Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi melamar pekerjaan (Freepik.com)

Pernyataan Anggota Komisi IX DPR, Zainul Munasichin, baru-baru ini bikin banyak orang geleng-geleng kepala. Katanya, rakyat Indonesia sulit dapat kerja karena SDM-nya belum kompeten. Ia juga menyinggung bahwa investasi triliunan rupiah namun hanya menyerap sedikit tenaga kerja.

Padahal, data tahun 2025 menunjukkan ada 7,28 juta orang yang menganggur, dan lebih dari 1 juta di antaranya lulusan universitas.

Lalu, apakah ini murni salah rakyat yang nggak bisa kerja, atau justru ada yang salah di sistemnya?

Sering banget kita dengar kalimat “lowongan kerja banyak kok, tapi nggak ada yang nyari.” Tapi coba buka situs pencarian kerja, dan lihat sendiri.

Syaratnya panjang kayak kereta, dari pengalaman minimal 2 tahun, harus bisa ini-itu, sampai siap kerja di bawah tekanan. Gajinya? Kadang nggak setimpal dengan tuntutan. Banyak juga yang statusnya kontrak pendek atau magang tanpa bayaran.

Jadi, sebenarnya lowongan ada, tapi apakah itu benar-benar layak buat hidup? Atau cuma jebakan yang bikin orang kerja keras tapi tetap susah?

Karena kalau yang disebut banyak lowongan itu adalah pekerjaan dengan upah UMR yang nyaris tak cukup untuk hidup layak, syarat pengalaman kerja 2 tahun untuk fresh graduate, dan jam kerja yang menguras jiwa dan tenaga, maka “banyak” itu bukan berarti “layak”.

Kalau rakyat tidak bisa masuk karena standarnya kurang, siapa yang bikin standar itu? Apakah itu salah rakyat atau salah sistem pendidikan dan pelatihan kerja kita yang tidak responsif terhadap kebutuhan industri?

Zainul juga bilang, ada investasi sampai Rp 486 triliun di awal 2025, tapi hanya menyerap 600 ribu tenaga kerja. Artinya, kira-kira Rp700 juta hanya menciptakan 1 pekerjaan.

Lalu ke mana perginya uang sebanyak itu?

Tapi alih-alih merenung, kenapa investasi sebesar itu tak menghasilkan banyak lapangan kerja, pernyataan beliau malah kembali ke soal rakyat tidak kompeten.

Kalau benar dana itu tersedot oleh birokrasi mahal dan gangguan ormas, seperti dugaan Zainul, lalu siapa yang bertanggung jawab atas birokrasi itu? Bukankah DPR juga bagian dari sistem yang membuat regulasi dan mengawasi jalannya anggaran? Kenapa justru rakyat yang disalahkan karena dianggap tidak siap?

Peningkatan kompetensi memang penting. Karena dunia kerja berubah cepat, dan pasar kerja menuntut skill baru setiap hari. Tapi ketika isu kompetensi dijadikan alasan utama untuk menjelaskan pengangguran massal, itu lebih seperti penangkis dari kegagalan kebijakan publik.

Karena banyak kok lulusan universitas, politeknik, dan SMK yang kompeten justru tidak mendapat pekerjaan. Mereka magang tanpa digaji, kerja lepas tanpa perlindungan, atau malah banting setir jadi kurir atau penjual online demi bisa bertahan hidup. Apakah ini karena mereka tidak kompeten, atau karena sistem kerja formal tidak bisa menyerap mereka?

Lucunya, yang bilang rakyat tidak kompeten itu anggota DPR. Padahal mereka adalah wakil rakyat. Kalau rakyatnya nggak kompeten, terus siapa yang mereka wakili?

Jangan-jangan ini semacam cara halus untuk menutupi kegagalan sendiri. Karena kalau pengangguran sampai jutaan orang, maka ini bukan lagi masalah perorangan. Tapi tentang kebijakan bagaimana negara menciptakan lapangan kerja, membina dunia usaha, mengatur pendidikan, serta memfasilitasi pelatihan.

Jadi, kompetensi rakyat itu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana negara membentuk dan memfasilitasinya.

Dan semua itu… ya, dikawal juga oleh DPR.

Kalau pemerintah dan DPR gagal menciptakan ekosistem kerja yang sehat, adil, dan layak, maka jangan buru-buru menyalahkan rakyat. Bagaimana menurutmu?

Fauzah Hs