M. Reza Sulaiman | Felix Dewantara Putra Sitohang
Para Anggota Jogja Fragrance Community foto bersama setelah melakukan pertemuan rutin dengan tema parfum yang berbeda-beda tiap minggunya (Dok.Pribadi)
Felix Dewantara Putra Sitohang

Perbincangan tentang parfum belakangan ini semakin sering muncul di ruang publik. Tidak lagi sebatas soal penampilan atau kesan pertama, parfum kini dipahami sebagai bagian dari gaya hidup dan ekspresi diri.

Di Yogyakarta, perubahan cara pandang ini turut melahirkan ruang sosial baru: komunitas berbasis minat yang mempertemukan orang-orang dari latar belakang berbeda melalui satu kesamaan aroma.

Salah satunya adalah Jogja Fragrance Community (JFC), sebuah komunitas yang mewadahi pencinta parfum untuk bertemu, berdiskusi, dan berbagi pengalaman.

Namun, di balik aktivitas mencium aroma dan bertukar rekomendasi, komunitas ini memperlihatkan fenomena yang lebih luas: bagaimana hobi bisa berkembang menjadi ruang aman dan sarana untuk membangun relasi sosial.

Parfum dan Pergeseran Makna Gaya Hidup

Selama ini, parfum kerap diasosiasikan dengan aktivitas sosial tertentu: dipakai saat bekerja, menghadiri acara, atau bertemu orang lain. Namun kini, parfum juga digunakan untuk kepuasan personal. Banyak orang memakainya bukan untuk dilihat, melainkan untuk dirasakan sendiri.

Pergeseran ini sejalan dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap parfum sebagai objek eksplorasi, bukan sekadar kebutuhan. Aroma tidak hanya dinilai dari wanginya, tetapi dari cerita, kesan, dan pengalaman yang menyertainya.

Di sinilah parfum mulai bersinggungan dengan memori dan emosi. Jogja Fragrance Community hadir dalam konteks ini. Komunitas ini menjadi ruang bagi orang-orang yang ingin memahami parfum lebih dalam, baik dari sisi teknis, pengalaman personal, maupun makna sosialnya.

Komunitas sebagai Ruang Bertemu dan Didengar

Berbeda dengan komunitas yang terbentuk secara formal, Jogja Fragrance Community tumbuh dari pertemuan sederhana dan keinginan untuk berbagi. Tidak ada batasan usia, latar belakang, atau tingkat pengetahuan. Setiap anggota datang dengan pengalaman masing-masing dan semuanya mendapatkan ruang yang sama untuk berbicara.

Dalam setiap pertemuan, diskusi tentang parfum sering kali berkembang menjadi percakapan yang lebih personal. Aroma tertentu memicu cerita tentang masa lalu, momen penting, atau perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tanpa disadari, parfum menjadi medium komunikasi yang memudahkan orang untuk membuka diri.

Fenomena ini menunjukkan bahwa komunitas berbasis minat tidak hanya berfungsi sebagai tempat berkumpul, tetapi juga sebagai ruang sosial yang memberikan rasa aman dan penerimaan.

Dari Hobi Individual ke Relasi Sosial

Ketertarikan pada parfum pada awalnya bersifat personal. Namun, melalui interaksi yang rutin, pengalaman individual tersebut berubah menjadi pengalaman kolektif. Sniffing session yang dilakukan secara berkala menjadi titik temu utama, tetapi relasi yang terbentuk tidak berhenti di sana.

Anggota komunitas juga berinteraksi di luar kegiatan utama: berolahraga bersama, bernyanyi, atau sekadar makan bersama.

Dari sini terlihat bahwa kesamaan minat hanyalah awal. Yang membuat komunitas bertahan adalah hubungan sosial yang terbangun secara alami. Di tengah kehidupan perkotaan yang cenderung individualistis, keberadaan ruang seperti ini menjadi relevan.

Jogja Fragrance Community memperlihatkan bagaimana komunitas kecil dapat menciptakan rasa kebersamaan tanpa harus bersifat eksklusif.

Lebih dari Tren, Sebuah Kebutuhan Sosial

Meningkatnya popularitas parfum sering dipandang sebagai bagian dari tren gaya hidup. Namun, di balik itu, terdapat kebutuhan sosial yang lebih mendasar: kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain. Komunitas seperti JFC hadir bukan hanya untuk merespons tren, tetapi juga untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Di komunitas ini, tidak ada tuntutan untuk memiliki koleksi mahal atau pengetahuan yang mendalam. Yang dihargai adalah partisipasi dan kehadiran. Hal ini membuat komunitas terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar dan berbagi. Yogyakarta, dengan karakter masyarakatnya yang inklusif dan terbuka, menjadi lingkungan yang mendukung tumbuhnya ruang-ruang sosial semacam ini.

Pada akhirnya, Jogja Fragrance Community menunjukkan bahwa parfum bisa berperan lebih dari sekadar produk konsumsi. Ia menjadi medium yang mempertemukan orang-orang, membuka percakapan, dan membangun relasi. Di tengah dinamika kehidupan modern, komunitas berbasis minat seperti ini menawarkan alternatif ruang sosial yang lebih manusiawi.

Sebuah ruang tempat orang tidak hanya berbagi hobi, tetapi juga pengalaman hidup. Karena pada akhirnya, yang membuat sebuah komunitas bertahan bukanlah tren, melainkan rasa saling terhubung.

Baca Juga