Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi mencari jodoh di aplikasi kencan online (Pexels/cottonbro)

Kencan online dan aplikasi kencan telah mengubah cara kita memulai, mengembangkan, dan mengakhiri hubungan romantis. Kita juga mungkin bertanya-tanya apakah kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi ini membuat kita berperilaku berbeda dibandingkan dengan interaksi di “kehidupan nyata.” Lebih jauh, apakah aplikasi kencan mendorong munculnya perilaku buruk atau antisosial?

Salah satu daya tarik utama aplikasi ini adalah kemudahan penggunaannya: kamu bisa membuat profil dan mulai berkencan dalam waktu singkat. Meski begitu, menggunakan aplikasi kencan tetap memerlukan waktu dan usaha. Survei besar yang dilakukan oleh aplikasi Badoo menunjukkan bahwa generasi milenial menghabiskan rata-rata 90 menit sehari untuk mencari pasangan, mulai dari mencari di aplikasi hingga mengobrol.

Seringkali, pesan dari satu pihak tidak mendapatkan respons dari pihak lain. Bahkan ketika ada balasan, percakapan tersebut mungkin tidak berujung pada pertemuan. Data dari Hinge pada 2016 menemukan bahwa hanya satu dari 500 perkenalan di aplikasi kencan yang berakhir dengan pertukaran nomor telepon. Proses kencan daring ini bisa terasa melelahkan; jika kita tidak cocok dengan orang yang ditemui atau pesan kita tidak dibalas, semua usaha merasa sia-sia.

Jika kamu menggunakan aplikasi kencan, mungkin kamu pernah mengalami “ghosting” (ketika seseorang tiba-tiba berhenti berkomunikasi), atau mungkin kamu sendiri yang melakukan ghosting. Ini bisa terjadi jika kamu mengetahui bahwa orang yang kamu ajak ngobrol ternyata sudah memiliki pasangan, atau jika kamu mendengar cerita serupa dari teman-temanmu. Mari kita lihat beberapa perilaku negatif yang sering muncul, serta penjelasan psikologis di baliknya. Salah satu isu utama adalah seberapa sering orang menggunakan aplikasi kencan saat sudah menjalin hubungan.

Di sisi lain, kencan online juga memudahkan terjadinya ghosting. Sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa 29% responden mengaku pernah ghosting seseorang, sementara 25% pernah di-ghosting. 

Selain itu, 74% responden berpendapat bahwa ghosting adalah cara yang tepat untuk mengakhiri hubungan. Dalam penelitian tersebut, partisipan melaporkan adanya ghosting mendadak dan ghosting bertahap, di mana kontak diperlambat sebelum benar-benar berhenti. Ghosting bertahap meningkatkan ketidakpastian bagi orang yang ditinggalkan.

Fenomena ghosting ini mungkin sering terjadi karena kemudahan dalam mengakhiri hubungan dengan cara ini, terutama jika pasangan belum pernah bertemu langsung. Penulis studi tersebut juga menyoroti bahwa banyaknya pilihan pasangan di aplikasi kencan mendorong orang yang melakukan ghosting untuk mengulang perilaku tersebut dengan pasangan lainnya.

Banyak pengguna aplikasi kencan yang tidak hanya mencari hubungan atau seks, tetapi juga bersenang-senang. Ini menjadikan pengguna yang lebih serius menjadi sasaran empuk bagi mereka yang ingin menciptakan konflik demi hiburan pribadi.

Akhirnya, cara orang menggunakan aplikasi kencan sangat dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian. Misalnya, individu dengan sifat terbuka terhadap pengalaman dan kurang empati cenderung menggunakan aplikasi ini dengan lebih santai.

Jika perilaku buruk atau disfungsional kini terlihat normal di aplikasi kencan, media sosial, dan ruang online secara umum, teknologi yang memicu perilaku ini tampaknya akan terus ada. Dengan demikian, kita mungkin perlu menyesuaikan ekspektasi kita terhadap interaksi di dunia digital.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Yayang Nanda Budiman