Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Joko Ade Nursiyono
Suasana kawasan kumuh di Jakarta, Selasa (20/9).

Sebagai negara maju, tekad Indonesia dalam memerangi kemiskinan terus berlanjut. Kalau kita lihat dari datanya, ada sebanyak 9,91 juta penduduk yang masih masuk kategori sangat miskin. Mampukah Indonesia mencapai target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2024 di tengah gempuran virus Corona?

Kemiskinan tak hentinya menyita perhatian setiap negara. Seolah sebuah penyakit, kemiskinan bisa kambuh kapan saja, apalagi ketika perekonomian suatu negara sedang lesu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap angka kemiskinan per September 2019 sebesae 9,22 persen. Angka ini terlihat menurun 0,19 persen jika dibanding kondisi Maret 2019.

Tentunya, pemerintah patut berbangga dengan capaian dua tahun belakangan. Walaupun, rasa bangga itu juga perlu diiringi dengan introspeksi. Utamanya terkait kondisi ekonomi yang tengah berlangsung saat ini.

Pertumbuhan ekonomi pada umumnya mempunyai asosiasi kuat terhadap kemiskinan. Namun, hingga kini kita masih disuguhi fakta miris mengenai kualitas pertumbuhan ekonomi yang semakin menurun. Beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih "berputar-putar", bergerak moderat di angka 5 persen.

Sekilas, perekonomian kita seakan tidak berdaya untuk menyentuh kemiskinan. Padahal yang dinamakan negara maju itu selain mampu menikmati standar hidup relatif tinggi, ekonomi juga merata.

Katakanlah Indonesia telah mampu menikmati standar hidup yang tinggi. Akan tetapi, pemerataan ekonomi agaknya belum tercapai. Perlukah status negara maju yang "diberikan" Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia dikoreksi kembali?

Cuma realisasi anggaran

Upaya pemerintah dalam mengurangi kemiskinan melalui percepatan infrastruktur patut diapresiasi. Anggaran bantuan program penanggulangan kemiskinan pun juga bukan ala kadar.

Tahun lalu, pemerintah mengalokasikan dana bantuan sosial untum 92,4 juta jiwa penerima Jaminana Kesehatan Nasional (JKN) dan 10 juta keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH).

Selain itu, program Bantuan Pangan non-Tunai (BPNT) yang bergulir sejak 2017 juga berhasil menjangkau 1,28 juta keluarga.

Dampak program itu mungkin menjadi salah satu faktor penurunan jumlah kemiskinan di Indonesia. Kendati kita perlu mempertajamnya, apakah program-program pro kemiskinan sudah tepat sasaran, atau jangan-jangan ukuran keberhasilannya hanya: realisasi dana yang berhasil digelontorkan.

Dampak Corona

Perlu dicatat pula bahwa, di tengah ketidakpastian ekonomi dunia saat ini, ditambah dengan merebaknya virus Corona ke berbagai negara, sedikit banyak pasti akan mengguncang perekonomian.

Tak mustahil jika kemiskinan yang terekam pada 2020 mendatang kembali meningkat. Mengapa demikian? Setidaknya ada beberapa kondisi yang apabila kekuatan ekonomi lemah, kemiskinan akan bertambah.

Pertama, besarnya tingkat keterbukaan ekonomi (Oppeness) Indonesia terhadap mitra dagang, terutama China. Semenjak virus Corona mencuat, sejumlah komoditas impor dan ekspor terhambat.

Kondisi ini mengakibatkan stabilitas penawaran dan permintaan (supply and demand) terganggu. Harga komoditas impor seperti bawang putih sontak melejit dan tidak dimungkiri sedikit banyak akan menyumbang besarnya inflasi sejak Februari 2020.

BPS mencatat, kontribusi bawang putih terhadap inflasi bulan Februari 2020 (0,28 persen) adalah sebesar 0,09 persen. Peningkatan ini sangat mungkin dipicu oleh berkurangnya pasokan dan distribusi yang terhambat akibat wabah Corona. 

Kedua, munculnya fenomena panic buying sebagaimana yang tengah terjadi di Indonesia saat ini. Mulai dari harga bawang bombai, jahe merah, hingga harga masker secara mengejutkan naik signifikan dibanding saat normal.

Kekhawatiran ini membuat keseimbangan dan persaingan harga di pasar bisa terganggu dan berpotensi menggerus daya beli masyarakat. Dipastikan inflasi akan meningkat dalam periode yang tidak menentu.

Seberapa pun kuat laju pertumbuhan ekonomi, ketika daya tahannya kurang kuat menghadapi kejutan ekonomi (shock), inklusivitasnya akan terdegredasi dan kemiskinan akan bertambah.

Perlu antisipasi

Kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menekan angka kemiskinan kini sedang menghadapi tantangan berat. Oleh karena itu, mitigasi risiko peningkatan jumlah penduduk miskin dan sangat miskin akibat wabah virus Corona (Covid-19) juga perlu diantisipasi.

Semestinya kita perlu mengurangi keterbukaan ekonomi ketika kondisi perekonomian negara mitra dagang sedang terguncang. Ketergantungan impor Indonesia yang terlalu tinggi akan menentukan seberapa besar risiko yang dialami ketika mitra dagangnya menghadapi shock ekonomi, seperti bencana, wabah penyakit, atau krisis.

Dosis ketergantungan ekonomi terhadap negara lain yang mempunyai ukuran (size) ekonomi besar juga perlu diperhatikan. Tidakkah cukup krisis ekonomi global sekitar tahun 2008 lampau menjadi catatan merah perekonomian nasional?

Masih besarnya tingkat ketergantungan terhadap produk negara lain cukup menjadi bukti kemandirian ekonomi Indonesia masih menjadi tantangan.

BPS mencatat neraca perdagangan per Januari 2020 masih defisit USD 0,86 miliar atau naik dari bulan sebelumnya (USD 0,06 miliar). Impor yang setiap saat dibuka "satu senti" justru melenakan sehingga produktivitas perekonomian dalam negeri kian meredup.

Alhasil, turbulensi ekonomi tak mampu dinikmati penduduk yang sangat miskin. Tekad pemerintah memasang target kemiskinan 0 persen di tahun 2024 tentu kontraproduktif dengan kenyataan pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif sama sekali akibat gempuran virus Corona.

Skema utama yang harus dilakukan terlebih dulu adalah membuat sentimen pasar dalam negeri positif atau netral. Karena sentimen inilah yang membuat kepanikan ekonomi padahal efek virus Corona belum terasa. Keterhati-hatian dalam mengumumkan kasus positif dan terduga (suspect) Corona di media masa.

Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa ketersediaan dan kemudahan akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok tetap terpenuhi. Mengingat, dalam situasi kepanikan ekonomi akibat kekhawatiran terhadap virus Corona selain memicu permainan harga bahan pokok, akses masyarakat dalam menjangkau fasilitas publik akan terbatasi dengan sendirinya. Karena itu, betapa pentingnya peran pemerintah untuk menangkal kemungkinan itu.

Terakhir, pemerintah dapat memaksimalkan peran sektor primer untuk menjaga kestabilan harga komoditas impor. Dengan koordinasi secara intensif, kinerja lapangan usaha pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan dapat terpacu mengurangi ketergantungan komoditas impor, salah satunya meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri.

Harapan ke depan, pemerintah tidak perlu mematok target terlalu tinggi terkait kemiskinan. Sebab semakin kecil angka kemiskinan, usaha untuk memperkecilnya akan semakin sulit. Risiko sistemik sebagai dampak domino penyebaran virus Corona lebih perlu diperhatikan untuk menjaga ekonomi tetap tumbuh. Tentu sangat disayangkan bukan, jika tekad menurunkan kemiskinan ekstrem melesat hingga 0 persen, malah kenyataannya meleset.(*)

*) Penulis: Joko Ade Nursiyono/Fungsional Statistisi di BPS Provinsi Jawa Timur

Joko Ade Nursiyono