Hernawan | Mutami Matul Istiqomah
ilustrasi perempuan menyuarakan pendapatnya di dalam demo (freepik.com/freepik)
Mutami Matul Istiqomah

Ketidakadilan sering kali hadir bukan dalam bentuk besar yang sulit dijangkau, melainkan dalam hal-hal sederhana yang dirasakan rakyat kecil setiap hari. Kenaikan harga bahan pokok, biaya pendidikan yang kian melambung, pelayanan kesehatan yang tidak merata, hingga aturan-aturan yang lebih menguntungkan segelintir pihak, semua itu langsung menyentuh kehidupan keluarga biasa. Dan di dalam keluarga, sosok yang paling pertama dan paling kuat menanggung dampaknya adalah seorang ibu rumah tangga.

Ibu rumah tangga sering kali dipandang sebelah mata. Pekerjaan mereka dianggap tidak menghasilkan uang, padahal merekalah yang justru mengatur uang agar cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat harga beras naik, merekalah yang memutar otak agar dapur tetap berasap. Saat biaya sekolah anak semakin tinggi, merekalah yang mencari cara agar pendidikan tetap bisa ditempuh tanpa mengorbankan kebutuhan lain. Dari balik dinding rumah, ibu rumah tangga menjadi “menteri keuangan”, “menteri pendidikan”, bahkan “menteri kesehatan” bagi keluarganya. Namun sayangnya, peran besar itu jarang diakui oleh negara.

Ketika isu ketidakadilan pemerintah ramai dibicarakan, jarang ada yang menyoroti bagaimana hal itu memukul ibu rumah tangga. Diskusi publik lebih sering dipenuhi oleh para pengamat, pejabat, atau akademisi. Padahal, jika mau jujur, ibu rumah tangga memiliki suara yang sama pentingnya—bahkan lebih jujur dan lebih nyata karena mereka langsung berhadapan dengan kenyataan. Suara mereka lahir bukan dari ruang seminar, melainkan dari ruang dapur, ruang tamu, dan kamar tidur anak-anak yang setiap hari harus mereka jaga.

Yang lebih menyedihkan, suara ibu rumah tangga kerap dianggap remeh. Ada anggapan bahwa perempuan, apalagi yang “hanya” ibu rumah tangga, tidak perlu ikut campur dalam urusan politik atau kebijakan. Padahal, sejarah sudah membuktikan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam perubahan besar. Dari masa perjuangan melawan penjajahan hingga era reformasi, perempuan selalu hadir di garis depan, meskipun kadang tidak tercatat dalam sejarah resmi.

Sebagai ibu rumah tangga, kami tidak meminta istimewa. Kami hanya ingin keadilan yang sama seperti warga negara lain: hak untuk hidup layak, hak untuk menyekolahkan anak dengan tenang, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, dan hak untuk tidak dibebani kebijakan yang memberatkan. Kami tidak ingin hanya menjadi penonton ketika keputusan-keputusan penting dibuat tanpa mempertimbangkan nasib rakyat kecil.

Di tengah isu ketidakadilan yang semakin mencuat, penting untuk mengingat bahwa suara ibu rumah tangga tidak boleh diabaikan. Karena justru dari merekalah, suara rakyat kecil paling murni bisa terdengar. Maka, dalam tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa ibu rumah tangga juga punya hak untuk bersuara. Ada lima alasan utama mengapa suara kami penting untuk didengar, bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga oleh seluruh masyarakat.

1. Kami yang Pertama Merasakan Dampak Kebijakan

Setiap kebijakan pemerintah, sekecil apa pun itu, ujungnya akan terasa di meja makan keluarga. Kenaikan harga bahan pokok mungkin terdengar seperti angka biasa di berita, tapi bagi ibu rumah tangga, itu adalah pergulatan nyata setiap hari. Satu liter minyak goreng yang naik seribu rupiah saja bisa memengaruhi bagaimana kami menyusun menu untuk seminggu ke depan. Begitu pula dengan beras, telur, gula, atau gas elpiji, semua adalah kebutuhan dasar yang tidak bisa ditunda.

Kami, ibu rumah tangga, bukan sekadar pembeli di pasar. Kami adalah pengatur strategi di balik setiap rupiah yang keluar dari dompet keluarga. Maka, ketika kebijakan tidak berpihak kepada rakyat kecil, beban terberat langsung jatuh ke pundak kami. Kami yang harus menghitung ulang belanja, menukar lauk dengan sayur, atau mengurangi jajan anak demi menyeimbangkan kebutuhan rumah tangga.

Sayangnya, sering kali para pengambil kebijakan tidak melihat sisi ini. Mereka hanya berbicara dalam angka-angka besar: inflasi, subsidi, atau pertumbuhan ekonomi. Padahal, realitas di dapur jauh lebih jujur. Satu keputusan yang terlihat kecil di atas kertas bisa membuat ibu rumah tangga harus memilih antara membeli lauk atau menabung untuk biaya sekolah anak. Inilah wajah ketidakadilan yang jarang disorot: dampaknya paling berat justru menimpa mereka yang paling sederhana hidupnya.

Lebih dari itu, ibu rumah tangga juga memikul beban emosional. Bagaimana menjelaskan kepada anak bahwa jajan mereka harus dikurangi karena harga naik? Bagaimana menjaga perasaan suami agar tidak semakin terbebani ketika penghasilan tidak cukup? Semua itu menuntut kekuatan hati yang luar biasa, meski sering kali tidak ada yang mengakui.

Maka jelas, ibu rumah tangga adalah pihak pertama yang merasakan dampak kebijakan. Suara kami bukan sekadar keluhan, melainkan kesaksian langsung tentang bagaimana kebijakan benar-benar bekerja di lapangan. Jika suara ini diabaikan, maka pemerintah hanya akan melihat separuh wajah bangsa: wajah statistik, bukan wajah nyata rakyat.

2. Ibu Rumah Tangga Adalah Pengatur Ekonomi Keluarga

Banyak yang tidak menyadari bahwa ibu rumah tangga adalah ekonom sejati. Kami mungkin tidak memegang gelar akademik di bidang ekonomi, tapi setiap hari kami melakukan perhitungan yang jauh lebih rumit daripada sekadar angka di papan tulis. Dengan penghasilan terbatas, kami harus memastikan semua kebutuhan terpenuhi: makanan, pendidikan, kesehatan, dan bahkan hiburan kecil untuk keluarga.

Setiap ibu rumah tangga tahu bagaimana sulitnya menyeimbangkan kebutuhan dengan keterbatasan. Kami belajar membuat daftar belanja, membandingkan harga di pasar, memilih barang yang paling hemat tapi tetap bergizi, hingga menahan diri untuk tidak membeli sesuatu yang sebetulnya diinginkan. Itu semua adalah bentuk manajemen ekonomi yang jarang dilihat oleh pemerintah.

Saat kebijakan tidak adil diberlakukan, beban itu semakin berat. Subsidi yang dicabut, pajak yang naik, atau bantuan sosial yang tidak merata membuat ekonomi keluarga semakin terhimpit. Dan siapa yang paling keras merasakannya? Ibu rumah tangga. Kami yang harus mencari solusi ketika uang tidak cukup, meski bukan kami yang membuat kebijakan.

Ibu rumah tangga juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga jangka panjang. Dari kami, anak-anak belajar bagaimana hidup sederhana, bagaimana menabung, dan bagaimana berhemat. Semua itu adalah bekal penting untuk generasi mendatang. Jika suara kami tidak dihargai, artinya negara menutup mata terhadap salah satu kekuatan ekonomi terbesar yang ada di dalam masyarakat: ekonomi rumah tangga.

Mengabaikan suara ibu rumah tangga sama saja dengan mengabaikan pondasi ekonomi bangsa. Karena pada akhirnya, apa arti pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika rakyat kecil masih kesulitan untuk makan layak dan menyekolahkan anak?

3. Kami Mendidik Generasi yang Akan Datang

Rumah adalah sekolah pertama, dan ibu adalah guru utama. Dari mulut ibulah anak-anak pertama kali belajar kata-kata, dari sikap ibulah mereka belajar nilai kehidupan. Maka ketika ibu rumah tangga bersuara tentang ketidakadilan, itu bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk masa depan anak-anaknya.

Setiap ibu ingin anaknya tumbuh dengan rasa aman, adil, dan penuh harapan. Tapi bagaimana mungkin kami bisa menanamkan nilai keadilan jika kami sendiri tidak mendapatkan perlakuan adil dari pemerintah? Anak-anak belajar dari contoh, bukan hanya dari kata-kata. Jika mereka melihat orang tua mereka berjuang menghadapi ketidakadilan, mereka akan belajar tentang arti keberanian. Jika mereka melihat ibu mereka berani bersuara, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang kritis dan tidak mudah tunduk.

Ibu rumah tangga juga berperan dalam menjaga moralitas bangsa. Ketika ketidakadilan terjadi, kami mengajarkan anak untuk tidak ikut larut dalam kepasrahan. Kami membekali mereka dengan semangat bahwa setiap manusia berhak atas hidup yang layak. Dengan begitu, suara ibu rumah tangga sejatinya adalah suara pendidikan moral yang sangat penting bagi keberlangsungan bangsa.

4. Perempuan Juga Agen Perubahan Sosial

Sejarah bangsa ini tidak pernah lepas dari peran perempuan. Dari RA Kartini yang memperjuangkan pendidikan perempuan, hingga Cut Nyak Dien yang turun langsung di medan perang, suara perempuan selalu menjadi bagian dari perjuangan besar bangsa. Kini, meski banyak perempuan menjadi ibu rumah tangga, peran itu tetap penting.

Melalui ruang-ruang kecil, ibu rumah tangga bisa menjadi agen perubahan sosial. Diskusi di arisan, komunitas, hingga media sosial bisa menjadi wadah untuk menyebarkan semangat keadilan. Dari mulut ke mulut, suara itu bisa bergema hingga memengaruhi banyak orang. Jangan remehkan ruang domestik, karena dari situlah gerakan besar sering kali dimulai.

Selain itu, ibu rumah tangga memiliki jaringan sosial yang kuat. Kami saling berbagi informasi, pengalaman, bahkan strategi bertahan hidup. Jaringan inilah yang membuat suara ibu rumah tangga punya kekuatan besar jika disatukan. Maka, mendengarkan ibu rumah tangga berarti mendengarkan kekuatan sosial yang nyata.

5. Suara Kami Adalah Suara Kemanusiaan

Ketidakadilan bukan hanya soal politik atau ekonomi, tapi soal kemanusiaan. Hak dasar setiap orang adalah hidup layak, mendapatkan pendidikan, dan merasa aman. Ketika hak-hak itu tidak terpenuhi, maka ada kemanusiaan yang dilanggar. Dan suara ibu rumah tangga adalah suara kemanusiaan itu sendiri.

Kami bersuara bukan untuk kepentingan pribadi. Kami bersuara karena kami melihat anak-anak yang harus mengurangi makan, suami yang semakin lelah mencari nafkah, dan keluarga yang kesulitan mendapatkan layanan kesehatan. Itu semua bukan sekadar angka, melainkan kehidupan nyata yang harus diperjuangkan.

Maka, ketika ibu rumah tangga berbicara, jangan dianggap sepele. Itu adalah suara nurani, suara yang lahir dari kasih sayang, dan suara yang merepresentasikan jutaan rakyat kecil di negeri ini.

Menjadi ibu rumah tangga bukan berarti harus diam, apalagi pasrah. Justru dari balik pekerjaan sehari-hari yang sederhana, kami belajar banyak tentang arti keteguhan, kesabaran, dan keberanian. Karena itu, ketika ketidakadilan terus terjadi, wajar jika kami juga ingin berdiri tegak membela hak.

Ada lima alasan mengapa suara kami harus didengar: karena kami yang pertama merasakan dampak kebijakan, karena kami adalah pengatur ekonomi keluarga, karena kami mendidik generasi yang akan datang, karena kami bisa menjadi agen perubahan sosial, dan karena suara kami adalah suara kemanusiaan.

Mendengarkan ibu rumah tangga berarti mendengarkan denyut nadi rakyat kecil. Mengabaikan kami sama saja dengan menutup mata terhadap kenyataan hidup yang paling jujur. Maka, mari berhenti meremehkan suara ibu rumah tangga. Karena dari kamilah, bangsa ini belajar tentang arti keadilan yang sesungguhnya.