Lintang Siltya Utami | Angelia Cipta RN
Ilustrasi Destinasi Pantai (Pexels/Asad Photo Maldives)
Angelia Cipta RN

Tinggal di wilayah pesisir memang menyenangkan, seperti bisa melihat dan menikmati indahnya deburan ombak. Namun, sayangnya ada banyak hal yang menjadi kelemahan selama tinggal di wilayah pesisir seperti ini.

Ada dua wajah pesisir Indonesia hari ini. Wajah pertama adalah yang sering kita lihat di media sosial seperti pantai berpasir putih, air laut sebening kaca, kafe-kafe estetik dengan kursi rotan dan lampu gantung, serta wisatawan yang berfoto di bawah langit senja.

Wajah kedua jauh lebih sepi dalam pemberitaan masyarakat pesisir yang masih bertarung dengan cuaca, pendapatan yang tidak pasti, dan ruang hidup yang perlahan mengecil.

Ketika wisata bahari berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, satu pertanyaan penting muncul, kira-kira apakah pesisir benar-benar maju, atau justru masyarakatnya yang terpinggirkan karena kebijakan pemerintah yang terus berubah-ubah?

Wisata Berkilau, Kehidupan Pesisir Tidak Selalu Ikut Cerah

Wisata bahari sering dianggap sebagai jawaban atas stagnasi ekonomi pesisir. Pantai yang sebelumnya sepi berubah menjadi pusat aktivitas, dihias spot foto, gazebo kayu, hingga restoran seafood modern. Pendapatan daerah meningkat, berita-berita optimis tentang kebangkitan ekonomi lokal bertebaran di seluruh media sosial.

Namun jika melihat lebih dekat, realitasnya tidak sesederhana itu.

Ketika jalur perahu berubah menjadi lintasan wisata snorkeling, nelayan kecil terpaksa memutar lebih jauh demi menghidupi keluarga, menghabiskan lebih banyak bahan bakar.

Ketika perairan dangkal disulap menjadi arena aktivitas wisata, area tangkap ikan berubah menjadi zona larangan. Bahkan tambak rumput laut dianggap mengganggu pemandangan pantai dan diminta dipindahkan demi estetika.

Ironisnya, pantai yang selama ini menjadi ruang hidup masyarakat berubah menjadi ruang komersial yang tidak sepenuhnya mereka kuasai. Hasilnya, banyak masyarakat pesisir merasa seperti tamu di rumah sendiri.

Tidak ada yang menolak wisata. Yang ditolak adalah ketika wisata hadir tanpa mendengar suara mereka yang tinggal paling dekat dengan laut.

Dua Krisis yang Menghimpit: Ekologis dan Sosial

Keindahan pesisir sering memancing arus wisata yang deras. Tetapi arus itu membawa dua krisis sekaligus seperti krisis ekologis dan krisis sosial.

Krisis ekologis hadir ketika terumbu karang rusak akibat penyelaman tak terkontrol, sampah wisata menumpuk setelah akhir pekan, dan hutan mangrove dibabat demi membuka lahan untuk bangunan komersial. Laut terlihat biru di foto, tetapi dasar lautnya justru perlahan kehilangan nyawa.

Krisis sosial hadir ketika penduduk lokal tidak mendapatkan ruang yang setara dalam pembangunan. Tanah pesisir melonjak harga karena dibeli investor, membuat masyarakat lokal kehilangan ruang tempat tinggal dan ruang usaha. Akses terhadap bantuan modal dan pelatihan lebih sering diberikan kepada pelaku wisata baru, bukan mereka yang hidup di pesisir selama puluhan tahun.

Di sinilah persoalan besar itu muncul, seperti contohnya wisata menghadirkan keuntungan besar, tetapi siapa yang benar-benar mendapatkannya?

Jika masyarakat pesisir hanya menjadi penonton atau sekadar pekerja paruh waktu dalam industri wisata yang berdiri di tanah mereka sendiri, kehadiran wisata justru memperlebar ketimpangan.

Membangun Wisata yang Adil: Mulai dari Mendengar Suara Pesisir

Untuk membangun wisata pesisir yang adil dan berkelanjutan, hal paling dasar sebenarnya sederhana layaknya mengakui masyarakat pesisir sebagai pemilik pengalaman, pengetahuan, dan ruang hidup yang sah.

Tanpa itu, wisata hanya menjadi kegiatan yang mempercantik pesisir tanpa memanusiakan masyarakatnya.

Langkah kecil sebenarnya sudah banyak dicoba oleh beberapa komunitas di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Wisata edukasi dikenalkan untuk menghubungkan wisatawan dengan kehidupan asli pesisir bukan sekadar menyuguhkan pemandangan laut, tetapi juga pemahaman tentang bagaimana laut memberi makan, bagaimana masyarakat berjuang di antara musim, dan bagaimana tradisi pesisir menjaga keseimbangan ekologis.

Ada juga gerakan untuk melibatkan masyarakat dalam perumusan tata kelola wisata. Ketika masyarakat pesisir terlibat menentukan zona wisata, jalur perahu, titik snorkeling, dan area konservasi, konflik ruang bisa ditekan. Wisata bisa berkembang tanpa menghilangkan ruang hidup nelayan, petani garam, pembuat terasi, dan komunitas pesisir lainnya.

Yang lebih penting, masyarakat pesisir harus mendapat akses penuh terhadap manfaat ekonomi bukan hanya sebagai tenaga kerja, tetapi sebagai pemilik usaha, pengelola wisata, dan penjaga ekosistem. Wisata tidak boleh hanya menjadi panggung baru yang meminggirkan pemeran utamanya.

Karena sejatinya, pesisir yang indah tidak terjaga oleh bangunan modern, tetapi oleh tangan-tangan masyarakat yang merawat laut setiap hari.

Pada akhirnya, persoalannya bukan apakah wisata bahari itu baik atau buruk. Wisata bisa menjadi berkah besar bagi pesisir. Namun wisata tanpa keadilan hanya akan membuat masyarakat pesisir semakin terdesak oleh perkembangan yang tidak mereka minta.

Laut bukan sekadar panorama. Itu adalah dapur, sekolah, halaman depan, dan sejarah panjang sebuah komunitas. Ketika wisata mengambil manfaat dari laut, seharusnya manfaat itu juga kembali kepada penjaga laut yang sesungguhnya.

Sudah waktunya wisata bahari berhenti hanya mempromosikan pantai indah dan mulai berbicara tentang kehidupan di sekitar pantai kehidupan yang sering tak masuk frame kamera.

Karena pesisir tidak akan pernah benar-benar indah jika masyarakatnya terus dipinggirkan oleh aksi yang mengatasnamakan keindahan.