Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Nofi Yendri Sudiar
Ilustrasi: Perubahan iklim. (Shutterstock)

Indeks kenyamanan iklim merupakan sebuah indeks yang menyatakan standar kenyamanan berdasarkan parameter iklim seperti suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin dan sinar matahari. Penentuan indeks kenyamanan yang didasari oleh variabel iklim telah dimulai oleh Mieczkowski (1985) yang dikenal dengan istilah Tourism Climate Index (TCI).

TCI merupakan sebuah metoda untuk memudahkan wisatawan dalam menentukan tingkat kenyamanan berwisata berbasis data cuaca seperti suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, sinar matahari dan kecepatan angin.

Metode ini memberikan lima kriteria yakni sangat tidak nyaman, tidak nyaman, ditoleransi, nyaman dan sangat nyaman. Dari skor 100, rentang sangat tidak nyaman 0-19, rentang tidak nyaman 20-39, rentang toleransi 40-59, rentang nyaman 60-79 dan rentang sangat nyaman 80-100.

Data yang digunakan adalah data cuaca yang banyak dikeluarkan oleh otoritas mana saja dan tak terkecuali dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sehingga tingkat akurasinya dapat dipertanggungjawabkan.

Di Indonesia belum pernah ada metode yang dibuat untuk memandu wisatawan dalam menentukan destinasi kunjungannya. BMKG hanya menyediakan “data mentah” dan tidak memberikan panduan apakah hari ini, besok atau lusa adalah nyaman atau tidak nyaman untuk berwisata. Misalkan besok Padang cerah, lusa Padang hujan.

Informasi ini belum memberikan kondisi nyaman atau tidak. Bisa saja meskipun cuaca cerah namun tidak nyaman untuk berwisata. Untuk mengatasi hal tersebut digunakan TCI untuk menentukan kriteria kenyamanan tersebut. Wisatawan tidak akan dipusingkan lagi dengan istilah cerah berawan, kecepatan angin 20 knot atau hujan gerimis sampai lebat.

Wisawan cukup memakai hp masing-masing untuk menentukan kemana akan berwisata dan kapan. Untuk saat ini kita masih memakai data prakiraan dari BMKG. Kedepan pengembangan akan terus dilakukan.

Penentuan Tingkat Kenyamanan Kawasan Wisata Yang Berbeda Ketinggian Tempat

Kami melakukan penelitian pada tiga lokasi wisata berbasis alam yang berbeda secara topografi, Ecopark Ancol (EA), Kebun Raya Bogor (KRB) dan Kebun Raya Cibodas (KRC). Tiga lokasi ini dipilih untuk mewakili beberapa kawasan seperti EA mewakili kawasan pantai, KRB mewakili dataran rendah dan KRC mewakili kawasan pegunungan.

Dari perhitungan menggunakan metoda TCI ternyata kawasan yang nyaman dikunjungi sepanjang tahun adalah KRC dengan skor terendah 62 pada bulan Februari dan skor tertinggi 78 pada bulan Agustus. Sedangkan EA dan KRB kondisi nyaman hanya pada musim kemarau dengan skor tertinggi masing-masing 64 dan 60. Skor terendah di kawasan EA dan KRB  adalah 51 masing-masing pada bulan Desember November.  

Tiga lokasi wisata yang dipilih ini memiliki angka kunjungan yang besar. Untuk kawasan EA angka kunjungan terbesar di tahun 2017 adalah pada bulan Desember yakni 113.342 orang. Angka kunjungan terendah pada bulan Februari sebanyak 48.997 orang.

Pada kawasan KRB angka kunjungan terbesar di tahun 2017 adalah pada bulan Desember yakni 174.020 orang. Angka kunjungan terendah pada bulan Februari sebanyak 62.137 orang. Sedangkan di kawasan KRC angka kunjungan terbesar di tahun 2015 pada bulan Juli yakni 77.727 orang.

Angka kunjungan terendah pada bulan Februari sebanyak 23.801 orang. Dari data kunjungan wisata yang diperoleh dari pengelola wisata terlihat bahwa ada potensi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan.

Kita kupas kawasan EA terlebih dahulu. Dari data kunjungan wisata, bulan Desember merupakan bulan favorit untuk melakukan kunjungan. Barangkali ini didasari oleh banyaknya hari libur pada bulan tersebut. Sementara dari perhitungan kawasan EA memiliki skor kenyamanan terbesar pada musim kemarau yakni bulan Agustus dengan skor 65.

Sementara bulan Desember skornya adalah 51, ini artinya pada bulan ini masuk kategori ditoleransi. Justru di bulan Agustus kunjungan wisatawan lebih sedikit dibanding Desember yakni 69.449 orang. Penyebab utamanya belum kita ketahui secara rinci, barangkali ada stigma bahwa musim kemarau untuk berkunjung ka kawasan pantai akan sangat panas dan tidak nyaman.

Fenomena di kawasan EA juga terjadi pada kawasan KRB. Kunjungan terbesar di bulan Desember sebanyak 174.020 orang meskipun skor kenyamanannya adalah 54 (ditoleransi). Sementra kondisi nyaman pada bulan Juli justru pengunjungnya lebih sedikit yakni 169.408 orang.

Sedangkan di kawasan KRC skor kenyamanan dan jumlah kunjungan berbanding lurus. Kunjungan terbanyak pada bulan Juli dan skor kenyamanan tertinggipun pada bulan Juli. Begitu juga untuk kunjungan paling sedikit pada bulan Februari dan skor kenyamanan terendahpun pada bulan Februari.

Kegunaan Indeks Kenyamanan Iklim

Dari data yang diperoleh ini, terlihat ada celah bagi pengelola kawasan wisata untuk meningkatkan jumlah pengunjung. Terutama untuk kawasan pantai dan dataran rendah. Dengan menggunakan indeks kenyamanan iklim pengelola bisa memberikan penjelasan bahwa pada musim kemarau bisa melakukan kunjungan ke pantai dengan nyaman.

Kita lihat lagi data kunjungan di kawasan EA. Ambil contoh bulan Agustus dan Desember. Bulan Agustus skor kenyamanannya adalah 65 (nyaman) dengan jumlah kunjungan 69.449 orang sedangkan bulan Desember dengan skor kenyamanan 51 (ditoleransi) jumlah kunjungan bisa mencapai 113.342 orang.

Ada selisih sekitar 43.893 orang. Ini artinya ada potensi setidaknya 39 persen untuk meningkatkan jumah kunjungan di musim kemarau. Bagi para pengunjung, indeks kenyamanan iklim juga akan membantu agar tidak ragu lagi memutuskan bahwa panasnya pantai di musim kemarau ternyata nyaman untuk berwisata.  

Pentingnya informasi cuaca akan sangat membantu kita dalam mengambil keputusan. Bagi pengelola kawasan wisata, informasi cuaca bisa membantu untuk meningkatkan pemasukan finansial dan mutu layanan wisata.

Oleh karena itu menjadi penting bagaimana memberikan informasi kenyamanan wisata berdasarkan parameter cuaca seperti curah hujan, suhu, angin, kelembaban udara dan cahaya matahari.

Kita akan sangat sulit menentukan nyaman atau tidaknya suatu kawasan wisata hanya didasarkan dari satu parameter seperti suhu saja. Sehingga dibutuhkan setidaknya lima parameter untuk menentukan nyaman atau tidaknya suatu kawasan wisata.

Paradigma yang mesti dipakai oleh pengelola kawasan wisata terutama wisata alam adalah tempat wisata/rekreasi dikontrol oleh cuaca yang dilihat sebagai sumber daya rekreasi dan lokasi yang dapat diklasifikan sebagai spektrum yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Dengan demikian cuaca adalah sumber daya yang mesti diekploitasi  setelah sumber daya alam.

Penulis: Dr. Nofi Yendri Sudiar / Doktor pada prodi Klimatologi Terapan IPB dan dosen Fisika Universitas Negeri Padang.

Nofi Yendri Sudiar