Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi journaling (Freepik.com)

Kalau kamu sempat ngalamin masa-masa nulis diary pakai pulpen warna-warni di buku bermotif bunga atau kartun favorit, maka selamat kamu pernah merasakan indahnya curhat analog zaman dulu.

Sekarang kalau kamu ketikkan journaling di mesin pencari, yang muncul pasti video dan gambar aesthetic, tangan rapi menyusun stiker, kertas kraft, dan tulisan yang nyaris kayak font. Ya, kita sudah memasuki era journaling estetik!

Meski sama-sama mencatat hal pribadi, nulis diary zaman dulu dan journaling zaman sekarang udah kayak dua dunia yang berbeda. Dari bentuknya, nuansanya, tujuannya, hingga cara orang menikmatinya juga berbeda.

Waktu kecil, kita menganggap diary itu sakral. Biasanya kita simpan di bawah bantal, atau dalam laci terkunci. Isinya? Rahasia pribadi, seperti nama gebetan, curhatan sekolah, sampai hal-hal yang kalau dibaca sekarang pasti bikin kita malu. Dan karena takut ada yang baca, terkadang kita nulis pake kode atau singkatan yang cuma kita yang ngerti.

Tapi sekarang, journaling sudah berkembang jadi ekspresi yang lebih kreatif. Banyak orang yang menjadikan jurnalnya sebagai karya visual yang bisa diposting di media sosial.

Bahkan ada yang jadiin itu sebagai konten harian, dan nggak sedikit juga yang viral! Bahkan kalau kamu ketik “journal aesthetic” di Pinterest atau TikTok, kamu akan menemukan ribuan ide dengan beragam warna dan inspirasi.

Kalau diary dulu isinya cuma curhat apa adanya, journaling sekarang punya banyak versi. Ada yang fokus ke bullet journal, yang isinya tentang daftar tugas, tracker kebiasaan, dan rencana mingguan.

Ada yang gratitude journal, tempat mencatat hal-hal yang disyukuri setiap hari. Dan ada juga mental health journal, yang membantu pemiliknya lebih sadar akan emosi dan pola pikir mereka.

Ada yang bilang kalo journaling zaman sekarang terlalu dibuat-buat, dan malah kehilangan esensi diary yang jadi tempat jujur untuk diri sendiri. Tapi menurutku, selama isi jurnal itu memang datang dari hati, ya boleh-boleh saja dibuat aesthetic.

Justru, buat sebagian orang, proses menghias dan menyusun jurnal bisa jadi bagian dari self-healing. Seolah merapikan pikiran sambil merapikan kertas. Dan kalau itu membantu mereka merasa lebih baik, kenapa enggak?

Namun, jangan sampai karena terlalu ingin jurnal kita terlihat bagus seperti di media sosial, kita malah stres sendiri. Padahal esensi journaling adalah menyimpan dan mengelola emosi, bukan menambah stres.

Jurnal estetik itu emang bagus, tapi jurnal berantakan yang penuh coretan emosi pun tidak masalah. Karena yang paling penting adalah apa yang kita rasakan setelah menulis.

Menariknya, ternyata kegiatan journaling ini terbukti punya manfaat ilmiah juga. Sebuah studi yang dimuat di Harvard Health menyebutkan bahwa menulis tentang pengalaman emosional bisa membantu mengurangi stres, memperbaiki mood, dan bahkan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Jadi, apapun bentuk journaling kamu, selama itu membuat kamu merasa lega, itu sudah lebih dari cukup.

Aku sendiri kadang kangen masa-masa nulis diary waktu masih kecil, nggak peduli tulisan jelek, atau isi curhatannya kekanak-kanakan. Tapi di satu sisi, aku juga menghargai betapa journaling zaman sekarang bisa lebih variatif. Dari sekadar curhat, jadi latihan fokus, pengelolaan waktu, hingga jadi tempat self-healing.

Dulu, diary adalah tempat kita mengenal diri secara diam-diam. Sekarang, journaling bisa jadi cara kita berdamai dengan diri sendiri dan terkadang dibagikan untuk menginspirasi orang lain.

Lalu kamu sendiri, lebih suka jadi tim “diary rahasia di bawah bantal” atau tim “journaling rapi nan estetik yang siap difoto dan diposting”?

Fauzah Hs