Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatera, pada dasarnya, bukan sekadar rangkaian kejadian alam. Ia ibarat tamu lama yang datang berulang kali, mengetuk pintu rumah kita, hanya saja kini ketukannya lebih keras dari sebelumnya.
Hujan ekstrem mengguyur, dari Aceh sampai Sumatera Barat, dipicu oleh dampak bumi yang semakin panas, yang mengakibatkan produksi awan meningkat.
Kondisi ini membuat sungai meluap, dan lereng-lereng rapuh pun runtuh, menghanyutkan rumah, jalan, dan kehidupan masyarakat. Data BNPB menyebutkan bahwa lebih dari 3.000 kejadian bencana hidrometeorologi terjadi di Indonesia setiap tahun. Bencana tersebut dipicu oleh kerusakan lingkungan serta tata ruang yang tidak lagi selaras dengan alam.
Musibah air dan tanah yang melanda Ranah Minang, sesungguhnya bukanlah tamu yang datang tanpa izin. Sebelum semua data ilmiah dan geologi dicatat, filsafat adat Minang telah menyampaikan satu kebenaran abadi: alam merupakan guru pertama manusia.
Ini terkandung dalam frasa “Alam takambang jadi guru”alam terkembang menjadi guru.
Ini adalah pandangan hidup utama yang memandu masyarakat Minang, jauh sebelum abad modern. Setiap pepatah, petitih, dan mamangan tidak lahir dari ruang hampa.
Ia merupakan hasil dialog spiritual yang panjang antara manusia dengan alam, yang diwakili oleh tanah, air, hutan, dan bukit-bukit yang melingkari setiap kampung.
Akan tetapi, ironisnya, pada masa sekarang, filsafat agung tersebut lebih sering hanya menjadi kutipan, tanpa dipraktikkan secara konkret. Pepatah “Alam takambang jadi guru” kehilangan tuahnya ketika bersinggungan dengan deforestasi yang menakutkan, tebing-tebing yang dipapas atas nama kemajuan, atau di hadapan sungai yang sengaja disempitkan untuk kepentingan bisnis pragmatis.
Alam senantiasa tidak pernah berhenti mengajar, hanya manusia yang telah tertutup hatinya. Maka, alam kemudian mengajar secara lebih keras, selayaknya seorang guru mengajar murid yang keras kepala.
Ketika Alam Menunjukkan Batasnya
Memang hujan ekstrem menjadi faktor pemicu bencana, tetapi penyebab utamanya jauh lebih kompleks. Daerah aliran sungai di Sumatera telah kehilangan penyangga ekologisnya, disebabkan oleh deforestasi masif semenjak era 1980-an. Saat ini yang tersisa hanyalah bentang alam yang lemah.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sumatera telah kehilangan lebih dari 6 juta hektare hutan dalam tiga puluh tahun terakhir. Hal yang mengenaskan adalah, Bukit Barisan, yang notabene adalah tulang punggung Sumatera, semakin terdesak oleh tekanan ekspansi permukiman, kebun, dan infrastruktur.
Hilangnya hutan membuat tempat resapan air hilang. Bukit dipapas mengakibatkan tanah kehilangan akar untuk menahan dirinya. Banjir bandang dan longsor disebabkan oleh dua hal tadi, yang bersumber dari ketidakpatutan cara manusia memperlakukan alam.
Bagi masyarakat Minang, yang berpegang pada filosofi tradisional tadi, perubahan alam adalah sebuah tanda yang timbul karena ketidakseimbangan. Hal ini menjadi alarm moral yang secara tidak langsung berkata bahwa manusia telah melanggar kepatutan, atau alua jo patuik, dalam memperlakukan alam.
Tungku Tigo Sajarangan dan Kepatutan Ekologis yang Hilang
Fondasi adat Minangkabau berdiri di atas apa yang disebut Tungku Tigo Sajarangan: alim ulama, ninik mamak, dan cadiak pandai. Ketiganya berfungsi menjaga keseimbangan kehidupan. Ulama menjaga syariat dan moralitas, ninik mamak menjaga adat serta hubungan sosial, sementara cadiak pandai menghadirkan akal sehat dan pengetahuan. Ketiganya bekerja dalam satu kerangka nilai: raso jo pareso—kepekaan nurani dan kebijaksanaan menimbang.
Dalam konteks ekologis, Tungku Tigo Sajarangan semestinya menjadi benteng terakhir dari keputusan-keputusan yang menyentuh ruang hidup masyarakat: pembukaan hutan, pelebaran jalan, penambangan bukit, hingga alih fungsi lahan.
Prinsip alua jo patuik mengharuskan setiap keputusan menempatkan sesuatu pada tempatnya—hutan tetap hutan, sungai tetap sungai, dan lembah tetap lembah. Bukan sebaliknya.
Namun ketika hal ini tidak berjalan—ketika lembaga adat tidak didengar, ulama tidak dilibatkan, atau cendekiawan dikesampingkan—keputusan pembangunan menjadi tidak pas. Banjir dan longsor di Sumatera adalah bukti nyata dari ketidakwajaran itu: hutan gundul, bukit ditambang, sungai dipersempit, dan ruang hidup rakyat diletakkan dalam risiko. Oleh karena itu, bencana ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan kegagalan sosial-budaya dalam menjalankan prinsip adat yang sejak awal telah memberi peringatan melalui konsep “alam takambang jadi guru.”
Bencana Sebagai Peringatan Alam
Bagi budaya Minang, bencana alam bukan hanya peristiwa fisik, melainkan juga memiliki dimensi sosial dan spiritual—sebuah teguran dari guru kepada muridnya. Air yang meluap menjadi bah, tanah yang longsor, dan kampung yang terendam adalah peringatan bahwa kita telah melanggar kepatutan dan kepantasan dalam memperlakukan alam.
Bendungan, tembok penahan, atau tebing pengaman mungkin bisa dibangun, tetapi jika tidak disertai pemahaman akan filsafat “alam takambang jadi guru”, semua itu hanyalah tambal sulam yang akan robek kembali sewaktu-waktu.
Filsafat Minang tersebut pada hakikatnya adalah etika lingkungan yang senantiasa relevan. Di tengah perubahan iklim, krisis ekologi, dan bencana yang semakin sering, pandangan hidup yang menempatkan alam sebagai bagian dari diri manusia—bukan objek eksploitasi—harus dipahami dan diterapkan secara berkelanjutan.
Mengakar pada Tradisi, Bergerak ke Masa Depan
Kebesaran dan kemajuan sebuah bangsa bukan hanya ditandai oleh kemajuan teknologi, melainkan adalah bagaimana kebijaksanaan lokalnya tetap dipelihara. Generasi sekarang, jika ingin mencegah bencana yang sama terjadi lagi, maka langkah utama adalah bukan menambah anggaran mitigasi, melainkan adalah memahami, menghayati, dan mengaplikasikan etika ekologis “alam takambang jadi guru” ke dalam kehidupan sehari-hari.
Rimbo larangan, pembatasan pembukaan lahan, penguatan nagari dalam mengatur ulayat, dan kepekaan akan membaca tanda-tanda alam sebelum membangun sesuatu, adalah hal-hal yang harus kita pahami dan lakukan.
Akhir kata, alam pada dasarnya tidak pernah berhenti jadi guru manusia. Semua bencana yang kita hadapi adalah sebuah pengingat sekaligus pelajaran moral, bahwa kita manusia harus hidup selaras dengan alam. Jika kita mau kembali mendengarkan dan merenungkan, mungkin kita akan menemukan bahwa seluruh kunci keselamatan sudah diwariskan oleh leluhur masyarakat Minangkabau dalam satu frasa sederhana: alam takambang jadi guru.
Baca Juga
-
Gie, Andi Munajat, dan Relevansi Aktivisme Mahasiswa Hari Ini
-
Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas Masih Nyata, Meski Sering Tak Disadari
-
Film Tulang Belulang Tulang, antara Tradisi, Gengsi, dan Kapitalisme
-
Benarkah Lagu Birds of a Feather Billie Eilish Menyebalkan?
-
Ulasan Serial Netflix Ozark: Memahami Pola dan Wujud Pencucian Uang Menjadi Sah dan Legal
Artikel Terkait
Kolom
-
No Viral No Justice: Ketika Kasus Bullying Baru Dipedulikan setelah Ramai
-
6 Cara Menjaga Batasan agar Aman dari Cyberbullying, Sudah Lakukan?
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
-
Suara Pesisir yang Padam: Hak Perempuan Nelayan yang Masih Terabaikan
-
Mencari yang Dicintai di Antara Lumpur dan Air Mata
Terkini
-
Tegas, Iko Uwais Tepis Isu Pencitraan dalam Film Timur
-
Gantikan Marselino Ferdinan, Rifqi Ray Farandi Hadapi Tanggung Jawab Besar
-
Ketika Grup Chat Jadi "Medan Bullying": Bagaimana Cara Menghadapinya?
-
FIFA Puskas Award 2025, Rizky Ridho dan Kado Penawar Luka Barisan Pendukung Setia Skuat Garuda
-
Makin Menegangkan! Serial The Night Agent Season 3 Rilis Februari 2026