Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Nofi Yendri Sudiar
Ilustrasi kucing. (Shutterstock)

Tahukah kamu dengan kucing Schrödinger? Kucing Schrödinger bukanlah seekor kucing sesungguhnya, melainkan adalah kucing imajiner yang diciptakan Erwin Schrödinger (1887-1961) seorang Fisikawan Austria sekaligus bapak fisika kuantum pada tahun 1935.

Schrödinger membuat ekperimen dalam pemikirannya. Dia membayangkan seekor kucing yang dimasukkan ke dalam sebuah kotak bersamaan dengan botol kecil yang berisi racun. Jika ada aktivitas peluruhan radioaktif dari racun tersebut, maka racun itu akan jatuh dan membunuh si kucing.

Aktivitas radioaktif tersebut mamakai prinsip fisika kuantum yang berisi probabilitas (antara meluruh dan tidak meluruh) atau dikenal juga dengan istilah superposisi.

Schrödinger yang mengamati dari luar kotak tentu tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Apakah si kucing hidup? Apakah si kucing mati? Pertanyaan ini memiliki jawaban superposisi.

Schrödinger menyimpulkan bahwa si kucing di dalam kotak dalam keadaan hidup dan mati secara bersamaan. Bagaimana mungkin ada keadaan mati dan hidup secara bersamaan. Inilah paradoks kucing Schrödinger tersebut.

Schrödinger dan Virus Corona

Jika kita ganti kisah kucing Schrödinger ini dengan wabah COVID-19 saat ini, maka kitalah yang menjadi kucing tersebut. Kita berada dalam kondisi superposisi. Pemerintah dibuat pusing dalam mengambil kebijakan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 ini. Berbagai opsi bermunculan seperti lockdown atau karantina.

Jika karantina dilakukan maka secara bersamaan kegiatan ekonomi akan lumpuh. Seruan lain yang sering digaung-gaungkan adalah untuk tetap berada di rumah, bekerja dari rumah, dan diam di rumah.

Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang dan pangan kita harus keluar rumah. Inilah bentuk kondisi mati dan hidup secara bersamaan ala kucing Schrödinger.

Sampai saat ini wabah COVID-19 di Indonesia telah banyak memakan korban. Tercatat sampai tanggal 12 April 2020 korban meninggal sebanyak 373 orang. Dari jumlah tersebut salah satu korbannya adalah tim medis, di mana sudah lebih dari 30 orang yang meninggal dunia.

Banyaknya tim medis yang menjadi korban dikarenakan mereka terpapar oleh pasien yang positif terkena COVID-19. Akumulasi paparan dari pasien membuat mereka menjadi korban juga.

Seakan-akan kondisi ini seperti pameo buah simalakama, jika tidak obati pasien mati, jika diobati tim medis yang mati. Ini juga paradoks kucing Schrödinger pada kasus penanganan wabah COVID-19 di Indonesia.

Paradoks Kucing Schrödinger 

Bentuk lain paradoks kucing Schrödinger adalah bagi para pekerja harian, seperti pedagang kaki lima, buruh harian, pengendara ojek online maupun ojek pangkalan dan lain sebagainya. Mereka menggantungkan hidup dari pengahasilan tiap hari.

Jika tidak keluar rumah, maka mereka tidak makan. Jika keluar rumah ancaman virus di mana-mana. Kondisi sulit ini terjadi secara bersamaan. Keputusan untuk tetap berada di rumah adalah bentuk menghindari paparan virus namun disaat bersamaan paparan kelaparan menggerogoti mereka. Begitu juga sebaliknya.

Saat ini kawasan Jabodetabek telah melakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan tujuan memutus rantai penyebaran COVID-19. PSBB ini diberlakukan agar membatasi aktivitas orang-orang dalam suatu kegiatan yang menimbulkan suatu kerumunan atau yang melibatkan orang banyak.

Jika kedapatan ada masyarakat yang melanggar PSBB maka akan dikenakan sangsi hukum. Sampai saat ini kita belum mengetahui apa bentuk sangsi hukumnya.

Seandainya sangsi hukum berupa penahanan, maka ini adalah bentuk kegiatan mengumpulkan orang yang secara otomatis melanggar PSBB. Lalu jika sangsinya tidak jelas atau tidak tegas dapat dipastikan akan banyak masyarakat akan melanggar PSBB ini.

Satu lagi hal menarik yang dapat kita amati adalah banyaknya pasien maninggal yang dikubur dengan protap COVID-19. Pasien tersebut meninggal sebelum keluar hasil tes swabnya. Apakah pasien tersebut positif terinfeksi corona? Kita tidak akan benar-benar tahu sebelum kotak dibuka (ada pengamatan).

Sebelum ada hasil tes yang keluar, kita tidak benar-benar tahu apakah pasien tersebut positif atau negatif. Posisinya adalah separuh positif dan separuh negatif.

Lalu apakah kita sebagai kucing Schrödinger akan hidup atau mati dalam melawan COVID-19 ini? Tidak seorangpun yang tahu sebelum kotak dibuka (wabah ini berakhir). Artinya dalam hidup ini kita tidak ada dalam posisi setengah hidup atau setengah mati. Yang ada adalah persentase hidup dan mati adalah 50 persen atau dengan kata lain kita hidup dan mati secara bersamaan.

Oleh: Dr. Nofi Yendri Sudiar / Dosen Fisika Universitas Negeri Padang.

Nofi Yendri Sudiar