Bencana alam seharusnya mempersatukan empati dan akal sehat. Namun yang terjadi di Sumatera belakangan justru sebaliknya. Kritik atas penanganan bencana malah berujung teror. Sejumlah influencer dan kreator konten yang menyuarakan kegelisahan publik mengalami ancaman, intimidasi, bahkan teror fisik. Alih-alih menjadi alarm bagi negara, suara mereka justru diperlakukan sebagai gangguan.
Kasus yang dialami Sherly Annavita menjadi penanda paling jelas. Influencer asal Aceh ini aktif mengkritik penanganan banjir bandang dan longsor di berbagai wilayah Sumatera. Ia berbicara soal distribusi bantuan yang tersendat, lemahnya koordinasi, serta ketimpangan antara klaim pejabat dan kenyataan di lapangan. Kritik yang sejatinya lazim dalam negara demokrasi. Namun respons yang ia terima bukan klarifikasi atau perbaikan kebijakan, melainkan ancaman.
Sherly mengaku mendapat teror berlapis. Pesan intimidasi masuk ke nomor pribadi dan media sosialnya. Kendaraan pribadinya dicoret orang tak dikenal. Rumahnya dilempari telur busuk. Bahkan ada secarik kertas berisi ancaman yang ditempelkan di kediamannya. Teror itu meningkat setelah ia tampil di media dan menyampaikan kritik secara terbuka. Pesannya jelas. Ada pihak yang tidak nyaman dengan suara kritis.
Yang lebih mengkhawatirkan, Sherly tidak sendirian. DJ Donny, kreator konten lain, menerima paket berisi bangkai ayam dengan surat ancaman. Di dalam paket itu terdapat pesan bernada kasar agar ia berhenti bicara. Foto dirinya ikut disertakan, menandakan bahwa teror ini bukan gertakan kosong. Ia menyentuh wilayah paling pribadi, menciptakan rasa takut yang nyata.
Teror semacam ini bukan sekadar serangan personal. Ia adalah pesan politik. Pesan bahwa kritik terhadap penanganan bencana dianggap berbahaya. Pesan bahwa ruang publik memiliki batas yang ditentukan oleh ketidaknyamanan kekuasaan. Ketika kritik kebijakan dibalas dengan intimidasi, demokrasi sedang dipaksa berjalan pincang.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Kreator lain juga mengaku mengalami ancaman serupa. Ada yang akunnya diretas, ada yang keluarganya diintimidasi. Polanya konsisten. Mereka yang bicara lantang tentang bencana, terutama soal kelalaian dan tanggung jawab negara, menghadapi risiko personal. Ini bukan lagi debat warganet. Ini sudah menyentuh praktik pembungkaman.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah krisis kemanusiaan. Saat ribuan warga kehilangan rumah dan mata pencaharian, energi justru terkuras untuk membungkam kritik. Alih-alih memperbaiki respons darurat, negara terkesan absen melindungi mereka yang bersuara. Hingga kini, tidak ada penjelasan memadai dari aparat penegak hukum tentang siapa pelaku teror dan bagaimana kasus ini ditangani.
Diamnya negara memunculkan pertanyaan serius. Apakah intimidasi terhadap pengkritik kebijakan dianggap persoalan sepele. Atau lebih buruk, dianggap wajar. Dalam negara hukum, ancaman terhadap warga yang menyampaikan pendapat seharusnya menjadi alarm darurat. Jika dibiarkan, pesan yang sampai ke publik sangat berbahaya. Kritik itu mahal. Bicara itu berisiko.
Sebagian pihak mencoba mengalihkan isu dengan menyebut bahwa influencer perlu berhati-hati dalam menyampaikan kritik. Argumen ini tampak masuk akal di permukaan, tetapi bermasalah secara prinsip. Kehati-hatian tidak boleh diterjemahkan sebagai pembatasan hak. Kritik terhadap penanganan bencana adalah ekspresi kepedulian publik. Ia tidak bisa disamakan dengan ujaran kebencian atau hasutan kekerasan.
Di era digital, influencer memang memiliki jangkauan luas. Namun luasnya jangkauan bukan alasan untuk membungkam. Justru di situlah letak fungsi kontrol sosial. Ketika informasi dari negara tidak cukup, suara warga menjadi penyeimbang. Menganggap kritik sebagai ancaman hanya menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan diri kekuasaan.
Lebih jauh, teror terhadap kreator konten menciptakan efek gentar yang luas. Ia mendorong swasensor. Orang memilih diam bukan karena masalah selesai, tetapi karena takut. Demokrasi pun berubah menjadi ruang sunyi yang penuh kepura-puraan. Semua tampak baik-baik saja, padahal kritik dikubur dalam kecemasan.
Kebebasan berekspresi bukan sekadar jargon konstitusi. Ia diuji justru ketika negara dikritik, bukan ketika dipuji. Jika kritik soal bencana saja tidak aman, bagaimana dengan isu lain yang lebih sensitif. Teror terhadap influencer hari ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan sipil esok hari.
Negara seharusnya hadir, bukan bersembunyi di balik diam. Aparat penegak hukum perlu bertindak cepat dan transparan. Bukan hanya untuk melindungi individu, tetapi untuk menjaga ruang publik tetap sehat.
Tanpa jaminan keamanan, partisipasi publik akan layu. Bencana alam memang tidak bisa dicegah sepenuhnya. Tetapi kerusakan demokrasi bisa. Syaratnya satu. Negara harus berani menerima kritik dan melindungi mereka yang menyampaikannya. Jika tidak, kita bukan hanya gagal mengelola bencana, tetapi juga gagal menjaga kebebasan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Masyarakat Adat Serawai dan Perlawanan Sunyi di Pesisir Seluma
-
Krisis Iklim dan Cara Masyarakat Pesisir Membaca Ulang Laut yang Berubah
-
Nasib Masyarakat Pesisir di Tengah Gelombang Ancaman Krisis Iklim
-
Memutus Rantai Perundungan di Sekolah Melalui Literasi Hukum Sejak Dini
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
Artikel Terkait
-
Layanan Pulih 100 Persen, BSI Pastikan Operasional dan Transaksi Nasabah di Aceh Kembali Normal
-
Sekolah di Tiga Provinsi Sumatra Kembali Normal Mulai 5 Januari, Siswa Boleh Tidak Pakai Seragam
-
Makna Bendera Bulan Bintang Aceh dan Sejarahnya
-
Mendagri: Libatkan Semua Pihak, Pemerintah Kerahkan Seluruh Upaya Tangani Bencana Sejak Awa
-
Banjir Ancam Produksi Garam Aceh, Tambak di Delapan Kabupaten Rusak
Kolom
-
Reformasi yang Direvisi Diam-Diam: Apa yang Sebenarnya Hilang di 2025?
-
Jebakan Euforia Kolektif: Menelaah Akar Psikologis Perayaan Tahun Baru yang Merusak
-
Antara Sumpah 'Rela Mati' Prabowo dan Kepungan Sengkuni Modern
-
Nasib Generasi Sandwich: Roti Tawar yang Kehilangan Cita-Cita
-
Di Balik Kilau Kembang Api: Psikologi Normalisasi Polusi dalam Perayaan
Terkini
-
5 Acara Malam Tahun Baru 2026 di Jakarta, Ada Konser hingga Pesta DJ
-
Penuh Haru! Steffi Zamora dan Nino Fernandez Sambut Kelahiran Anak Pertama
-
Bisa Menguras Emosi, Kenali 8 Tanda Teman Suka Bohong yang Terlihat tapi Sering Diabaikan
-
6 Film Horor Indonesia Tayang Januari 2026, Penuh Teror Mistis Menegangkan
-
Teror Tawa di Tengah Malam: Hantu Penunggu Kios Sayur