Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Ilustrasi mengingat memori (Unsplash.com/Ian Dooley)
Davina Aulia

Banyak orang pernah mengalami situasi di mana suasana hati sedang buruk, lalu tiba-tiba semua kenangan negatif seolah-olah muncul bergantian. Atau sebaliknya, saat sedang bahagia, kita lebih mudah mengingat momen baik daripada yang buruk.

Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Emosi yang kita rasakan ternyata dapat “memfilter” apa yang kita ingat, menyebabkan memori terasa berat sebelah dan jauh dari objektif. Hal ini menjadi masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari, karena bias memori dapat memengaruhi cara kita menilai hubungan, pekerjaan, bahkan diri sendiri.

Urgensi memahami topik ini semakin tinggi, terutama di tengah meningkatnya isu kesehatan mental. Ketika suasana hati negatif membuat seseorang lebih mudah mengingat hal-hal buruk, kondisi tersebut dapat memperkuat pola pikir pesimistis dan memperburuk stres maupun kecemasan.

Dalam artikelnya yang berjudul Mood-Congruent Memory Revisited”, peneliti Leonard Faul dan Kevin S. LaBar menegaskan bahwa suasana hati memang memainkan peran penting dalam membentuk memori emosional.

Mereka meninjau puluhan studi dan menemukan bahwa mood positif atau negatif dapat memperkuat ingatan yang serupa dengan mood tersebut, serta memengaruhi akurasi, intensitas, dan bahkan terbentuknya ingatan palsu.

Bagaimana Mood Mewarnai Proses Mengingat

Faul dan LaBar menjelaskan bahwa fenomena ini disebut mood-congruent memory, yaitu ingatan yang selaras dengan suasana hati.

Ketika seseorang sedang sedih, otaknya cenderung lebih peka terhadap informasi yang bernada negatif. Begitu pula sebaliknya, saat bahagia, memori positif akan lebih mudah muncul.

Proses ini terjadi karena otak bekerja melalui jaringan asosiasi, di mana emosi yang sedang aktif akan mengaktifkan kumpulan kenangan yang memiliki warna emosional serupa. Dengan kata lain, mood menjadi pintu yang membuka akses ke “lemari arsip” memori tertentu.

Namun, peneliti menemukan bahwa hubungan antara mood dan memori tidak selalu simetris. Mood positif biasanya memperkuat memori positif secara lebih konsisten, sementara mood negatif tidak selalu memperkuat memori negatif.

Salah satu alasannya adalah mekanisme mood repair, yaitu kecenderungan alami manusia untuk memperbaiki mood buruk. Artinya, saat sedih, otak kita kadang justru mencari ingatan positif sebagai upaya menyeimbangkan emosi. Hal inilah yang membuat fenomena mood-congruent memory menjadi lebih kompleks.

Ketika Ingatan Tidak Selalu Akurat

Salah satu temuan menarik dari review tersebut adalah bahwa mood tidak hanya memengaruhi ingatan benar, tetapi juga dapat memicu terbentuknya false memory atau kenangan palsu.

Misalnya, seseorang yang sedang marah lebih mudah salah mengingat kata, peristiwa, atau detail yang bernada agresif. Ini terjadi karena otak cenderung “mengisi kekosongan” dengan informasi yang sejalan dengan emosinya. Dalam kondisi seperti ini, emosi berperan seperti lensa berwarna yang mengubah cara kita memproses dunia.

Temuan ini memiliki implikasi besar dalam banyak aspek kehidupan, termasuk pengambilan keputusan, persepsi terhadap orang lain, bahkan penyimpangan memori dalam hubungan interpersonal.

Seseorang yang sedang murung dapat merasa seolah-olah hidupnya penuh kegagalan, padahal sebenarnya hanya memori negatif yang sedang lebih mudah muncul. Inilah alasan mengapa memahami mekanisme mood-congruent memory penting untuk meningkatkan kesadaran diri dan membantu seseorang keluar dari pola pikir yang berulang-ulang.

Peran Self-Referential Processing dan Faktor Individual

Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa mood lebih kuat memengaruhi memori ketika seseorang memproses informasi secara personal atau self-referential.

Saat kita menilai apakah suatu informasi berkaitan dengan diri sendiri, otak membentuk koneksi yang lebih kuat sehingga bias emosional semakin mudah terjadi. Karena itu, ketika seseorang sedang sedih dan menilai dirinya secara negatif, memori yang muncul cenderung memperkuat persepsi tersebut.

Selain itu, faktor individual seperti kepribadian, tingkat afek jangka panjang, dan self-esteem berperan besar dalam menentukan seberapa kuat mood memicu bias memori.

Individu dengan trait negative affect tinggi cenderung lebih rentan mengalami MCM, sementara mereka dengan self-esteem tinggi lebih mampu menghasilkan ingatan yang incongruent, misalnya mengingat hal positif meskipun mood sedang buruk. Temuan ini menunjukkan bahwa meski mood memengaruhi memori, respons setiap orang bisa sangat berbeda.

Dari berbagai temuan tersebut, dapat kita pahami bahwa memori kita jauh dari kata objektif. Apa yang kita ingat tidak hanya bergantung pada apa yang terjadi, tetapi juga bagaimana perasaan kita saat itu.

Memahami mood-congruent memory membantu kita menyadari bahwa ingatan kadang menipu dan tidak selalu mencerminkan kenyataan.

Dengan kesadaran ini, kita bisa lebih bijak menilai pengalaman, menjaga kesehatan mental, dan memahami bahwa ingatan negatif yang muncul saat mood sedang buruk bukanlah representasi diri atau hidup kita secara keseluruhan.