Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Yudho Bintoro Sandi
Ilustrasi banjir. (Antara/Jessica Helena Wuysang)

Mengawali tahun 2020, intensitas hujan yang tinggi di malam pergantian tahun membawa Indonesia kembali dirundung duka dengan bencana banjir dan longsor di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Berdasarkan data dari BNPB (4 Januari 2020), setidaknya ada 308 kelurahan yang terdampak, 60 orang korban, dan 92.261 orang yang mengungsi. Menurut Bank Dunia, Indonesia memang termasuk 35 negara yang berisiko mengalami bencana paling tinggi di dunia.

Mari kita pahami bahwa dalam menangani bencana, pemerintah mengalokasikan anggaran bencana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut digunakan untuk sejumlah kegiatan pada tahap pra bencana (pengurangan risiko bencana), saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi). Dari tiga tahapan tersebut, kegiatan pasca bencana membutuhkan pembiayaan yang paling besar.

Berdasarkan data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF), pemerintah rata-rata mengalokasikan dana cadangan bencana (2005-2017) sebesar Rp3,1 triliun. Sementara kerugian akibat bencana besar seperti gempa dan tsunami Aceh (2004) mencapai Rp51,4 triliun dan membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun untuk pemulihan seperti kondisi sebelum bencana.

Bersumber dari kajian BKF, rata-rata kerugian ekonomi langsung per tahun akibat bencana (2000-2017) sebesar Rp22,8 triliun, jika dibandingkan dengan rata-rata dana cadangan bencana maka terdapat gap pembiayaan sebesar Rp19,75 triliun atau 78 persen. Kesenjangan pembiayaan tersebut yang menyebabkan Indonesia terpapar risiko fiskal yang tinggi akibat bencana alam.

Rentetan bencana besar di tahun 2018 (gempa di lombok, gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, serta tsunami di Selat Sunda) yang pada faktanya memerlukan dana penanggulangan bencana (diperkirakan Rp5 triliun untuk Lombok dan Rp10 triliun untuk Palu) melebihi dana cadangan yang dialokasikan.

APBN sendiri memang memiliki keterbatasan dalam pendanaan bencana, kemampuan fiskal pemerintah dari beberapa tahun terakhir hanya mampu memberikan alokasi rata-rata dana cadangan bencana sebesar Rp4 triliun. Menyadari tingginya risiko gap pembiayaan bencana, pemerintah menyusun strategi dan melakukan reformasi kebijakan pembiayaan siaga bencana yang tepat waktu, lebih terencana, berkelanjutan dan transparan untuk mengurangi kerugian ekonomi dan beban APBN. Strategi kebijakan pembiayaan siaga bencana ini dimulai dengan:

Pembentukan Pooling Fund

Pooling fund merupakan alokasi dana yang disiapkan pemerintah untuk menanggulangi bencana alam yang dikelola khusus oleh lembaga pengelola dana untuk selanjutnya disalurkan saat terjadi bencana. Lembaga pengelola dana khusus ini akan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang nantinya akan merancang pengelolaan dana khusus bencana mulai dari sumber dan pemanfaatannya.

Skema pendanaan ini telah dilakukan di Meksiko untuk memulihkan produk domestik bruto (PDB) yang turun akibat badai dan gempa bumi. Indonesia dalam membentuk Pooling fund awal berasal dari APBN. Sebagai modal awal, pemerintah telah mengalokasikan anggaran (2019) sebesar Rp1 triliun untuk pembentukannya.

Selanjutnya, dana yang saat ini dialokasikan untuk tanggap darurat, dapat mulai dialokasikan sebagian kesana. Pun apabila dana yang sudah dianggarkan tidak terpakai karena tidak terjadi bencana, dapat langsung dimasukkan juga. Selain itu, hasil investasi atas dana yang dikelola, hasil pembayaran klaim asuransi, serta sumbangan donor menjadi sumber penerimaannya.

Melalui pooling fund diharapkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi bisa diakselarasi. Jadi yang sebelumnya harus menunggu sampai lebih dari lima tahun baru dibangun semuanya, ini mungkin dalam satu atau dua tahun sudah bisa dibangun semuanya, sehingga pemulihan lebih cepat dan ekonomi bisa kembali aktif.

Asuransi Barang Milik Negara

Salah satu faktor utama yang menentukan solusi pembiayaan bencana adalah melalui pembagian atau pemisahan (layering) risiko dan kombinasi instrumen pembiayaan. Untuk melakukan mitigasi risiko potensi kerugian dari bencana alam, pemerintah berinisiatif untuk melakukan transfer risiko kepada pihak asuransi. Skema asuransi ini (yang sifatnya katastropik atau asuransi bencana) dilakukan dengan mengasuransikan Barang Milik Negara (BMN).

Mekanismenya dilakukan dengan setiap tahun membayar premi untuk risiko yang akan terjadi akibat bencana. Tapi ini lebih ke arah rehabilitasi dan rekonstruksi. Dengan mekanisme asuransi, diharapkan biaya yang muncul akibat bencana tak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya.

Jika ada kejadian bencana, maka kita bisa dapat klaim asuransi sehingga dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi tidak membebani APBN dan dapat langsung dipakai untuk membangun. Selain itu, mekanisme asuransi diharapkan dapat mempersingkat waktu pembangunan kembali pasca bencana. Skema ini piloting-nya dilakukan pertama kali (2019) di Kementerian Keuangan untuk BMN (Gedung, termasuk juga mobil), jika telah berjalan dengan baik maka akan diterapkan ke kementerian yang lain.

Dari segi pembiayaan, diharapkan strategi kebijakan pembentukan pooling fund dan mengasuransikan BMN akan berdampak pada pemerintah yang mengatasi bencana dengan lebih terorganisir dan teratur tanpa membebani semuanya pada APBN. Strategi ini juga diharapkan dapat mempercepat proses penanggulangan bencana. Di sisi lain, mitigasi bencana dengan peta zonasi juga perlu dilakukan.

Menurut Dr. Kuntoro Mangkusubroto (Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias 2005-2009), peta zonasi bencana menjadi dasar untuk penentuan pihak mana yang mesti menanggung beban tatkala terjadi bencana. Menurutnya, pemetaan zonasi bencana ini bagian yang penting dalam menentukan kebijakan setelahnya.

Dengan adanya peta zonasi yang jelas, pemerintah dapat menentukan kebijakan pembangunan di wilayah tersebut, kebijakan penanggung biaya tatkala terjadi bencana bagaimanapun mekanisme pembiayaannya.

Akhir kata, strategi-strategi kebijakan ini diyakini akan memperkuat ketahanan fiskal dan intervensi pemerintah dalam bersiap siaga dan juga memitigasi risiko bencana. Tentunya, ini memerlukan komitmen bersama seluruh pelaku kepentingan terkait untuk melakukan sinergi dan berbagi risiko sesuai kapasitas masing-masing baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri perbankan dan asuransi, pelaku usaha, dan juga masyarakat.

Yudho Bintoro Sandi

Baca Juga