Hayuning Ratri Hapsari | Angelia Cipta RN
Kolase Poster Film Bully dan Pembullyan (IMDb-Pexels)
Angelia Cipta RN

Bullying sering diperlakukan sebagai kenakalan kecil, bagian dari pertumbuhan, atau masalah antar siswa yang akan hilang sendiri. Salah satu film bertema bullying yang paling menguras emosi dan penuh pesan moral adalah ‘Bully’ yang dirilis tahun 2011 silam.

Film dokumenter Bully (2011) ini benar-benar merobek ilusi itu dengan cara paling menyayat. Alurnya diambil dari kisah nyata lima korban perundungan di sekolah-sekolah Amerika.

Film ini menunjukkan bahwa bullying bukan tindakan spontan anak-anak nakal, tetapi manifestasi dari kegagalan sistemikkegagalan orang dewasa, sekolah, dan komunitas yang seharusnya menjadi pelindung pertama anak.

Kisah Alex Libby, bocah 12 tahun yang dipukul, dicekik, dan dihina setiap hari di bus sekolah, memperlihatkan bagaimana kekerasan bisa terjadi secara terbuka tanpa intervensi apa pun. Adegan itu menjadi bukti rekam betapa sekolah tidak hanya lalai, tetapi juga menyangkal fakta.

Ketika orang tua Alex mengadu, wakil kepala sekolah justru membela pelaku dan berkata bahwa anak-anak itu sebenarnya teman bermain. Sikap seperti ini tidak hanya salah secara moral, tetapi berbahaya karena menormalisasi kekerasan sebagai bagian dari sosialisasi.

Fenomena ini juga sangat relevan dengan sekolah-sekolah di Indonesia, di mana laporan bullying sering dibantah demi menjaga reputasi. Alih-alih melindungi korban, pihak sekolah kerap menyederhanakan masalah menjadi salah paham kecil, atau lebih parah lagi menyuruh korban sabar dan jangan bawa-bawa media.

Film Bully (2011) ini mengingatkan bahwa sikap defensif seperti inilah yang akhirnya memungkinkan kekerasan tumbuh subur dan tak terkendali.

Luka yang Tidak Terlihat Ketika Bullying Menghancurkan Identitas dan Kehidupan

Dampak bullying tidak pernah sekadar fisik. Dokumenter Bully membuka mata penonton terhadap luka-luka psikologis yang menggerus para remaja hingga ke titik terendah hidup mereka.

Kelby Johnson, remaja perempuan yang dikucilkan karena orientasi seksualnya, adalah contoh nyata bagaimana identitas seseorang bisa dijadikan senjata untuk melukai. Ia bukan hanya dirundung oleh teman sebayatetapi juga distigmatiskan oleh guru dan masyarakat. Ketika komunitas ikut menormalisasi diskriminasi, korban kehilangan ruang aman untuk menjadi dirinya sendiri.

Kisah paling memilukan dalam film ini adalah tragedi Ty Smalley dan Tyler Long, dua bocah laki-laki yang akhirnya memilih bunuh diri setelah bertahun-tahun dirundung. Film ini tidak menampilkan adegan dramatis, tetapi justru memperlihatkan kehancuran perlahan yang dialami korban hilangnya rasa harga diri, hilangnya harapan, dan akhirnya hilangnya hidup. Orang tua mereka tampil dalam dokumenter sebagai suara kesedihan yang tak mungkin terhapusmereka adalah bukti nyata bahwa kegagalan sistem sekolah bukan masalah administratif, tetapi masalah nyawa.

Secara psikologis, korban bullying sering merasa terisolasi, tidak didengar, dan tidak dipercaya. Ketika mereka mengadu, orang dewasa meremehkan. Ketika mereka minta tolong, lingkungan meragukan.

Dalam kondisi seperti itu, rasa putus asa tumbuh. Mereka mulai percaya bahwa penderitaan mereka tidak penting dan tidak akan berubah. Bully menunjukkan bahwa kekerasan yang dianggap ringan bisa membunuhbukan dengan pukulan, tetapi dengan rasa kesepian yang mematikan.

Tanggung Jawab Orang Dewasa Menghentikan Kekerasan Bukan Tugas Anak-anak

Pesan paling keras yang dibawa Bully (2011) adalah bahwa anak-anak tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Tanggung jawab terletak pada orang dewasaguru, orang tua, pengawas sekolah, bahkan masyarakat.

Namun kenyataannya, anak-anak yang menjadi korban justru sering disuruh mengerti, mengalah, atau kuat sedikit. Inilah bentuk pengabaian yang paling berbahaya ketika beban mencegah kekerasan justru diletakkan di pundak mereka yang paling lemah.

Film ini juga menunjukkan bahwa mengatasi bullying tidak cukup dengan hukuman. Sistem pendidikan harus berubah dari akar. Sekolah perlu menciptakan budaya yang memberi ruang aman untuk melapor tanpa takut.

Guru harus dilatih membaca tanda-tanda awal perubahan perilaku, keengganan masuk sekolah, atau menarik diri dari pergaulan. Yang terpenting, lingkungan harus menumbuhkan empati dan keberanian moral dalam diri siswa. Penonton film ini belajar satu hal penting kekerasan dapat dihentikan, tetapi hanya jika orang dewasa berhenti menutup mata.

Bully memaksa kita merenung berapa banyak anak di sekolah kita yang diam-diam menderita seperti Alex? Berapa banyak Kelby yang kehilangan jati diri karena diskriminasi? Berapa banyak Ty dan Tyler yang menunggu pertolongan yang tidak pernah datang? Dokumenter ini menegaskan bahwa tragedi bukan terjadi karena pelaku jahat sajatetapi karena terlalu banyak orang dewasa memilih tidak bertindak.

Pada akhirnya, Bully (2011) ini bukan sekadar film. Ia adalah peringatan keras bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat aman, bukan arena kekuasaan sosial yang dibiarkan tanpa pengawasan.

Anak-anak tidak seharusnya belajar bertahan hidup di usia mereka. Mereka seharusnya belajar tumbuh. Dan mereka hanya bisa tumbuh ketika dunia dewasa berhenti berkata itu hanya bercanda dan mulai menanyakan Siapa yang hari ini membutuhkan perlindungan kita?