Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Ilustrasi pantai (Unsplash/derek oulasin)
Ryan Farizzal

Pemanasan global menjadi ancaman besar bagi bumi kita, dan Indonesia, sebagai negara kepulauan terluas di dunia, merasakan dampaknya langsung, terutama di daerah pesisir.

Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang, lebih dari 99.000 kilometer, dan ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, serta padang lamun sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca membuat berbagai masalah, mulai dari naiknya air laut hingga rusaknya rumah alami.

Berdasarkan data, suhu di Indonesia sudah naik sekitar 1,6°C sejak tahun 1866, dan diperkirakan akan naik hingga 3,5°C pada tahun 2100 jika tidak ada upaya reduksi yang efektif. Hal ini bukan hanya mengganggu keseimbangan alam tapi juga mengancam hidup jutaan warga yang bergantung pada sumber daya pesisir.

Salah satu dampak terburuk adalah naiknya air laut. Di Indonesia, air laut naik sekitar 4,3 mm per tahun hingga akhir tahun 2024. Hal ini disebabkan oleh air laut yang memanas dan mencairnya es di kutub.

Penurunan permukaan tanah di beberapa daerah seperti Jakarta Utara membuat banjir rob lebih sering terjadi.

Banjir rob tidak hanya menggenangi daerah pesisir tapi juga memasuki air tanah, mengancam ketersediaan air bersih. Di kota besar seperti Jakarta, masalah ini sudah menjadi hal yang umum, dimana air asin masuk ke sumur dan merusak bangunan.

Korosi pantai juga semakin parah karena gabungan naiknya air laut dan penurunan tanah. Korosi ini merusak garis pantai, mengurangi luas daratan, dan menghancurkan habitat alami.

Di sejumlah daerah pesisir Jawa Barat, korosi menyebabkan hilangnya ratusan hektar lahan setiap tahunnya.

Ekosistem yang rapuh menjadi korban utama, karena gelombang yang lebih kuat karena perubahan cuaca mempercepat proses erosi. Dampak ini bukan hanya dari segi lingkungan, tapi juga ekonomi karena banyak desa nelayan kehilangan akses ke daerah pesisir yang aman.

CeritaDariPesisir: Di sebuah desa kecil di Pantai Utara Jawa, seorang nelayan bernama Pak Budi menceritakan betapa seringnya banjir rob datang hampir setiap bulannya, menggenangi rumahnya dan merusak perahu.

"Dulu, pantai kami aman, tapi sekarang air laut naik terus, ikan pun semakin jauh," ujarnya dengan suara sedih. Cerita seperti ini mencerminkan keadaan ratusan nelayan Indonesia yang mata pencahariannya terancam.

Mangrove, yang berfungsi sebagai benteng alami di pesisir, juga terus mengalami kerusakan berat. Pemanasan global membuat air asin semakin masuk ke daratan, sehingga menyulitkan mangrove untuk bertahan.

Di Indonesia, mangrove sangat penting sebagai pelindung terhadap badai dan abrasi, serta membantu menyerap karbon. Namun, kerusakan mangrove justru mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca, yang memperparah pemanasan.

Menurut laporan, hilangnya mangrove di daerah pesisir Sulawesi dan Sumatra sudah membuat ekosistem ini kurang efektif dalam melindungi daratan dari gelombang tinggi. Selain itu, mangrove menjadi tempat tinggal banyak spesies ikan dan burung, jadi kerusakannya mengganggu rantai makanan di laut.

Terumbu karang, yang dikenal sebagai "hutan hujan laut", juga mengalami pemutihan massal karena kenaikan suhu air laut.

Pemanasan membuat karang melepaskan alga yang hidup bersamanya, yang memberikan nutrisi serta warna. Tanpa alga ini, karang putih dan mati jika tidak ada perbaikan. Di Raja Ampat dan Bunaken, terumbu karang yang dulunya indah kini terancam, dengan kematian hingga 30-50% di beberapa area karena panas laut.

Selain itu, peningkatan karbon dioksida menyebabkan laut lebih asam, membuat struktur karang lebih rapuh dan rentan terhadap badai.

Dampak ini juga merusak keanekaragaman hayati, karena ribuan spesies ikan dan hewan tanpa tulang belakang kehilangan tempat tinggal, yang pada akhirnya memengaruhi industri perikanan nasional.

SuaraHijau mengatakan, "Kita harus bertindak sekarang untuk menyelamatkan pesisir kita. Tanam mangrove, kurangi emisi, dan lindungi laut agar generasi mendatang masih bisa menikmati keindahannya," kata aktivis lingkungan di Jakarta. Suara ini adalah panggilan untuk aksi bersama melawan perubahan iklim.

Bagi nelayan dan masyarakat pesisir, dampak ini sangat menimbulkan kerugian. Perubahan suhu laut membuat ikan berpindah ke tempat yang lebih dingin, menyebabkan hasil tangkapan menurun tajam.

Di bagian timur Indonesia, nelayan melaporkan ikan seperti tuna dan sarden berpindah ke perairan yang lebih dingin, meninggalkan nelayan dengan hasil tangkapan yang sedikit.

Selain itu, cuaca ekstrem seperti badai tropis yang semakin kuat merusak peralatan nelayan dan infrastruktur pelabuhan.

Di pulau-pulau kecil seperti Maluku atau Papua, ancaman tenggelam permanen membuat penduduk harus mempertimbangkan pindah ke tempat lain, yang menyebabkan masalah sosial baru.

Secara keseluruhan, pemanasan global tidak hanya merusak ekosistem pesisir Indonesia, tetapi juga mengancam pangan, perekonomian, dan budaya masyarakat. Upaya mitigasi seperti menanam kembali mangrove dan membuat kawasan konservasi laut minimal 2 juta hektar di 19 provinsi menjadi langkah penting.

Namun, tanpa perjanjian global untuk mengurangi emisi, dampak ini akan semakin parah. Indonesia perlu memperkuat upaya adaptasi, seperti membangun tanggul dan mengembangkan perikanan berkelanjutan, untuk melindungi warisan alamnya.

Di pulau-pulau kecil, kenaikan air laut bisa menyebabkan daratan hilang selamanya, yang mengganggu jalan dan bandara.

Kerugian ekonomi akibatnya bisa mencapai miliaran dolar, termasuk biaya orang yang terpaksa pindah. Banyak hewan laut kehilangan tempat tinggal, sehingga berdampak pada keanekaragaman hayati secara keseluruhan.

Untuk menangani masalah ini, pemerintah Indonesia sudah menetapkan target konservasi, tetapi peran masyarakat sangat penting. Membuat kesadaran tentang perubahan iklim dan usaha lokal seperti menanam pohon mangrove bisa jadi penyelesaian sementara.

Akhirnya, pemanasan global adalah masalah yang memengaruhi semua negara, jadi kerja sama internasional sangat diperlukan.