Teknologi kecerdasan buatan atau AI (Artificial Intelligence) kini bukan hanya hadir di dunia kerja atau hiburan orang dewasa. Banyak aplikasi berbasis AI yang kini dirancang khusus untuk anak-anak—mulai dari asisten belajar, aplikasi menggambar otomatis, hingga chatbot yang bisa diajak ngobrol. Di satu sisi, ini menjadi peluang menarik untuk mengenalkan teknologi sejak dini. Tapi, di sisi lain, ada beberapa risiko tersembunyi yang perlu orang tua waspadai sebelum mengizinkan anak mengaksesnya.
Kamu mungkin berpikir, “Namanya juga aplikasi belajar, pasti aman dong?” Sayangnya, tidak semua aplikasi AI yang terlihat edukatif benar-benar cocok untuk anak. Yuk, kenali lima risiko tersembunyi yang penting untuk kamu pahami sebelum anak makin akrab dengan AI.
1. Privasi Data Anak yang Rentan Bocor
Beberapa aplikasi AI meminta data pribadi seperti nama, umur, jenis kelamin, hingga lokasi. Ada juga yang tanpa disadari merekam suara atau menyimpan kebiasaan anak dalam menggunakan aplikasi. Kalau tidak diawasi, data ini bisa disalahgunakan oleh pihak ketiga, apalagi kalau aplikasi tersebut tidak punya kebijakan privasi yang jelas.
Orang tua perlu memilih aplikasi yang memiliki pengaturan kontrol orang tua (parental control) dan kebijakan keamanan yang transparan. Pastikan kamu membaca dulu aturan privasinya dan menonaktifkan fitur yang tidak perlu.
2. Konten Tidak Sesuai Usia
Karena bersifat otomatis dan terus belajar dari internet, AI bisa menampilkan respons atau konten yang tidak sesuai untuk anak. Misalnya, chatbot AI bisa menjawab pertanyaan dengan bahasa yang terlalu kompleks, bahkan bisa menyisipkan topik yang belum pantas diketahui anak-anak.
Untuk mencegah hal ini, pilih aplikasi yang memang dikembangkan untuk anak sesuai kategori usia. Jangan tergiur fitur canggih saja—pastikan kontennya juga aman dan sesuai perkembangan psikologis anak.
3. Ketergantungan Berlebihan pada Layar
Banyak aplikasi AI yang dibuat dengan tampilan menarik dan suara yang interaktif, membuat anak-anak betah berlama-lama memainkannya. Kalau tidak dibatasi, ini bisa membuat anak jadi malas bergerak, kurang tidur, dan bahkan mudah tantrum saat waktunya berhenti bermain.
Solusinya, tetap atur batasan waktu layar setiap hari. Misalnya, maksimal 1 jam per hari untuk anak usia di bawah 6 tahun, sesuai rekomendasi dari IDAI dan WHO. Selain itu, imbangi dengan aktivitas fisik seperti menggambar manual, bermain di luar rumah, atau membaca buku bersama.
4. Minimnya Interaksi Sosial
Anak yang terlalu lama berinteraksi dengan AI bisa jadi kurang berlatih komunikasi dengan orang lain. Mereka bisa lebih nyaman berbicara dengan chatbot dibanding bermain dengan teman sebaya. Ini tentu bisa menghambat kemampuan sosialnya di masa depan.
Maka dari itu, tetap ajak anak untuk bermain bersama teman, ikut kegiatan komunitas, atau mengobrol ringan setiap hari. Orang tua tetap harus jadi “teman ngobrol” yang nyata, bukan digantikan oleh teknologi.
5. Bias dalam Algoritma AI
Meski disebut cerdas, AI tetap dibuat oleh manusia dan bisa membawa bias tertentu. Contohnya, AI yang mengenali gambar mungkin tidak cukup inklusif, atau hanya menampilkan jenis karakter tertentu yang dianggap “ideal”. Kalau dibiarkan, anak bisa menyerap nilai-nilai yang sempit dan tidak beragam.
Penting banget untuk memilih aplikasi dari pengembang yang menjunjung nilai-nilai etis dan keberagaman. Kamu juga bisa mendampingi anak dan menjelaskan bahwa apa yang mereka lihat di layar belum tentu mencerminkan kenyataan.
Agar pengalaman anak tetap seru dan bermanfaat, coba lakukan hal-hal berikut ini:
- Pilih aplikasi dari pengembang terpercaya. Lihat ulasan dan rating dari pengguna lain.
- Baca syarat dan kebijakan privasi. Jangan asal klik “setuju” ya!
- Aktifkan kontrol orang tua. Banyak aplikasi yang punya fitur ini.
- Dampingi saat anak bermain. Jangan biarkan anak terlalu sering bermain sendiri.
- Batasi screen time. Biar tetap seimbang antara dunia digital dan dunia nyata.
Dengan bimbingan yang tepat, AI bisa menjadi alat bantu belajar yang menyenangkan bagi anak-anak. Tapi tetap ingat, teknologi hanya alat. Orang tua tetap punya peran utama untuk membentuk kebiasaan sehat dan kritis dalam menggunakan teknologi.
Jadi, sebelum memberi akses aplikasi AI ke anak, pastikan kamu sudah mengenali potensi risikonya. Jangan sampai terlambat menyadari!
Baca Juga
-
Ketika AI Masuk ke Ruang Kelas: Guru Akan Tergantikan atau Diperkuat?
-
Review Film Outside The Wire, Konsep Futuristik Elit tapi Eksekusi Rumit
-
Scroll Tanpa Tujuan: Apakah Kita Sedang Menjadi Generasi Tanpa Fokus?
-
Review Onde Mande, Drama Komedi yang Mengangkat Budaya Minangkabau
-
Krisis Warisan Rasa di Tengah Globalisasi: Mampukah Kuliner Lokal Bertahan?
Artikel Terkait
-
KPAI Kritisi Rencana Dedi Mulyadi Kirim Pelajar Bermasalah ke Barak Militer
-
Hari Buruh Internasional: Seruan Perubahan untuk Dunia Kerja
-
5 Pendiri Startup Perempuan di Bidang Teknologi Berhasil Unjuk Gigi
-
Berapa Anak Veronica Tan? Pernyataannya Viral Soal 'Kalau Mau Banyak Duit Jangan Banyak Anak'
-
IDAI Kritik Kemenkes Mutasi dr Piprim dari RSCM: Menurunkan Kualitas Subspesialis Kardiologi Anak
Lifestyle
-
4 Ide Pilihan OOTD Stylish ala Sana TWICE, Dari Elegan sampai Playful Style
-
4 Ide Gaya Chic ala Liz IVE yang Bisa Kamu Tiru untuk Tampil Memesona!
-
4 Padu Padan Daily Outfit ala Haechan NCT, Effortless Tapi Tetap Catchy!
-
4 Inspirasi Outfit Nyaman ala Natty KISS OF LIFE untuk Aktivitas Harianmu!
-
4 Inspirasi Outfit Harian dari Choi San ATEEZ yang Gampang Buat Kamu Tiru!
Terkini
-
Mengenal Trah Tumerah, Istilah Silsilah Jawa yang Makin Sering Dilupakan
-
Ketika Mahasiswa Jadi Content Creator Demi Bertahan Hidup
-
3 Alasan 'Always Home' Wajib Ditonton, Kisah Masa Remaja Menuju Kedewasaan!
-
Sama-Sama Minati Jay Idzes, AC Milan Berikan Tanda Bakal Tikung Inter Milan?
-
Review Film April: Saat Keindahan dan Kepedihan Berjalan Beriringan