Hayuning Ratri Hapsari | Rana Fayola R.
Ilustrasi sampul Cerpen: Garda Terdepan. (dok: Gemini AI/Nano Banana)
Rana Fayola R.

Gadis manis berhati iblis. 

Agaknya sederet kalimat tersebut sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan sosok Arisa Birdella Calandra. Si mahasiswi berparas bidadari yang namanya sudah terkenal di seantero Universitas Manggala.

Arisa yang baru memasuki semester dua justru telah dikenal oleh banyak senior. Bukan hanya karena kecerdasan dan kecantikannya, akan tetapi juga disebabkan keberanian yang berada diatas rata-rata.

Keganasan gadis berusia 19 tahun itu semakin nampak ketika tengah melakukan perundungan kepada target. Entah rekan satu angkatan, atau mungkin kakak tingkat yang berani bermain api dengan sumbu pendek miliknya. 

Ketakutan dalam diri Arisa seolah lenyap.

Seluruh tindakan bully yang Arisa lakukan selalu berhasil ditutupi dengan rapi. Entah jurus seperti apa yang ia pakai hingga perilaku buruknya sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama tak terendus oleh guru maupun orang tua.

Melihat orang lain menatapnya gemetar seakan menjadi hiburan tersendiri. Meskipun dalamnya hati seseorang tidak ada yang tahu, bukan? Nyatanya Arisa hanya dikenal sebagai mahasiswi cantik yang cerdik nan licik.

Manik cokelat jernih milik Arisa Birdella Calandra yang begitu indah tertutup untuk sesaat. Tepat ketika dinginnya jus menyapa lengan yang tertutup sweater panjang. Sebrengsek-brengseknya Arisa, ia tak mau tubuhnya dijadikan santapan oleh para buaya yang kelaparan. 

Rahang gadis itu mengeras. Sedetik kemudian matanya kembali terbuka dan langsung menyorot nyalang pada manusia yang berani membuat lengannya basah. Athifa Nareswari Maharani adalah pemandangan pertama yang Arisa temukan.

Teman sekelas yang selalu berhasil membuat darah Arisa mendidih. Bibir yang tadinya mengatup rapat, kini mendesis, "Lo gila?"

Arisa tak menggunakan nada tinggi sedikit pun, akan tetapi justru suara rendah itulah yang berhasil membuat orang-orang merinding. Kantin yang tadinya riuh langsung senyap. Seolah memahami bakal terjadi hal seru di sini.

Berbeda dengan Arisa yang tak bergeming di tempat duduknya, Thifa masih berdiri dengan tubuh gemetar. Pemandangan yang seharusnya bisa menyenangkan hati gadis durjana seperti Arisa, bukan?

Thifa memang selalu menjadi target bully yang empuk, namun hal tersebut tak pernah bertahan lama. Kalaupun ia merasa gembira, itu hanya sesaat. Setelahnya malah muncul rasa bersalah yang teramat sangat. Perasaan inilah yang begitu memuakkan.

Arisa tidak tahu alasannya, tapi benar-benar mengganggu. Padahal ia jauh dari penyesalan jika telah berhasil melakukan bully pada orang lain.

"M-maaf, Sa." 

Ucapan terbata-bata yang Thifa lontarkan sukses membuat senyum miring Arisa terbit. Banyaknya pasang mata yang mengarah pada dirinya tak menimbulkan gentar sedetik pun. Arisa justru senang. 

Gadis itu bergerak pelan, hingga akhirnya berdiri dan berhadapan langsung dengan Thifa yang menunduk. Tinggi mereka sama, jadi Arisa tak perlu repot-repot mendongak atau sebaliknya. Mengabaikan rasa gelisah di dalam rongga dada, ia meraih gelas berisi jus jeruk yang ada belum tersentuh di meja.

Masih utuh, dan Arisa terlihat begitu luwes ketika menuangkan isinya di atas kepala Thifa. Para mahasiswa yang menyaksikan hanya bisa menutup mulut sembari menahan pekikan. Tentunya tingkah brutal Arisa bukan kali ini saja.

Seolah tak merasa bersalah, Arisa mendekatkan bibirnya ke telinga Thifa yang kini hampir basah kuyup. Senyum sinis gadis manis itu kian menjadi-jadi. 

"Lo pikir kata maaf bisa bikin sweater 50 juta ini jadi langsung kering dan nggak bau jus jeruk?" bisiknya sarkas. "Anak panti nggak usah belagu."

***

Lagi-lagi perasaan gelisah menyerang benak Arisa Birdella Calandra. Padahal dirinya tak pernah memiliki hubungan pertemanan dengan Thifa, lantas mengapa Arisa harus merasa cemas seperti ini setelah perundungan tadi siang?

Bahkan sampai matahari tenggelam dan digantikan rembulan terang, Arisa masih direpotkan oleh rasa asing yang entah dari mana asalnya. Bising musik DJ yang biasanya biasa saja di telinga, kini terdengar sangat mengganggu.

Menilik pada suasana di sekitar, orang-orang sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing. Arisa hanya bisa memejamkan mata saat mendapati pemandangan tak menyenangkan. Klub malam, tentu berisi orang-orang yang sedang ingin melampiaskan kesedihan melalui cara keliru.

Namun, tidak dengan Arisa. 

Ia terpaksa selalu ikut ke tempat menyebalkan tersebut agar dapat mengawasi sahabatnya. Siapa lagi jika bukan Megan. Berkali-kali Arisa dan Lucia melarang untuk datang, tetap saja Megan keras kepala.

"Balik, yuk." Gadis itu semakin kesulitan menemukan kenyamanan saat beberapa pasang mata menatap dengan sorot berbeda.

Bukannya mengangguk, Megan justru menggeleng. Wajah cantik tersebut nampak memerah. Arisa seketika mengumpat kesal ketika menyadari minuman apa yang Megan pesan. Vodka. Mereka memang remaja nakal, tapi tidak sampai sebegininya.

Terlalu asik melamun, Arisa sampai tak menyadari kelalaian ini. Megan mabuk dan Lucia masih asik berbincang dengan pacar melalui sambungan telepon. Merepotkan.

"Lucia! Liat temen lo mabok!" sentak Arisa kesal. 

Lucia pun langsung menoleh. Mata indahnya turut membulat terkejut. "Maaf, tapi dia temen lo juga."

Tak ada pilihan lain, kedua gadis itu berjibaku memapah Megan yang terus meracau agar segera masuk ke mobil. Megan yang terus saja meronta membuat Arisa dan Lucia sedikit kesulitan.

"Jangan balik dulu, deh! Gue males ketemu Devon!" Megan merengek ditengah ambang batas kesadarannya. "Dasar adek nggak tau diri!"

Nah, kan. Benar dugaan Arisa. 

Megan dan adiknya memang tak pernah akur. Selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar hebat. Entah masalah apa yang tengah menjadi topik perdebatan sahabatnya itu, Arisa enggan memikirkan. Lebih baik ia fokus mempercepat langkah agar bisa cepat terbebas dari posisi sulit seperti ini. 

Seketika parkiran terasa begitu jauh.

Mendengar Megan yang terus saja menggerutu sembari memberikan sumpah serapah untuk adiknya sendiri, Arisa tak tahan untuk tidak menyahut, "Sabar, Ga. Namanya juga bocah."

"Bocah lo bilang?" Bisa-bisanya Megan tetap menyemprot Arisa walau sedang mabuk begini. "Coba aja kalo adek lo ketemu, yakin bakal akur sama dia?!"

Skakmat. 

Hampir saja Arisa melemparkan sahabatnya agar terguling di aspal. Tapi, gadis itu hanya bisa mengumpat dalam hati. "Kalo ketemu, gue bakal jagain tuh bocah baik-baik, Megan!"

"Atau jangan-jangan kembaran lo yang ilang beneran Thifa?"

***

Arisa Birdella Calandra bisa duduk tenang dan nyaman di balkon. Gadis yang tengah menjadi anak tunggal tersebut sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya. Mengingat besok adalah hari libur, dan tentu tidak ada mata kuliah yang menyiksa.

Walau Arisa tergolong dalam mahasiswi pintar nan berprestasi.

Usai kejadian di bar tadi, mereka langsung menuju apartemen milik Lucia. Sebab hanya tempat ini yang aman untuk menyembunyikan Megan. Bisa diusir habis-habisan jika sahabat karibnya itu pulang dalam keadaan mabuk.

"Mau lo pandangin sehari semalem, tuh langit bakalan tetep nggak bisa dipeluk, Sa."

Arisa terkesiap mendapati Lucia sudah duduk di sebelahnya. Ia dengan senang hati menerima secangkir cokelat hangat. Tak usah menanyakan keberadaan Megan, sudah jelas dia sedang tertidur.

Entah apa yang akan Megan rasakan saat bangun nanti, Arisa enggan memikirkan sekarang. 

"Mau siang atau malem, langit tetep cantik banget." Manik cokelat jernih yang biasa menyorot sinis kini justru berbinar mendapati taburan bintang di atas sana. 

Arisa memang terlihat keras, kuat, tahan banting, juga kejam. Tapi mau bagaimanapun juga, Arisa tetap seorang perempuan dengan hati yang lembut. Sayang seribu sayang, sisi lain dari dirinya itu hanya diperlihatkan pada orang-orang tertentu. 

Lucia salah satunya. 

"Nggak usah khawatir, nanti ada waktunya kalian ketemu."

Susana hangat di antara mereka seketika menguap. Lucia memang sahabat Arisa yang paling waras. Walau tak mengatakan secara rinci arah pembicaraannya, Arisa sudah mengerti apa yang Lucia maksud.

Apalagi ponselnya juga masih menyala dan menampilkan sosok dua balita dengan senyum manis yang begitu menggemaskan. Arisa harus mati-matian menahan cairan kristal yang ingin lolos dari pelupuk matanya.

"Gue takut nggak bisa ketemu." Ia terkekeh miris. 

Seketika kembali memutar ingatan. Ingin merutuki keadaan pun rasanya percuma. Namun, sungguh. Arisa benar-benar ingin bertemu dengan kembarannya. Memang sedikit mengejutkan, seorang Arisa Birdella Calandra memiliki kembaran tanpa sepengetahuan orang-orang. 

Naas, saudarinya itu mengalami penculikan ketika masih bayi. Kini hanya tersisa Arisa seorang. Padahal jika mereka bersama, ia akan melindungi adiknya dengan sepenuh hati. Entah bagaimana nasib kembarannya sekarang.

"Gimana kalo yang Megan omongin tadi bener?"

Lucia benar-benar membuat Arisa memutar otak. Seolah mengerti kepintaran sahabatnya sedang menghilang, Lucia mendesis gemas. "Thifa. Gimana kalo kembaran yang lo cari itu Thifa?"

Pertanyaan yang sulit untuk Arisa jawab. Bukan hanya sekali atau dua kali saja Lucia dan Megan mengatakan hal serupa. Sembari kembali melempar tatapannya pada langit, Arisa menggeleng.

"Thifa? Athifa Nareswari Maharani?" Gelengannya semakin kencang. "Nggak mungkin. Gue aja sering bully dia."

Seperti yang lain, Thifa hanya diam saja ketika Arisa melakukan perundungan. Tentunya tak berani memberi perlawanan. Lucia dapat dengan mudah menangkap raut gamang dalam wajah cantik gadis di sampingnya. 

Lucia juga sama-sama bengis seperti Arisa, tapi hal itu hanya ketika di luar saja. Mereka semua tetap manusia biasa, punya sisi lemah tersendiri.

"Mending lo cari pacar aja, Sa.

Saran tak menguntungkan yang Lucia berikan langsung Arisa sambung dengan dengusan malas. Sungguh, seorang Arisa Birdella Calandra tak pernah memiliki pikiran ke arah sana. Pacaran hanya akan menguntungkan pihak laki-laki, sedangkan perempuan menelan banyak kerugian.

"Kebalik, Cia. Harusnya gue yang nyuruh lo putusin Ando." Arisa tertawa jahat. "Nggak usah pacaran, deh. Nggak ada manfaatnya sama sekali."

Decakan samar milik Lucia berhasil menyapa gendang telinga Arisa. Seolah mengerti bahwa sang sahabat tak akan menjawab, ia pun meneruskan ucapan dengan tenang.

"Lo nggak liat berapa banyak cewek di luar sana yang rusak gara-gara pacaran? Hamil duluan? Udah gitu nanti aborsi. Dosanya double nggak, sih?" ujarnya kembali menerawang. 

Sedikit ikut serta membayangkan betapa hancurnya para orang tua yang harus menerima kenyataan bahwa putri kecil yang dijaga sejak kecil harus rusak karena pria asing. Lagipula, Arisa memang benar, bukan?

Mirisnya, sekarang sudah banyak remaja di luar sana yang rela dijadikan pelampiasan nafsu bejat para buaya. Menyebalkan, ingin rasanya Arisa melemparkan bom ke setiap tempat yang dijadikan venue berpacaran.

Pacaran hanyalah maksiat berbalut kenikmatan. 

Ia bergidik ngeri. Sebrengsek-brengseknya Arisa Birdella Calandra, ia tidak ingin menjadi bahan jajakan oleh laki-laki tanpa memiliki hubungan sah di mata agama maupun negara. 

"Mau sepositif apapun pacaran, tetep nggak bisa dibenarkan. Inget, jangan mendekati zina." Seringaian tipis milik Arisa berhasil membuat bulu kuduk Lucia meremang. "Putusin Ando sekarang."

"Arisa mode tobat," komentar Lucia tak bisa berkata-kata lagi.

"Jangan liat siapa yang menyampaikan, tapi liat apa yang disampaikan." Arisa tersenyum kecil.

***

"Capek banget abis nge-bully orang." 

Meski nampak merenggangkan jemari sembari bereskpresi lelah, nyatanya seulas senyum lebar tetap bertengger manis di bibir Arisa Birdella Calandra. Ya, melakukan perundungan memang seolah menjadi hiburan yang paling menyenangkan.

Entah berapa orang yang ia jadikan santapan hari ini, akan tetapi sudah cukup untuk membuat gadis itu merasa puas. Arisa tengah berada di kantin bersama Megan dan Lucia. Jangan lupakan segelas jus jeruk yang telah ia berpindah ke dalam perutnya. 

Baik Megan maupun Lucia hanya bisa mengangguk menyetujui apa yang Arisa ucapkan. Berisiknya kantin seperti senyap, mereka asik tenggelam dalam topik perbincangan yang hangat. Sudah tidak ada mata kuliah lagi, jadi tinggal pulang ke rumah masing-masing saja.

"Udah mau semester tiga, kira-kira kapan ya kita berenti bully orang?" celetuk Megan yang langsung membuat Arisa berpikir sejenak. 

Apa yang sahabatnya katakan memang benar. Jauh di dalam lubuk hatinya, Arisa juga ingin berhenti melakukan tindakan tidak terpuji seperti ini. Namun, apalah daya. Orang-orang selalu memancing emosinya.

Menyebalkan.

Usai berpikir sejenak, senyum manis Arisa beralih menjadi seringaian kecil. "Nanti kalo udah nemuin kembaran gue, baru gue mau berenti."

Gadis 19 tahun tersebut mengatakannya sembari beranjak dari posisi duduk. Waktu terus berjalan, sedangkan ia ingin segera pulang. Tubuhnya letih ingin direbahkan. Arisa hanya melambaikan tangan dan terkekeh pelan menanggapi decakan malas yang dua sahabatnya berikan.

Sejak dulu, Arisa kerap berkata demikian. Dirinya mengaku akan berhenti melakukan perundungan jika sudah menemukan saudara kembar yang hilang. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah adiknya itu masih hidup atau tidak.

Kaki jenjangnya melangkah percaya diri menuju halte. Rambut yang dibiarkan jatuh tergerai di punggung, serta earphone yang menyumpal telinga membuat seorang Arisa Birdella Calandra semakin mempesona. Ia benar-benar mengabaikan pasang mata yang melirik diam-diam.

Hari ini Arisa sengaja ingin pulang naik bus saja. Sendirian tentunya bukan menjadi masalah besar. Namun niat menuju halte ia urungkan begitu melihat ada toko buah di seberang jalan. Senyum manisnya mengembang sempurna. 

Tanpa berpikir panjang, Arisa mengganti tujuannya ke toko tersebut agar bisa membeli buah jeruk kesukaannya. Naas, semua tak berjalan sesuai yang Arisa rencanakan. Rasa antusias pada buah manis itu membuatnya tidak menyadari sekitar dengan benar.

Sampai-sampai gadis pemilik sejuta pesona tersebut tetap berjalan lurus ketika ada mobil yang melaju kencang dari sisi kirinya. Arisa terkejut bukan main, begitu pula saat tubuhnya terasa ditarik ke belakang. 

Sayangnya, ia tetap bisa merasakan benturan keras. Tubuh Arisa melemas seiring dengan bau anyir yang memasuki indra penciuman. Samar-samar sebelum kesadarannya menghilang, Arisa melihat ada bayangan panik seseorang yang mirip dengan ... Athifa Nareswari Maharani.

***

Entah apa yang terjadi. 

Arisa tak mengingat semuanya dengan pasti. Yang jelas, kepalanya terasa sangat berat ketika membuka mata. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Begitu menyadari ruangan serba putih memenuhi pandangannya, gadis itu menghela napas pelan. 

"Pa, Arisa udah sadar!" 

Pekikan penuh kelegaan yang baru saja ia dengan membuat Arisa semakin yakin dengan apa yang terjadi. Kecelakaan, satu kejadian tersebut yang memperkuat dugaannya. Ketika menoleh, Arisa bisa menemukan kedua orang tuanya. 

Arisa ingin banyak bicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. 

Selang beberapa saat setelah dokter maupun perawat masuk dan memeriksa keadaannya, Arisa mulai merasakan tubuhnya kembali normal. Masih dengan perban yang melilit kepala, tentunya. 

Elsa begitu semangat menyuapi anak gadisnya yang sempat hampir kehilangan nyawa karena kelalaian diri sendiri. Meski sedikit enggan memasukkan makanan ke dalam perut, Arisa tetap menuruti apapun yang Elsa perintahkan.

"Mama yakin kamu bakal seneng banget denger kabar ini, sayang!"

Binar penuh kebahagiaan yang terpancar dari mata indah milik Elsa berhasil membuat kening Arisa mengernyit. Seolah mengerti dengan kebingungan putrinya, Elsa wanita paruh baya yang masih nampak awet muda itu segera menjelaskan.

"Kayaknya keluarga kita bakal makin lengkap." Ada sorot haru yang bisa Arisa tangkap. "Adik kembaran kamu, dia udah ketemu."

Deg.

***

Tatapan Arisa menyorot Elsa tak percaya.

Hari kedua Arisa Birdella Calandra dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan, Elsa membawa gadis yang disebut-sebut sebagai saudari kembarnya. Sungguh, rasa antusias yang Arisa rasakan seakan menghilang dalam sekejap. 

Lantaran menyadari bahwa yang Elsa bawa adalah Thifa. Benar, Athifa Nareswari Maharani. Teman kelas yang sering menjadi korban bully Arisa. Kini Thifa berdiri sembari menunduk di tepi ranjang Arisa. 

"Ma! Thifa bukan kembaranku. Mama salah orang," ujarnya sembari terkekeh pelan seolah semuanya hanya lelucon semata. 

Sayang seribu sayang, Elsa justru menggeleng. Selaput bening di mata wanita cantik itu membuat jantung Arisa semakin diremas kuat. Apalagi melihat bagaimana Elsa memegang lengan Thifa dengan hangat. 

"Dia kembaran kamu, Sa. Kamu nggak sadar kalo kalian itu punya kemiripan? Belum lagi soal yang mama ceritain kemarin." Bibir Elsa bergetar mengatakannya.

Seketika ingatan Arisa berputar pada penjelasan Elsa kemarin. Di mana dirinya kehilangan banyak darah karena kecelakaan, lalu hampir saja kehilangan nyawa karena golongan darah yang langka. 

Golongan darah Arisa memang tidak sama dengan kedua orang tuanya, sedangkan rumah sakit maupun tempat lain juga tengah kehabisan stok. Untung saja gadis yang menolong Arisa memiliki golongan yang sama dan bersedia mendonorkan.

Namun, sungguh. Arisa tak menyangka jika orang yang menolong dan memberikan darah untuknya adalah Thifa.

"Mama udah coba tes DNA?" tanya gadis itu usai bungkam.

Elsa mengangguk, menyeka pelan buliran air mata yang jatuh dari pelupuk. "Hasilnya baru keluar besok, Sa."

Thifa yang bingung harus melakukan apa juga hanya terdiam dan menunduk, tidak memiliki keberanian sedikit pun untuk membalas tatapan Arisa. Ia hanya menurut saja ketika Elsa meminta sampel agar bisa melakukan tes DNA.

Harusnya Arisa memang marah dan terus menunjukkan rasa tidak terima yang ia punya. Namun, justru kepalanya turut mengangguk lemah. Ada sudut hati yang tak bisa dibantah. 

"Kalo Thifa beneran adek kembaranku, aku bakal selalu jagain dia. Arisa bakal jadi garda terdepan buat lindungin Thifa, Ma."

***

Semesta memang selalu punya kejutan.

Tes DNA yang dilakukan menunjukkan bahwa Athifa Nareswari Maharani memang saudari kembar Arisa Birdella Calandra. Pertemuan yang benar-benar di luar dugaan. Apalagi mengingat bagaimana pelakuan Arisa selama ini.

Megan dan Lucia turut senang mendengar kabar tersebut.

Arisa menyesal. Gadis manis itu berulang kali meminta maaf kepada Thifa. Namun, Thifa dengan baik hatinya memaafkan Arisa dan mengatakan untuk tidak perlu memikirkan kejadiaan kelam tersebut.

Thifa yang tinggal di panti asuhan pun langsung pindah. Hubungannya dengan Arisa juga semakin membaik. Kini Arisa tengah memaksa Thifa agar mau berangkat ke kampus bersamanya.

Entah apa yang Thifa pikirkan, akan tetapi ia seolah selalu enggan terlihat berdekatan dengan Arisa saat di kampus. Tingkat ini tentu memancing kecurigaan Arisa. "Lo malu punya kembaran kayak gue?"

Sontak saja Thifa menggeleng cepat. "Nggak, lah! Justru aku seneng banget."

Senyumnya mengembang sempurna. Sejak mengenal dekat, ternyata Thifa adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia benar-benar menyesal telah melakukan perbuatan yang buruk. Dengan bakat keras kepala yang ia punya, Arisa berhasil memaksa Thifa.

Mereka berangkat bersama. Penampilan Thifa menjadi kian cantik berkat selera tinggi milik Arisa. Kedatangan keduanya tentu mendapat sorotan tersendiri. Bisikan-bisikan terus saja terdengar. Asumsi buruk juga terus menyebar, namun Arisa tak peduli.

"Diem lo semua!" bisik Arisa ketika telinganya semakin panas mendengar tuduhan tak benar yang disudutkan pada Thifa. "Dia sodara kembar gue. Udah seharusnya gue sama dia akur dan saling jaga. Kenapa? Lo semua ada masalah?"

Para mahasiswa yang pun sontak menghentikan langkah terkejut mendengar pengakuan Arisa. Bukannya disambut baik, justru cibiran demi cibiran terus berdatangan dan membuat Arisa muak. Sayangnya Megan dan Lucia belum datang.

Tingkah Arisa Birdella Calandra yang sudah tak melakukan perundungan lagi memang sempat menghadirkan kehebohan.

"Nggak usah sok bener deh, Sa."

Celetukan asal dari seseorang berhasil membakar sumbu kemarahan Arisa. Namun, genggaman Thifa pada tangannya seolah memadamkan begitu saja. Saat menoleh, tatapan dari Athifa Nareswari Maharani benar-benar meneduhkan.

"Udah, nggak usah diladenin." Bisikan Thifa membuat Arisa menarik napasnya dalam-dalam dan berusaha menguasai diri.

Kini giliran Thifa yang angkat bicara. Gadis yang biasanya menunduk enggan menanggapi sekitar, kini berdiri kokoh di samping Arisa.

"Kita nggak bisa nilai orang dari luanya aja," ujarnya penuh keberanian, tatapannya mengarah satu persatu pada mahasiswa yang sengaja berhenti ingin menilik apa yang terjadi. "Mungkin sebelumnya Arisa emang belum baik. Tapi bukan berarti dia nggak bisa jadi anak baik, 'kan?"

Semuanya terdiam, mencerna baik-baik setiap lontaran kalimat yang Thifa katakan. Begitupun dengan Arisa yang semakin kagum dengan saudara kembarannya.

"Setiap orang punya kesempatan yang sama buat berubah, termasuk Arisa."

Kini Arisa Birdella Calandra benar-benar bersyukur memiliki saudari kembar seperti Athifa Nareswari Maharani.