Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
ilustrasi pengaruh pola asuh pada perilaku bullying. (Pexels/Monstera Production)
e. kusuma .n

Kasus bullying yang terus bermunculan membuat banyak orang kembali bertanya-tanya soal alasan seseorang bisa menjadi pelaku perundungan. Tidak melulu lingkungan sekolah, pengaruh teman, media sosial, terkadang faktor keluarga dan pola asuh justru sering terlewatkan.

Keluarga yang menjadi fondasi utama pembentukan karakter anak lewat perilaku dan gaya komunikasi orang tua akan membentuk cara anak memperlakukan orang lain. Dari sinilah muncul anggapan kalau pola asuh keluarga juga bisa berkontribusi pada perilaku bullying.

Keluarga: “Ruang Latihan Pertama” Bagi Anak

Sebelum anak mengenal dunia luar, rumah adalah tempat pertama mereka belajar banyak hal tentang cara bersikap, berbicara, bereaksi saat kesal, hingga cara menghadapi konflik.

Anak yang belajar melalui metode modeling akan meniru apa yang mereka lihat di rumah dan cenderung diulangi di sekolah atau lingkungan pertemanan.

Jika anak tumbuh di rumah yang penuh kemarahan, bentakan, atau meremehkan, kemungkinan besar mereka tidak bisa membedakan mana tindakan tegas dan mana tindakan agresif.

Tanpa sadar, anak mengira kalau mengintimidasi orang lain adalah hal biasa. Sebaliknya, jika tumbuh dalam suasana penuh empati dan komunikasi, anak akan membawa nilai itu keluar rumah.

Pengaruh Perbedaan Pola Asuh: Otoriter vs Permisif

Pola asuh otoriter yang cenderung keras di rumah akan membuat anak bersikap serupa di luar rumah. Umumnya, perilaku ini bersumber pada aturan yang ketat, hukuman keras, dan minim komunikasi dari orang tua serta kurangnya ruang bersuara untuk anak.

Hasilnya, anak tumbuh dengan rasa takut, marah, dan frustrasi hingga emosi-emosi ini disalurkan pada pihak yang dianggap lebih lemah di luar rumah. Mereka juga relatif mudah tersinggung dan melihat kekerasan sebagai solusi demi pembuktian diri.

Sementara untuk pola asuh permisif, ketiadaan batasan dalam keluarga akan membuat anak menjadi dominan. Longgarnya aturan berpotensi melahirkan ‘hobi’ menekan orang lain untuk memenuhi keinginannya.

Karena tidak pernah diajarkan batasan dan anak membawa pola itu ke luar rumah, teman dianggap harus mengikuti kemauan dan merasa berhak marah, merundung, atau mengintimidasi saat keinginannya tidak dipenuhi.

Konflik Orang Tua dan Lingkungan Rumah yang Tidak Aman

Rumah yang penuh pertengkaran, sindiran, atau silent treatment juga berpengaruh besar pada potensi perilaku bullying pada anak. Saat tumbuh di lingkungan penuh konflik, anak lebih rentan mengalami kecemasan, sulit mengelola emosi dan memahami empati.

Sebagian anak kemudian mengalihkan emosi yang tidak stabil itu dengan bersikap agresif pada orang lain. Bullying dianggap sebagai cara untuk mendapatkan “kendali” yang tidak pernah mereka miliki di rumah.

Minimnya Kehadiran Emosional Orang Tua

Tidak semua keluarga toksik terlihat dari luar, seperti ketidakhadiran emosional dari orang tua. Tinggal serumah ternyata tidak menjamin kepedulian pada anak bisa diberikan secara maksimal.

Orang tua kerap berlindung di balik kesibukan pekerjaan hingga jarang bertanya tentang perasaan anak, hanya peduli pada nilai akademik, dan bahkan tidak punya waktu berkualitas untuk dihabiskan bersama.

Anak yang kebutuhan emosionalnya kurang terpenuhi sering mencari validasi dari luar. Dalam beberapa kasus, cara cepat mendapatkan atensi adalah dengan mendominasi orang lain yang akhirnya mengarah pada perilaku bullying.

Bullying Bukan Sekadar Masalah Sekolah, tapi Masalah Keluarga

Sekolah dapat menyediakan aturan, guru dapat mengawasi, tetapi rumah tetap menjadi pusat pembentukan karakter. Jika lingkungan keluarga sehat, empatik, dan komunikatif, risiko anak menjadi pelaku bullying bisa berkurang drastis.

Pada akhirnya, pencegahan bullying memang harus dimulai dari rumah, mulai dari pola asuh, kebiasaan, dan nilai yang ditanamkan orang tua sejak dini.

Ajarkan anak soal empati sejak kecil, tetapkan aturan yang jelas tetapi hangat, jadi contoh yang baik, tanamkan pendekatan antibullying, dan pastikan untuk memvalidasi perasaan anak.

Jadi, sudah siapkah keluarga mengambil peran untuk memutus mata rantai bullying? Jawabannya kembali pada keseriusan masing-masing untuk menciptakan ruang aman tanpa perundungan sejak dini.