Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Nofi Yendri Sudiar
Ilustrasi sampah makanan

Dahulu semasa saya kecil, jika saya menyisakan makanan di piring Nenek saya akan langsung marah. “Nasi jangan bersisa nanti dia menangis kalau tidak dihabiskan!” Kalimat tersebut sangat sering terdengar. Bukan hanya saya, hampir anak-anak di zaman saya selalu dapat nasehat seperti itu. Awalnya saya bingung, kenapa nasi bisa menangis? Sebagai anak-anak saya bertanya kepada orang tua, apa benar nasi bisa menangis? Kalau iya bagaimana cara nasi menangis.

Dikemudian hari saya tahu kenapa Nenek selalu bilang kalau kita menyisakan makanan, maka makanan itu akan menangis. Rupanya hal tersebut dipicu oleh pengalaman mereka di zaman penjajahan dulu. Kala itu mendapatkan beras sangat susah. Kalaupun bisa makan hanya makan singkong rebus. Begitu berharganya nasi sehingga mereka tidak mau membuang nasi barang sebutirpun. Disamping itu ada juga tuntunan agama terutama agama Islam yakni kita dilarang menyisakan makanan.

Agama Islam mengajarkan tuntunan adab dan aturan makan. Jangankan untuk menyisakan makanan di piring, sebutir nasi yang tercecer dan tertinggalpun kita disuruh menghabiskan. Bahkan yang melekat dijari sekalipun. Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW berbunyi, “Apabila seseorang di antara kalian makan, maka jilatlah jari-jarinya karena ia tidak mengetahui di bagian jari yang manakah keberkahan itu berada.” (HR. Muslim). Begitu detailnya agama mengatur tata cara kita makan.

Hari berganti musim berubah. Hari ini jika anak saya menyisakan makanan tentu tidak relevan lagi saya menyuruh dia menghabiskan makan dan memberikan nasehat seperti Nenek saya dulu. Anak-anak sekarang lebih kritis tentunya. Harus ada alasan yang logis agar mereka patuh dan taat agar tidak menyisakan makanan. Salah satu penjelasan yang saya berikan kepada anak jika menyisakan makanan adalah, “Jika kamu menyisakan makanan di piring, berarti kamu penyumbang pemanasan global!” Kenapa bisa begitu? Begini penjelasannya.

Kekhawatiran dunia saat ini bukan hanya dari sampah plastik namun juga dari sampah organik. Salah satu sumber sampah organik itu ada dari sisa makan. Begitu banyak hari ini kita lihat sisa makanan di rumah makan. Berkarung-karung setiap harinya mereka membuang sisa makanan. Hal ini dikarenakan bukan karena makanan mereka tidak enak tetapi karena perilaku kita yang selalu menyisakan makanan.

Selain  dari rumah makan, ada juga yang berasal dari acara kondangan. Tidak sedikit kita temui para undangan hanya mencicipi sedikit makanan lalu menyisakan. Entah itu sudah menjadi gaya hidup atau sudah menjadi kebiasaan. Perilaku inilah yang semestinya kita putus. Harus sejak dini diajarkan kepada anak-anak kita agar tidak menyisakan makanan.

Berdasarkan data Kependudukan Semester I 2020, jumlah total penduduk Indonesia per 30 Juni sebanyak 268.583.016 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, Indonesia diperkirakan menghasilkan 64 juta ton sampah setiap tahun. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), komposisi sampah didominasi oleh sampah organik, yakni mencapai 60% dari total sampah. Sampah plastik menempati posisi kedua dengan 14% disusul sampah kertas 9% dan karet 5,5%. Sampah lainnya terdiri atas logam, kain, kaca, dan jenis sampah lainnya.

Fakta ilmiah menunjukkan bahwa sampah adalah salah satu penyumbang GRK (Gas Rumah Kaca) dalam bentuk metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Pembuangan sampah terbuka di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah mengakibatkan sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara anaerobik dan proses itu menghasilkan gas metana. Metana sendiri mempunyai kekuatan merusak hingga 20-30 kali lebih besar daripada CO2. Sampah menghasilkan gas metana dengan komposisi rata-rata tiap satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana.

Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), Indonesia penyumbang sisa makanan terbesar kedua di dunia. Sebagaimana dikutip dari foodsustainability.eiu.com, data tahun 2016 dari Economist Intelligence Unit (EIU) mengatakan, setiap orang Indonesia bisa menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per tahun. Angka ini sangat mengejutkan kita. Seiring bertambahnya penduduk maka besar kemungkinan sampah dari sisa makanan juga akan bertambah besar pula.

Dapat kita bayangkan jika sebuah rumah tangga berisi 4 orang, ini berarti dapat menghasilkan sampah dari sisa makanan sekitar 1,2 ton per tahun yang setara dengan 60 kg gas metana. Sungguh angka ini membuat kita terperangah. Dari perilaku yang kita anggap sepele namun mempunyai dampak yang sangat besar yakni pemanasan global. Fenomena pemanasan global ini sudah kita rasakan saat ini dimana frekuensi cuaca ekstrem semakin sering.

Sudah selayaknya kita memberi pengetahuan dan perilaku jangan menyisakan makanan sejak dini. Ajarkan kepada anak-anak kita bahwa dengan menyisakan makanan berarti kita membuat bumi lebih panas, hidup tidak nyaman dan menghancurkan tempat tinggal kita sendiri. Salah satu perilaku yang bisa kita ajarkan pada anak-anak kita misalnya jika makanan yang kita makan di rumah makan bersisa, sebaiknya sisa makanan tersebut minta dibungkus. Lalu bawa pulang dan dihabiskan di rumah. Mungkin masih banyak lagi cara yang bisa kita contohkan. Karena mencontohkan tidak menyisakan makanan di lingkungan keluarga akan lebih mudah ketimbang mengelola sisa makanan yang sudah bertumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Penulis: Dr. Nofi Yendri Sudiar, dosen Fisika Lingkungan Universitas Negeri Padang.

Nofi Yendri Sudiar