Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Salma Puteri
Ilustrasi pasangan (pexels.com/Jonathan Borba)

Cinta merupakan sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Semua orang bahkan mempunyai persepsinya masing-masing tentang cinta. Ada yang mengatakan cinta itu segalanya. Ada yang bilang cinta ialah sumber derita. Namun ada juga yang menganggap cinta adalah sebab seseorang bahagia. Semua frasa-frasa puitis ini memberikan kita gambaran bahwa cinta adalah sesuatu yang abstrak dan tidak bisa ditebak, apalagi dilogikakan. Benarkah demikian? Dari mana datangnya cinta? Hati atau otak?

Kita adalah manusia yang membutuhkan afeksi. Oleh karena itu, mendapatkan cinta adalah konsekuensi untuk memenuhi kebutuhan kita. Pasti kita pernah kan berada dalam keadaan berdebar-debar dan selalu membayangkan crush kita kapanpun dan dimanapun, hehehe. Namun, perasaan ini tidak akan berlangsung lama. Akan memudar seiring berjalannya waktu. Kalau begitu, ini cinta atau sekedar nafsu ya? Kemana perginya cinta? Baiklah tanpa ke sana-ke mari lagi, langsung saja kita bahas cinta. 

Dari mana datangnya cinta?

Sebenarnya, tanpa harus berpikir dengan sadar pun, elemen-elemen biologis kita sudah melakukan seleksi dengan sendirinya. Secara instingtif, DNA kita memang sudah melakukan seleksi biologis terhadap orang yang akan kita cintai. Itulah sebabnya kita tidak naksir semua orang. Jadi sebenarnya proses ketertarikan dengan orang merupakan hasil kerja otak. Tidak seperti yang kebanyakan orang bilang “Cinta itu datang dari hati, cinta itu murni perasaan.” Lebih jelasnya, perasaan cinta itu datang dari hipotalamus yang berasal dari bagian otak kita. Secara biologis, tubuh menerima rangsangan dari lima panca indra yang kemudian diteruskan ke otak dan otak akan memproses hal tersebut dalam bentuk emosi yang akan memengaruhi tubuh. 

Perasaan berdebar dipengaruhi oleh dopamin dan norepinephin yang meningkat. Itulah mengapa cinta sering disebut-sebut berada di hati. Menurut Prof Stephanie Ortigue, saat jatuh cinta, 12 area di otak melepaskan hormone dopamin, testosteron dan estrogen, adrenalin, dan vasopressin yang membuat seseorang mengalami euforia luar biasa. 

Menurut sekelompok peneliti yang diketuai oleh Dr Helen Fisher, cinta bukanlah emosi tunggal. Cinta merupakan gabungan emosi yang dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori menurut hormon-hormon yang terlibat. Karena itu, cinta juga terbagi menjadi beberapa tahapan.

1. Lust atau nafsu

Nafsu dipengaruhi oleh dua hormon yaitu hormon testoteron dan estrogen. Dalam tahap ini, perasaan yang terbentuk masih sangat minim koneksi emosi karena masih didominasi oleh nafsu. Testoteron meningkatkan libido dan aggressiveness yang menyebabkan seseorang mengejar orang yang menimbulkan respons intens ini. Bahkan wanita saat ovulasi juga akan bernafsu karena level estrogen pada dirinya sedang meningkat. 

2. Attraction atau ketertarikan 

Tahap ini sering disebut sebagai tahap honeymoon karena orang yang berada pada tahap ini menganggap bahwa pasangannya adalah representasi sempurna dari apa yang diinginkannya. It’s all about him/her. Semua yang dilakukan bersama pasangan akan menjadi hal yang terindah dan semua kesalahan yang dia buat akan lekas termaafkan. Hormon yang bekerja untuk merangsang ketertarikan adalah dopamin, norepinefrin, dan serotonin. Dopamin adalah reward hormone. Dopamin dikeluarkan saat kita melakukan hal yang nikmat bersama pasangan atau orang yang kita cintai. Menariknya, bagian otak yang aktif saat kita sedang tertarik kepada seseorang itu sama dengan dengan bagian otak yang aktif ketika seseorang kecanduan kokain dan makanan yang manis. Jadi, bisa dibilang ketertarikan itu seperti kecanduan terhadap seseorang. Norepinefrin dapat membuat kita bersemangat, sangat bahagia, bahkan bisa membuat nafsu makan kita menurun hingga membuat kita insomnia. Di saat kita sedang tertarik dengan sesorang, serotonin yang terlibat dalam pengaturan nafsu makan dan suasana hati pun akan menurun. 

Namun, perasaan hormonal seperti ini tidak akan berlangsung lama. Ini semua hanya akan bertahan paling lama dua belas bulan. Karena hormone-hormon yang tadi dikeluarkan akan kembali ke titik awal. Kalau sudah begitu, maka cinta melangkah ke jenjang berikutnya. 

3. Attachment atau keterikatan 

Kalau kamu sudah sampai pada tahap ini, berarti kamu bisa dibilang sudah menemukan orang yang tepat dan cinta sejati. Ini ditandai dengan adanya komitmen. Di sini kadar serotonin akan meningkat. Kamu akan meihat kekurangan pasanganmu tetapi memilih untuk bertahan. Akan tetapi, tetap ada hormon yang memainkakn peran penting untuk menghasilkan keterikatan ini. Hormon itu adalah osktosin dan vasopressin. Oksitosin merupakan cuddle hormone yang diproduksi sangat besar oleh hipoptalamus setelah berhubungan seksual, menyusui, dan melahirkan. Bisa kita lihat, semua aktivitas tersebut adalah kegiatan-kegiatan yang membentuk keterikatan secara emosi dan fisik. Hormon vasopressin juga berfungsi untuk mengendalikan perasaan untuk saling menghargai satu sama lain, 

Akan tetapi, apa sih konsekuensi dari jatuh cinta? Jawabannya adalah menjadi bodoh. Coba inga-ingat lagi kelakuanmu atau orang terdekatmu saat kasmaran. Terlihat irasional karena sering mengambil tindakan berisiko dan impulsif kan? Apa ada kelakuan atau tindakan yang didasari rasa cinta (bucin) yang sekarang kamu sesali? 

Kenapa saat jatuh cinta manusia jadi sedikit bodoh atau irasional? Sebab, ketika sedang “bucin”, bagian prefrontal cortex otaknya menjadi konslet. Bagian depan otak itulah yang berperan untuk mengontrol manusia secara rasional, self-awareness, critical thinking, dll. Kenapa bisa bisa begitu? Karena kalau tidak, manusia tidak akan melakukan aktivitas kawin-mawin karena banyak pertimbangan dan mikir-mikir.

Rasa tertarik dengan lawan jenis sebenarnya menunjukkan kalau kebutuhan reproduksi kita berfungsi, supaya eksistensi kita sebagai makhluk hidup bisa lestari. Jadi, yang selama ini kita sebut cinta itu sebenarnya reaksi biologis, bukan sebuah misteri. Manusia adalah makhluk dengan tingkat kesadaran paling tinggi, itulah sebabnya kita kreatif membuat konsep romantis tentang “cinta”. Kalau ada perasaan “kenapa kepikiran si dia terus ya?” itu sebenarnya respons tubuh kita, tidak berarti kalau dia jodoh kita. 

Terus bagaimana ya? Pastikanlah kita selalu terkoneksi dan sadar dengan realitas. Perjelas juga komunikasi dengan si dia. Sebab cinta memang melumpuhkan logika, membuat siapapun yang dijangkiti perasaan ini sering berkhayal (halu) dan ngode-ngode. 

Salma Puteri