Keluarga seharusnya menjadi tempat yang aman, pelabuhan pertama bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang dengan cinta dan dukungan. Namun, apa jadinya jika rumah yang seharusnya menjadi fondasi kebaikan justru menjadi sarang pertama yang memproduksi perilaku bullying? Fenomena ini bukan isapan jempol belaka, tapi memang nyata adanya.
Pola Asuh Keluarga yang Bisa Jadi Penyebab Perilaku Bullying
Pola asuh yang keras, ejekan yang dianggap sepele, atau bahkan kekerasan verbal yang terjadi di dalam rumah tangga, secara tidak sadar dapat menanamkan benih-benih perilaku bullying pada anak sejak usia dini.
Pola asuh yang otoriter dan keras, misalnya, seringkali menjadi pemicu utama. Orang tua yang terlalu mendominasi, menuntut kesempurnaan tanpa empati, dan tidak memberikan ruang bagi anak untuk berekspresi, bisa menciptakan anak yang penuh tekanan. Ketika anak merasa tidak berdaya di rumah, mereka mungkin mencari cara untuk mendapatkan kontrol atau kekuatan di luar.
Sekolah atau lingkungan sosial lainnya menjadi arena mereka mencoba melampiaskan frustrasi dan rasa tidak berdaya yang terakumulasi. Mereka meniru pola yang mereka alami seperti menekan orang lain untuk merasa berkuasa, persis seperti apa yang dilakukan orang tua mereka kepada mereka.
Kekerasan fisik yang dialami di rumah, sekecil apapun itu, dapat menormalisasi tindakan kekerasan di mata anak, sehingga mereka tidak ragu untuk menggunakannya sebagai alat untuk mendominasi orang lain.
Lebih jauh lagi, ejekan dan olok-olok yang sering terjadi dalam keluarga, meskipun kadang dianggap sebagai bentuk candaan atau cara mengakrabkan diri, tapi ini bisa sangat merusak.
Anak yang sering diejek karena fisik, kemampuan akademik, atau kelemahan lainnya oleh anggota keluarganya sendiri, akan mengembangkan rasa rendah diri yang mendalam. Mereka belajar bahwa menyakiti perasaan orang lain dengan kata-kata adalah hal yang lumrah, bahkan mungkin lucu.
Ironisnya, ketika mereka keluar rumah, mereka bisa jadi berubah menjadi pelaku bullying. Mereka mungkin menggunakan ejekan yang sama atau bahkan lebih parah kepada teman sebaya sebagai mekanisme pertahanan diri, atau sebagai cara untuk merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri dengan merendahkan orang lain. Rasa sakit yang mereka alami di rumah ditransfer kepada orang lain, menciptakan siklus bullying yang tak berujung.
Kekerasan verbal, seperti bentakan, makian, atau ancaman yang dilontarkan orang tua atau anggota keluarga lainnya, meninggalkan bekas luka yang tak terlihat namun mendalam.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan verbal yang toksik akan kesulitan mengembangkan empati. Mereka terbiasa dengan komunikasi yang agresif dan mungkin menganggapnya sebagai satu-satunya cara efektif untuk menyampaikan maksud atau menyelesaikan masalah.
Akibatnya, mereka cenderung menggunakan kekerasan verbal yang sama di luar rumah, menargetkan teman-teman atau adik kelas yang dianggap lebih lemah. Mereka tidak memahami dampak emosional dari kata-kata mereka, karena sejak kecil mereka sendiri terbiasa menerima dan bahkan mungkin meniru pola komunikasi yang destruktif tersebut.
Tentu saja, tidak semua anak yang mengalami pola asuh keras atau kekerasan verbal di rumah akan menjadi pelaku bullying. Ada banyak faktor lain yang berperan. Namun, keluarga memiliki peran fundamental sebagai lingkungan belajar pertama.
Jika kurikulum dan pola asuh di rumah mengajarkan tentang kekuatan, dominasi, ejekan, dan agresi, maka anak-anak cenderung menginternalisasi pelajaran tersebut. Mereka membawa bekal pendidikan dari rumah ke dunia luar, dan seringkali, bekal itu justru merugikan orang lain dan diri mereka sendiri.
Tips Memutus Pola Asuh Bullying
Untuk memutus mata rantai ini, kesadaran adalah kunci. Orang tua perlu merefleksikan pola asuh mereka, memahami bahwa setiap tindakan dan perkataan mereka memiliki dampak jangka panjang pada pembentukan karakter anak.
Mengembangkan empati, mengajarkan cara berkomunikasi yang sehat, dan menciptakan lingkungan rumah yang penuh penghargaan adalah investasi penting untuk mencegah bullying dimulai dari rumah.
Keluarga yang sehat, di mana setiap anggota merasa dihargai dan didengar, adalah benteng pertama yang paling efektif melawan bibit-bibit bullying. Mari kita jadikan rumah sebagai tempat pembentuk kasih sayang, bukan kekerasan.
Baca Juga
-
Ketika Laut Tak Lagi Murah Hati: Pesisir Hidup, tapi Ekonomi Pasang Surut
-
Bongkar Luka Bullying dan Pentingnya Safe Space Via Drama Korea 'Angry Mom'
-
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
-
Stop! Bilang 'Cuma Bercanda', Lelucon Bisa Menjadi Trauma
-
Pantai Jadi Destinasi: Siapa yang Mendapat Untung, Siapa yang Tersisih?
Artikel Terkait
Kolom
-
Ketika Laut Tak Lagi Murah Hati: Pesisir Hidup, tapi Ekonomi Pasang Surut
-
Workplace Bullying: Silent Treatment dan Pekerjaan Tidak Adil Dinormalisasi
-
Mengenal Cyber Mob: Ancaman Baru Kekerasan dalam Dunia Digital
-
Bikin Heboh Medsos, Ini Pelajaran Penting dari Drama Tumbler Hilang di KRL
-
Hentikan Korban 'Diam': Kritik atas Budaya yang Melanggengkan Bullying
Terkini
-
Ulasan Novel Dirty Little Secret, Perjuangan Penebusan Cinta dari Masa Lalu
-
7 Tempat Wisata Alam Indah yang Tersembunyi di Pulau Jawa
-
Review Film Air Mata Mualaf: Perjalanan Iman yang Mengiris Hati
-
Sinopsis Tere Ishk Mein, Film India yang Dibintangi Dhanush dan Kriti Sanon
-
Review Film In Your Dreams: Serunya Petualangan Ajaib Menyusuri Alam Mimpi