Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) kini menjalar ke berbagai sektor, termasuk pendidikan. Kehadiran AI di ruang kelas menawarkan banyak janji—efisiensi, personalisasi, dan kemudahan akses. Namun, bersamaan dengan euforia itu, muncul kekhawatiran, mungkinkah teknologi ini menggantikan peran guru? Atau justru membuka babak baru di mana guru bertransformasi menjadi fasilitator yang lebih strategis?
AI tidak lagi terbatas pada laboratorium atau perusahaan teknologi besar. Dalam dunia pendidikan, ia telah hadir dalam bentuk chatbot penjawab soal, sistem evaluasi otomatis, hingga tutor digital yang dapat memetakan kemampuan siswa dan menyusun materi belajar yang disesuaikan. Di Indonesia, platform seperti Zenius dan Ruangguru mulai menggunakan AI untuk merekomendasikan materi kepada siswa. Sementara itu, Google Classroom dan Microsoft Copilot menjadi asisten digital bagi guru di sekolah-sekolah.
Laporan UNESCO tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60 negara sudah mengintegrasikan sistem berbasis AI dalam kebijakan pendidikan nasional mereka. Ini bukan sekadar tren teknologi, tetapi sinyal bahwa dunia sedang bergerak menuju pendekatan baru dalam pembelajaran: efisien, terukur, dan berbasis data.
Perbandingan kerap terjadi antara peran guru dan kecanggihan AI. AI dinilai unggul dalam memberikan feedback instan, menilai ribuan jawaban dengan konsisten, bahkan memprediksi capaian siswa berdasarkan data. Namun, AI tidak memiliki konteks sosial dan empati. Ketika seorang siswa merasa frustrasi karena nilai ujiannya menurun, AI hanya akan menampilkan grafik penurunan performa, sementara seorang guru bisa memberikan semangat, menyesuaikan pendekatan, bahkan menghubungi orang tua jika perlu.
Dalam penelitian yang dilakukan Cecilia Ka Yuk Chan (2023), ditemukan bahwa efektivitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ketepatan informasi, tetapi juga oleh relasi interpersonal yang terjalin di dalamnya. Guru berperan sebagai role model, mediator konflik, dan penjaga moralitas. Dimensi ini—yang bersifat humanistik—tidak bisa digantikan oleh sistem algoritma secanggih apa pun.
Tentu saja, AI dalam pendidikan juga membawa tantangan serius. Pertama, risiko ketimpangan akses. Tidak semua sekolah memiliki infrastruktur atau sumber daya manusia yang siap menghadapi transformasi digital. Sekolah di daerah pelosok bahkan masih kesulitan dengan sinyal internet, apalagi bicara AI.
Kedua, ada ancaman homogenisasi pembelajaran. Ketika terlalu bergantung pada sistem otomatis, ruang diskusi dan kebebasan berpikir bisa tergeser. Mike Sharples dalam jurnalnya (2023) menekankan bahwa etika penggunaan AI dalam pendidikan harus menjadi perhatian utama. Tanpa pedoman yang jelas, AI bisa justru memperdalam kesenjangan dan mengikis otonomi guru.
Alih-alih menempatkan AI dan guru dalam kutub yang berseberangan, pendekatan yang lebih realistis adalah membangun kemitraan antara manusia dan mesin. Xiaoming Zhai (2024) menyusun model peran guru dalam era AI menjadi empat tahap: observer, adopter, collaborator, dan innovator. Pada tahap akhir, guru justru memanfaatkan AI sebagai alat kreatif—mendesain kurikulum berbasis data, menggunakan chatbot untuk latihan dialog, atau bahkan menciptakan simulasi berbasis AI yang menumbuhkan critical thinking siswa.
Namun, untuk sampai ke tahap itu, dibutuhkan pelatihan guru yang berkelanjutan dan didukung kebijakan institusi pendidikan. Pemerintah dan sekolah tidak boleh hanya berinvestasi pada teknologinya, tapi juga pada manusia yang akan mengoperasikannya.
AI dalam pendidikan adalah keniscayaan. Namun, peran guru tidak akan serta-merta digantikan. Justru, teknologi ini membuka peluang bagi guru untuk mentransformasikan diri menjadi penggerak pembelajaran yang lebih bermakna dan relevan. Guru masa depan bukanlah sekadar penyampai materi, melainkan kurator pengalaman belajar.
Daripada mempertanyakan apakah guru akan hilang, lebih baik kita bertanya, bagaimana menyiapkan guru agar siap hidup berdampingan dengan AI—tanpa kehilangan jati dirinya sebagai pendidik sejati?
Baca Juga
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
-
FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
-
Pangkas Lahan Basah: Ketika Rawa Dihancurkan Demi Pembangunan
-
Masalah Emisi Rendah dan Kenyamanan Penumpang: Apa Kabar Janji Pemerintah?
Artikel Terkait
-
Hardiknas 2025: Saatnya Jadikan Pendidikan Siber Tanggung Jawab Bersama
-
45 Ucapan Selamat Hardiknas 2025: Rayakan Semangat Belajar Sepanjang Hayat
-
Kacau! Bimbel di Yogyakarta Diduga Terlibat Kecurangan UTBK 2025, Siswa Dijamin Lulus 100 Persen
-
Teks Bacaan Doa Hardiknas 2025, Cocok untuk Upacara Bendera di Sekolah
-
Hari Buruh Internasional: Seruan Perubahan untuk Dunia Kerja
Kolom
-
Sound Horeg dan Dinamika Budaya Populer di Era Digital
-
Peran Keluarga dalam Menangkal Konten Absurd dan Brain Rot Pada Anak
-
Timnas Indonesia, Spesialis Runner Up AFF, dan Kerinduan pada Orang Lama
-
Healing atau Konsumsi? Mengungkap Ilusi di Balik Tren Pemulihan Diri
-
Bioremediasi: Solusi Alami Laut untuk Mengurai Tumpahan Minyak
Terkini
-
Kabar Bahagia! Gummy dan Jo Jung Suk Umumkan Kehamilan Anak Kedua
-
Menyelami Dunia Fantasi dalam Novel The Girl Who Fell Beneath the Sea
-
Lagu Golden Kpop Demon Hunter Tempati Posisi 1 di Streaming Rapid Oricon
-
Review Film Presence, Sajikan Horor Baru dari Sudut Pandang Hantu
-
4 Sunscreen dengan Hasil Akhir Glass Skin, Harga di Bawah Rp160 Ribuan!