
Sementara controlled delivery memungkinkan polisi membiarkan barang bukti bergerak untuk memetakan jaringan pelaku.
Pada konteks kasus narkoba atau penyelundupan besar, dua metode ini memang membantu. Tapi apa jadinya jika metode yang sama diterapkan ke tindak pidana ringan, misalnya pelanggaran izin usaha, transaksi barang selundupan skala kecil, atau bahkan perkara uang sogokan? Siapa yang menjamin bahwa polisi tidak memancing, bukan hanya menangkap?
Konsep entrapment atau jebakan menjadi kunci persoalan ini. Jebakan adalah ketika aparat tidak hanya menyamar untuk menangkap pelaku, tetapi justru memicu seseorang melakukan tindak pidana yang awalnya tidak berniat ia lakukan.
Sobat yoursay mungkin bertanya, “Memangnya polisi sampai sejauh itu?” Dalam hukum, batas antara mengawasi dan memprovokasi memang sangat tipis.
Banyak kasus di negara-negara lain menunjukkan bagaimana penyamaran yang tidak diawasi dapat berakhir pada orang-orang biasa yang terdorong melakukan hal yang tak pernah terpikirkan, hanya karena aparat memainkan peran yang terlalu jauh.
Bayangkan skenario ini, seseorang sedang butuh uang dan ditawari kesempatan cepat oleh seseorang yang ternyata penyamar. Seseorang itu awalnya ragu, bahkan menolak, tetapi setelah didorong terus-menerus, akhirnya luluh. Lalu tiba-tiba ia ditangkap sebagai pelaku. Apakah itu penegakan hukum, atau pancingan?
Di negara-negara yang sudah lama menggunakan teknik penyamaran, setiap operasi harus disetujui secara ketat oleh pengadilan, dengan syarat-syarat spesifik dan ruang lingkup jelas.
Sementara negara kita? Kita sedang mempertimbangkan pasal yang membuka kuasa aparat secara luas tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Sobat yoursay pasti paham, di negara dengan rekam jejak penyalahgunaan kewenangan, ruang tanpa kontrol sangat mudah berubah jadi labirin intimidasi dan manipulasi.
Hal jarang disinggung adalah bagaimana perluasan pasal ini diam-diam memperluas persepsi pemerintah tentang siapa saja yang layak diawasi.
Publik selama ini hanya mengaitkan operasi penyamaran dengan narkoba. Tapi dengan pasal baru, hampir semua tindak pidana bisa jadi alasan penyamaran.
Korupsi kecil? Bisa. Transaksi online tanpa izin? Bisa. Jual-beli barang impor melalui reseller kecil? Mungkin masuk. Bahkan aktivitas yang misalnya memiliki wilayah abu-abu dalam regulasi, bisa juga diseret dalam lingkaran tindak pidana yang mengundang operasi penyamaran.
Apakah Indonesia benar-benar akan menuju model negara kepolisian, di mana aparat bisa menjadi siapa saja, di mana saja, dan untuk alasan apa saja?
Di pasal 16 ini, operasi penyamaran tanpa batas jelas bukan hanya ancaman bagi pelaku kejahatan, tetapi ancaman juga bagi ruang aman warga negara. Jika pasal 16 membuka ruang di mana aparat dapat berperan sebagai pendorong tindak pidana, bukan sekadar pengungkap, maka kita telah melangkah terlalu jauh.
Beberapa ahli hukum telah mengingatkan risiko ini. Mereka menyebut bahwa tanpa batasan spesifik, operasi penyamaran dapat berubah dari metode investigasi menjadi alat kekuasaan.
Sobat yoursay bisa bayangkan betapa mudahnya metode ini digunakan untuk menjerat pedagang kecil, karyawan level bawah, atau warga yang sebenarnya tidak punya niat jahat, tetapi sedang dalam situasi rentan.
Lalu apa yang seharusnya kita lakukan? Pertama, mengakui bahwa penegakan hukum memang butuh inovasi. Tidak ada yang menolak itu. Tapi inovasi tanpa pengawasan justru menciptakan penyimpangan.
Kedua, publik harus memahami bahwa isu ini bukan soal teknis hukum semata. Ini menyangkut keseimbangan relasi antara negara dan warga. Dan yang paling penting, kita perlu mengawal agar pasal-pasal seperti ini mendapatkan kontrol pengadilan yang ketat, transparansi prosedur, dan batasan tindak pidana yang jelas.
Sobat yoursay, mungkin kita tidak bisa menghentikan RKUHAP secara total. Tapi kita bisa memastikan publik tidak tinggal diam.
Karena ketika penyamaran menjadi terlalu luas, terlalu bebas, dan terlalu mudah dipakai untuk kasus apa pun, kita semua sedang mengambil langkah kecil menuju negara kepolisian, tanpa pernah menyadari kapan kita melewati batasnya.
Dan saat itu terjadi, bukan hanya pelaku kejahatan besar yang harus takut. Warga biasa pun bisa menjadi sasaran berikutnya.
Baca Juga
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
-
Krisis Empati: Mengapa Anak-Anak Tidak Lagi Tahu Caranya Berbelas Kasih?
-
Kota Tanpa Trotoar: Indonesia untuk Mobil, Bukan Manusia?
-
Arogansi Politik vs Sains: Ahli Gizi Dibungkam di Forum MBG
Artikel Terkait
-
7 Fakta Kematian Dosen Untag di Kos: AKBP B Diamankan, Kejanggalan Mulai Terungkap
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
-
Putusan MK Soal Polisi di Jabatan Sipil, KPK Jelaskan Posisi Ketua KPK
-
Menhut Raja Juli Antoni Tegaskan Peran Penting Polisi di Kemenhut
-
RKUHAP Resmi Disahkan DPR, Amnesty International: Penanda Mundurnya Perlindungan HAM
Kolom
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
-
Moderate Reader: Indonesia Peringkat Ke 31 Negara Paling Giat Membaca Buku
-
Filosofi Menanam Bunga Matahari untuk Tumbuh di Tengah Quarter Life Crisis
-
Meraba Realita Musisi Independen yang Hidup dari Gigs Berbayar Seadanya
-
Mahasiswa Melek Literasi: Gerakan Kecil yang Bikin Dampak Besar
Terkini
-
Dari Aktor Top ke Sutradara Hebat: Debut Film 'Pangku' Reza Rahadian
-
6 Karakter Penting di Drama Legend of The Female General, Siapa Favoritmu?
-
Rilis Teaser, The Hunger Games: Sunrise on the Reaping Tayang November 2026
-
Sinopsis Film India '120 Bahadur', Dibintangi Farhan Akhtar
-
So Sweet, Omara Esteghlal Dedikasikan Piala Citra Pertamanya untuk Prilly!