Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | thum
Ilustrasi Lockdown. (Shutterstock)

Boleh jadi belakangan ini kita sering mendengar istilah lockdown. Istilah lockdown pertama kali dipopulerkan oleh China yang mengisolasi wilayah tempat virus ini berasal. Virus corona pertama kali menjadi perbincangan khalayak Internasional sedari Tahun 2019 lalu.

Kala itu di China jumlah kasus penyebaran virus corona terus melonjak sehingga membuat otoritas setempat terkendala dalam menanggulangi korban positif Covid-19. Salah satu faktor utama diberlakukannya lockdown ialah karena adanya lonjakan jumlah pasien yang tak sebanding dengan tenaga medis serta rumah sakit yang tersedia.

Lonjakan tersebut akhirnya membuat pemerintah china dengan cepat mengambil langkah ekstreme yaitu memberlakukan stregi lockdown ‘karantina wilayah’ dan membatasi masyarakat untuk tidak bepergian keluar rumah serta menjaga adanya interaksi satu sama lain agar bisa menekan jumlah penyebaran virus, sehingga masyarakat tidak lagi saling tertular ataupun saling menularkan.

Dikutip dari berbagai sumber, Kamis (19/03/2020) tercatat ada beberapa Negara yang telah menjalankan strategi lockdown dengan rentang waktu dan tata cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas setempat diantaranya seperti China, Italia, Belanda, Prancis, Belgia, Irlandia, Denmark, Filipina, Polandia dan Belgia.

Di Indonesia sendiri dua pekan lalu kita dibuat terkejut dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa terdapat dua warga negara Indonesia positif terinfeksi virus corona, setelah itu pembahasan mengenai virus corona menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia.

Hampir setiap waktu masyarakat disuguhkan dengan berita-berita yang beredar di berbagai media massa dengan pembahasan utamanya mengenai Covid-19 ini.

Kegaduhan di mana-mana, banyak masyarakat yang terlalu over dalam menanggapi permasalahan ini, akibatnyai kabar hoax pun bertebaran sana sini, terlebih pada grup Whatsapp keluarga.

Kabar hoax bisa menjadi salah satu indikasi bahwa pemerintah terkesan lamban dan tidak transparan dalam menyampaikan kondisi terkini. Salah satu bentuk tidak transparannya pemerintah yaitu saat pertama kali memberitakan tentang warga negara Indonesia yang terdampak Covid-19 ini.

Tidak adanya informasi mengenai domisili pasien membuat isu-isu hoax beterbangan di mana-mana. Padahal informasi itu sangatlah penting, supaya masyarakat bisa melakukan tindakan antisipasi awal tanpa menunggu intruksi dari pemerintah.

Langkah pemerintah pusat yang gagap dalam mengambil tindakan juga dipertanyakan oleh beberapa pihak, terlebih setelah Pemda DKI Jakarta dan Jawa Barat yang telah membuat peta persebaran corona dan melakukan beberapa tindakan yang cepat tanggap walaupun terdapat pro kontra di dalamnya.

Pemerintah juga dinilai gagal dalam mengambil kebijakan yang tepat dan cepat tanggap. Saat peneliti Universitas Hardvard memprediksi bahwa virus corona sudah masuk di Indonesia harusnya prediksi itu dijadikan landasan untuk menganalisis segala sesuatu yang berkaitan dengan Covid-19 serta mempersiapkan mengenai langkah apa yang akan diambil, agar nantinya jika prediksi tersebut benar pemerintah hanya tinggal mematangkan kebijakan yang telah dirancang sebelumnya.

Data per tanggal 20/3/2020. jumlah pasien positif corona di Indonesia terus memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan. Dilansir dari data terbaru kemenkes.go.id dari jumlah 1.898 orang yang diperiksa, 369 pasien positif corona, 17 pasien sembuh, 32 meninggal dunia, 1.570 negatif, dan pasien dalam proses pemeriksaan masih sejumlah 21 orang.

Sejalan dengan jumlah kasus Covid-19 yang melonjak di Indonesia, wacana mengenai lockdown pun mulai sering diperbincangkan secara serius. Sebelum terlalu jauh, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu lockdown?

Lockdown merupakan sebuah upaya pembatasan pergerakan dari, ke, dan di dalam suatu teritorial tertentu atau secara garis besar bisa diartikan sebagai pembatasan ruang gerak.

Ketika suatu wilayah dikunci seperti yang terjadi di Kota Wuhan dan beberapa Kota lainya di Provinsi Hubei, tak satupun orang dapat keluar masuk dari wilayah tersebut terkecuali mendapatkan izin dari otoritas setempat.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasanya kebijakan lockdown di setiap tempat itu berbeda-beda tergantung dari keadaan daerah serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah setempat. 

Strategi lockdown jadi perdebatan sebagai opsi simalakama atas permasalahan, namun langkah ini bukan tanpa konsekuensi, perekonomian bisa terpuruk dalam ketidakpastian dan sudah pasti pula diikuti dengan kondisi sosial masyarakat yang susah terkendalikan.

Tidak perlu terlalu jauh mengenai dampak ekonomi seperti apa yang akan terjadi jika lockdown diberlakukan, lihatlah kondisi nilai tukar Rupiah yang semakin merosot dalam beberapa hari belakangan, terparah hingga menembus angka Rp. 16.090,00/US$. Bukankah diperlukan langkah yang bijak dalam menyikapi hal tersebut?

Bukan berarti ekonomi mampu mengesampingkan kepentingan rakyat, tetapi rakyat juga akan mendapatkan imbas dari penerapan kebijakan lockdown yang tak bisa mengakomodir segala dampak sosial yang akan terjadi jikalau kebijakan yang dilakukan keluar dari hal fundamen permasalahan. 

Ekonomi dan rakyat merupakan dua hal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu hadirnya pemerintah ialah untuk memutus rantai masalah dengan pengambilan jalan tengah yang bijak.

Dalam lingkup negara, jika strategi lockdown diterapkan maka itu juga akan berlaku untuk seantero negeri. Bayangkan, semua tempat titik kumpul kota yang sering riuh dengan hiruk-pikuk seketika hening, senyap dan seolah-olah menjadi seperti kota mati.

Sekolah diliburkan, penduduknya disuruh untuk beraktivitas di dalam rumah, tempat wisata tak buka, pusat perbelanjaan vakum, pertandingan olahraga ditangguhkan, rumah makan yang ada tak beroperasi, lebih lagi kafe yang pada hari biasanya digunakan untuk ngopi, diskusi mengenai negara serta dinamika yang terjadi di dalamnya, bicara tentang kehidupan, cinta dan sebagainya oleh masyarakat umum terlebih untuk para mahasiswa/i serta anak muda di wilayah tersebut ditutup.

Wah bukankah itu sesuatu yang lumayan mengerikan jika dibayangkan? Mungkin suasana seperti itu hampir serupa dengan keadaan Kota besar saat lebaran tiba, hanya saja keadaan tersebut seribu kali lipat lebih mencekam dari pertanyaan seperti, kapan nikah? Skripsi gimana?

Tidak perlu menjadi seorang pengamat politik maupun pengamat ekonomi ternama untuk memahami kenapa pemerintah sampai sekarang belum mau melakukan strategi lockdown kecuali darurat dan memang harus segera dilaksankan.

Logika mendasarnya adalah tidak adanya kegiatan di ruang publik berarti tidak ada perputaran ekonomi, tidak ada perputaran ekonomi bisa berimbas kepada keuangan negara, neraca perdanganan, nilai tukar rupiah dan sejenisnya.

Dampak yang begitu terasa jika lockdown diberlakukan yaitu kepada para pekerja kerah biru (karyawan yang menggunakan segenap tenangannya untuk mendapatkan imbalan berupa uang ‘buruh’) yang tidak bisa bekerja dari dalam rumah seperti para pekerja kerah putih.

Bagi orang kaya lockdown tidak akan menjadi persoalan berarti, tetapi tidak bagi masyarakat ekonomi ke bawah. Jelaslah pemerintah harus memperhatikan segala untung-rugi, efek negatif-positif dalam merumuskan kebijakan guna menjamin kemaslahatan masyarakat.

Pemerintah saat ini harus lebih pro-aktif pada penangan kasus yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi.

Melihat dari diskursus yang ada bahwasanya strategi lockdown sulit untuk diberlakukan saat ini karena akan ada dampak yang lebih besar jika suatu kebijakan ‘pro-kontra’ seperti ini tidak dirumuskan secara matang dengan mempertimbangkan segala konsekuensi yang ada terlebih jika pemerintah sedari awal tidak memikirkan akan strategi itu.

Tetapi kemudian, akan lebih fatal lagi jika pemerintah tidak mengambil langlah-langlah antisipatif dari sekarang, ditakutkan peyebaran bisa terus meningkat dan kasus yang ada akan terus melonjak semakin tinggi, bukan tidak mungkin jumlah kasus akan melebihi kapasitas tim medis dan rumah sakit.

Jika memang lockdown tidak diberlalukan maka haruslah ada sebuah strategi yang diterapkan demi mencegah sesuatu yang lebih parah terjadi akibat dari keterlambatan kebijakan. Peraturan seperti Social Distancing merupakan salah satu strategi yang bisa saja dilakukan dengan mudah jika memang masyarakat patuh akan kebijkan tersebut.

Peran serta seluruh elemen yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga penting, harus saling menguatkan dan membantu satu sama lain. Salah satu contoh seperti para influencer, stakeholder atau siapa saja yang diberikan kekayaan lebih oleh Tuhan, dapat memberikan bantuan berupa uang yang nantinya bisa digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu agar mereka bisa mengamnkan diri mereka dari bayang-bayang virus corona ‘membeli hand sanitizer/masker’.

Belum lama ini kabar baik datang dari negeri yang penuh duka (China), beberapa peneliti kabarnya telah menemukan vaksin untuk menyembuhkan pasien positif Covid-19. Tetapi terlepas dari itu semua tentunya kita harus menundukan kepala sejenak dan berharap agar virus ini bisa cepat terselesaikan, pun semoga suatu saat tidak ada lagi wabah mengerikan seperti ini.

Oleh: Thumbussai Bakri, Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang

thum

Baca Juga