Lintang Siltya Utami | Angelia Cipta RN
Ilustrasi Mangrove di Pantai. (Pexels/One Second Before Sunset)
Angelia Cipta RN

Di banyak daerah pesisir Indonesia, laut yang dulu menjadi sahabat kini perlahan berubah menjadi ancaman yang menggulung daratan sedikit demi sedikit.

Orang sering menyebut perubahan iklim sebagai penyebab utama, tetapi kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa manusia sendiri telah membuka pintu bagi bencana itu.

Mangrove, benteng alami yang selama ratusan tahun menahan abrasi, justru menjadi korban pertama dari kerakusan manusia. Hutan mangrove ditebang untuk tambak yang hanya bertahan beberapa tahun, digantikan bangunan yang cepat rusak, atau sekadar dibersihkan demi pandangan lebih indah menuju laut.

Ketika akar-akar itu hilang, daratan pun kehilangan pertahanannya. Gelombang menjadi lebih buas, arus mempercepat erosi, dan lama-kelamaan garis pantai bergeser tanpa bisa dibendung.

Ironisnya, masyarakat pesisir sering kali bingung mengapa rumah mereka terendam rob dan tanah mereka lenyap, seolah-olah bencana datang tanpa peringatan. Padahal setiap batang mangrove yang dibuang adalah peringatan itu sendiri.

Pesisir bukan hanya ruang geografis ia adalah ruang identitas budaya. Dari nelayan hingga pedagang ikan, dari anak-anak yang bermain di jembatan kayu hingga lansia yang menjemur jaring, kehidupan di pesisir dibangun di atas ritme laut.

Ketika pesisir tergerus, hilang pula bagian dari identitas masyarakat. Namun, kerusakan lingkungan tidak pernah berdiri sendiri. Itu adalah gabungan dari pola pikir jangka pendek, minimnya perhatian pemerintah, dan lemahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keseimbangan ekologi

Pesisir retak bukan hanya karena ombak, tetapi juga karena keputusan-keputusan salah yang kita anggap remeh.

Komunitas Mangrove Barisan Sunyi yang Memperbaiki Apa yang Kita Rusak

Ketika berbagai pihak saling menyalahkan, ada sekelompok orang yang memilih bekerja, bukan berbicara. Komunitas mangrove hadir sebagai harapan kecil yang tumbuh dari akar-akar lumpur.

Mereka bukan aktivis profesional, melainkan warga lokal nelayan yang kehilangan tempat mencari ikan, pemuda yang muak melihat pantai semakin rusak, perempuan pesisir yang ingin lingkungannya tetap hidup untuk generasi berikutnya.

Mereka membeli bibit dari uang sendiri, menanamnya saat air surut, merawatnya hingga tumbuh, dan melindunginya dari ulah orang-orang yang tidak peduli. Mereka berjalan menembus lumpur, tergelincir, tergores akar, tapi tetap melanjutkan pekerjaan karena mereka tahu bahwa masa depan pesisir tidak akan berubah jika hanya menunggu.

Komunitas-komunitas ini sering bekerja dalam kesunyian, tanpa liputan media atau bantuan pemerintah. Mereka melihat langsung bagaimana tambak yang gagal justru meninggalkan tanah mati, bagaimana sampah dari kota masuk ke akar mangrove, dan bagaimana generasi muda makin jauh dari kebiasaan menjaga lingkungan.

Mereka juga tahu bahwa menanam mangrove bukan sekadar menancapkan bibit, tetapi merawatnya hingga kuat menghadapi arus. Banyak proyek penanaman yang hanya sebatas seremoni, bibitnya mati dalam sebulan. Berbeda dengan komunitas lokal yang memahami pola pasang surut, jenis lumpur, dan titik-titik terbaik bagi bibit untuk bertahan.

Lebih dari sekadar menjaga alam, komunitas ini juga membangun kembali relasi antara manusia dan lingkungan. Mereka mengadakan kegiatan edukasi, mengajak anak-anak menanam mangrove sebagai bagian dari identitas pesisir, dan menghidupkan kembali budaya menjaga alam sebagai wujud rasa syukur.

Dalam diam, mereka melakukan perlawanan ekologis terhadap kerusakan yang diciptakan oleh manusia sendiri. Perlawanan dari bawah, dari akar, dari tangan-tangan yang tidak menunggu perintah.

Panggilan Kritis Apakah Kita Menjadi Bagian dari Solusi atau Sumber Kerusakan Pesisir?

Permasalahan pesisir bukan hanya tanggung jawab komunitas mangrove. Ini adalah cermin dari cara kita memperlakukan lingkungan secara keseluruhan. Kita sering bertepuk tangan untuk gerakan hijau, tetapi jarang mengubah kebiasaan kita sendiri.

Kita memuji para penjaga mangrove, tetapi tetap membuang sampah ke sungai yang berujung ke laut. Kita bangga dengan kampanye lingkungan, tetapi mendukung pembangunan yang mengorbankan wilayah pesisir. Sikap ini menggambarkan dilema besar bangsa ini kita suka membicarakan pelestarian, tetapi tidak benar-benar menjalankannya.

Melindungi pesisir bukan hanya tentang ekologi, tetapi juga tentang keadilan sosial. Masyarakat pesisir adalah yang pertama merasakan dampak abrasi, tetapi sering menjadi yang terakhir mendapatkan bantuan.

Nelayan kehilangan sumber penghidupan, tetapi jarang dilibatkan dalam diskusi tentang perbaikan lingkungan. Anak-anak pesisir harus tumbuh dalam kondisi yang semakin rentan. Kerusakan pesisir adalah persoalan keadilan, bukan sekadar persoalan alam.

Di tengah ancaman itu semua, mangrove berdiri sebagai simbol harapan yang tidak pernah menyerah. Mereka tumbuh perlahan tetapi pasti, mencengkeram tanah yang hampir hilang, menciptakan rumah bagi biota laut, dan menjadi penahan gelombang yang paling setia. Pertanyaannya bukan lagi apakah mangrove bisa menyelamatkan pesisir, melainkan apakah kita bersedia berdiri bersama mereka.

Pada akhirnya, cerita pesisir bukan sekadar narasi tentang air, lumpur, dan akar. Ini adalah cerita tentang manusia dan pilihannya. Apakah kita ingin terus mengambil tanpa mengembalikan, atau mulai memperbaiki apa yang telah rusak? Komunitas mangrove telah memberikan contoh. Mereka sudah bergerak.

Sekarang giliran kita menentukan, apakah kita ingin menjadi bagian dari solusi atau tetap menjadi bagian dari masalah yang membuat pesisir perlahan menghilang.