Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | abrianiap
Logo Jiwasraya

PT. Asuransi Jiwasraya, atau biasa dikenal Jiwasraya, mencuri perhatian publik akhir-akhir ini. Nama Badan Usaha Milik Negara (BUMN ) yang bergerak dibidang asuransi ini muncul diberbagai media berita karena dugaan kasus korupsi dan masalah gagal bayar.

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) melalui lamannya memberitakan telah dua kali melakukan pemeriksaan atas Jiwasraya. Pemeriksaan pertama dilakukan pada tahun 2016. Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) ini mendapatkan 16 temuan terkait pengelolaan bisnis,pendapatan, investasi, dan biaya operasional Jiwasraya pada tahun 2014-2015. 

Pada tahun 2018, BPK kemudian melakukan pemeriksaan investasi pendahuluan  sebagai tindak lanjut PDTT tahun 2016. Berdasarkan pemeriksaan kedua ini diketahui bahwa permasalahan di Jiwasraya sudah terjadi sejak lama. Laba yang dibukukan Jiwasraya pada tahun 2006 merupakan laba semu. Rekayasa akuntansi atau windows dressing lah yang menyebabkan laba semu di Jiwasraya.  Rekayasa ini menutup kenyataan bahwa perusahaan telah mengalami kerugian.

Kerugian juga dicatat Jiwasraya pada tahun 2018 dan diperkirakan negative equity sebesar Rp27,2 triliun dialami Jiwasraya pada November 2019. Penyebab utama kerugian adalah investasi saving plan yang kurang tepat. Kesalahan investasi ini menyebabkan tekanan likudasi dan akhirnya perusahaan mengalami gagal bayar.

Berbagai instansi pemerintah mulai dari Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Komisi Pembaratansan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung hingga Kepolisian saling berkoordinasi untuk menyelesaikan masalah perusahaan asuransi plat merah ini. Campur tangan pemerintah di BUMN yang bermasalah merupakan hal yang lumrah terjadi. Pemerintah tentunya memiliki strategi untuk menjaga kesehatan BUMN atau meminimalisir risiko yang mungkin timbul di BUMN.

Sebagaimana dikutip dari laman Kemenkeu, pada konferensi pers yang diselengggarakan Kemenkeu, Bank Indonesia (BI), Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di tahun 2018 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan strategi pemerintah untuk menjaga kesehatan keuangan dan tata kelola BUMN.

Strategi pertama, mendorong BUMN untuk mengoptimalkan pembiayaan ekuitas. Strategi ini bisa dijalankan dengan menggunakan innovative financing seperti sekuritas aset, Komodo Bonds issuance dan penerbitan KIK efek beragun aset. BUMN juga dihimbau untuk melakukan kerja sama denga investor asing guna meningkatkan sinergi antar BUMN. Pemerintah berharap strategi ini dapat menjaga leverage atau tingkat utang BUMN pada batas aman.

Strategi kedua, Pemerintah akan memberikan perhatian khusus kepada BUMN yang bergerak dibidang penyediaan energi seperti Pertamina dan PLN. Melalui eksekusi strategi ini, Pemerintah ingin memastikan bahwa Pertamina dan PLN bisa menjalankan tugas yang diamanatkan dan mempunyai laporan keuangan dan tata kelola yang baik.

Perhatian khusus juga diberikan Pemerintah kepada BUMN yang mendapat amanah pembangunan infrastruktur. Wujud perhatian Pemerintah kepada BUMN ini berupa memantau kondisi keungan melaui neraca perusahaan. Pemerintah juga menjaga supaya BUMN terhindar dari masalah dan berbagai tekanan seperti tekanan dari sisi likuiditas, cash flow, provitabilitas , dan solvabilitas.

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang memiliki BUMN. Amerika memiliki BUMN yang disebut dengan Government Sponsored Enterprise (GSE). Berbeda dengan BUMN yang merupakan perusahaan yang dimiliki Pemerintah, GSE merupakan perusahaan yang dibentuk dan disetujui oleh Kongres Amerarika tetapi digolongkan perusahaan swasta sehingga tidak mendapat anggaran Negara. Terlepas dari perbedaan statusnya, BUMN dan GSE sama-sama dibentuk Negara untuk memberikan pelayanan kepada Negara dan masyarakat.

abrianiap

Baca Juga