Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Ilustrasi perempuan stres atau depresi. (Shutterstock)

Saat ini, depresi dan gangguan mental lainnya bukanlah hal asing untuk didengar ataupun dibicarakan. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kampanye, komunitas, perbincangan terbuka di media sosial, bahkan lagu-lagu populer yang mengusung tema kesehatan mental.

Dilansir dari docdoc, depresi adalah reaksi normal ketika orang melalui perjuangan dan kekecewaan dalam hidup. Seringkali, orang menyebutnya sebagai 'depresi', tetapi secara klinis, depresi lebih dari sekedar perasaan sedih saja. Jika seseorang terus menerus merasa sendirian, putus asa dan kekosongan dalam hampir setiap aspek kehidupannya dan perasaan itu tidak mau pergi, maka kemungkinan ia sedang mengalami gangguan depresi berat atau akut atau depresi klinis.

Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, Sp.KJ,  ada sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi di Indonesia. Angka ini diprediksi akan meningkat pada 2020 karena lonjakan demografis atau peningkatan jumlah penduduk.

Depresi bisa dirasakan oleh siapa saja tanpa mengenal umur dan jenis kelamin. Efek samping dari depresi pun tidak bisa dianggap sepele karena bisa mengekang potensi dan pikiran seseorang bahkan memengaruhinya untuk mengakhiri hidup.

Mengingat jumlah pengidapnya yang tinggi dan meningkat setiap tahun, depresi kini menjadi persoalan serius di Indonesia. Meski sangat gencar disuarakan, ternyata masih banyak hambatan dalam menghadapi penyakit ini. Stigma yang melekat, misalnya, depresi sering kali dikaitkan dengan hal-hal mistik, dianggap kurang bersyukur dan kurang beriman, atau dinilai tidak normal. Masih banyak masyarakat yang salah kaprah dan belum paham betul akan depresi.

Selain itu, pelayanan kesehatan yang disediakan mulai dari fasilitas sampai praktisi pun belum mumpuni. Dilansir dari theconversation, Indonesia hanya memiliki 773 Psikiater dan 451 Psikolog Klinis dan posisinya terpusat di Pulau Jawa, angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang mencapai kurang lebih 260 juta jiwa.

Artinya, 1 (satu) Psikiater terlatih harus menghadapi 300.000-400.000 orang. Padahal, standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO) tentang perbandingan jumlah tenaga Psikolog dan Psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1 banding 30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk. Itu berarti, kita masih kekurangan sekitar 24.000 Praktisi Kesehatan Mental.

Tidak hanya kekurangan praktisi, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini hanya memiliki 48 Rumah Sakit Jiwa, 8 provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa, dan 3 provinsi tidak memiliki Psikiater. Sekitar 90% masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses layanan kesehatan mental yang kebanyakan berujung pada pemasungan sebagai jalan pintas untuk menangani orang dengan depresi atau gangguan kesehatan mental lainnya.

Minimnya jumlah praktisi kesehatan mental di Indonesia tentu menghambat upaya pencegahan dan penanganan persoalan kesehatan mental masyarakat. Hal ini sangat disayangkan, mengingat Indonesia adalah negara berkembang yang sangat membutuhkan Sumber Daya Manusia yang mumpuni untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Dengan tekanan pekerjaan dan sosial yang semakin tinggi, depresi atau gangguan mental lainnya bisa saja mengikuti dan mengakibatkan penurunan perfoma bekerja seseorang.

Untuk menjamin Indonesia yang lebih sehat, pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian lebih atas masalah ini dan mulai berinvestasi dalam kesehatan mental masyarakatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan setiap Puskesmas yang ada di seluruh Indonesia setidaknya memiliki Psikiater dan Psikolog yang terlatih, memberikan penyuluhan khususnya ke daerah-daerah mengenai apa itu depresi, bagaimana cara menangani orang dengan depresi  dan apa yang harus dilakukan jika kita yang terkena.

Sebagai warga negara yang baik, kita pun dapat berkontribusi untuk menghadapi realita kurangnya praktisi kesehatan mental di Indonesia. Kita dapat membina hubungan sosial yang baik, membangun lingkaran positif dan mengenali kekurangan dan kelebihan diri untuk mencegah diri terkena dari depresi atau gangguan mental lainnya.

Dengan membangun lingkaran sosial yang positif, setidaknya kita bisa menjadi pengingat dan penolong bagi sesama, saling bahu membahu untuk membentuk kehidupan yang harmonis untuk mencegah dan menurunkan gejala depresi yang mungkin dialami.

Pengirim: Rebecca Theresia Marpaung / Mahasiswi London School of Public Relations Jakarta
E-mail: resiamarpaung@gmail.com