Indonesia dan seluruh dunia tengah menghadapi masa-masa berat. Pasalnya wabah penyakit dengan isu yang simpang siur mengenai COVID-19 terus merajalela. Saat ini, berbagai aspek dalam lingkup sosial mengalami penurunan yang signifikan.
Hal ini bukan hanya terjadi pada industri pangan, pariwisata namun hingga bisnis media. Adanya isu mengenai wabah COVID-19 di tengah masyarakat merupakan salah satu pemicu penurunan kredibilitas dari sebuah media.
Media sosial memiliki banyak ragam di tengah masyarakat saat ini. Media pada umumnya, sejak dulu mempunyai andil besar dalam pembentuk opini masyarakat. Bentuk komunikasi yang paling terkena dampak dalam bisnis media adalah iklan di media. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu pemicu turunnya aktifitas belanja media yang dilakukan oleh masyarakat.
Hal ini akhirnya berpengaruh pada keputusan media untuk tetap menjalankan iklan pada platform masing-masing atau justru menghentikan iklan berbayar karena permintaan yang sedikit. Dalam hal ini penulis mengamati media dari aspek ekonomi media dalam melihat informasi COVID-19 yang beredar serta keputusan saat melakukan iklan pada platform-nya.
Pada kasus COVID-19 penyebaran informasi sangatlah berpengaruh dalam membentuk opini publik hingga terjadinya tindakan. Jika dalam media massa, dapat kita ambil dari sudut pandang Teori Agenda Setting. Media massa mengatur apa yang kita lihat, tokoh siapa yang harus kita dukung. Hal ini dapat diartikan sebagai agenda media akan menjadi agenda khalayak.
Penulis melihat adanya pembentukan agenda media dalam isu COVID-19 sejak tersebar di Negeri China. Pemberitaan media massa mengenai bahaya virus COVID-19, sudah menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat hingga saat ini.
Hal ini selaras dengan penyampaian oleh Nurudin (2007 : 196), bahwa teori agenda setting lebih banyak membahas mengenai media dalam kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu
Media sosial berbeda dengan media massa, walaupun beberapa media memilih untuk tetap menyampaikan secara cetak kemudian membuat yang lebih ringkas pada media sosial atau berita online. Menurut Sinclair (2016 : 8), keberadaan media sosial memiliki tingkat popularitas lebih daripada media massa sejak memasuki abad ke-21.
Media sosial menampilkan bentuk komunikasi dengan ranah yang lebih kreatif dan lebih menarik. Hal ini bisa dilihat dari berbagai bentuk online display advertising yang menjadi pembeda antara media baru dengan media tradisional.
Menurut Couldry & Turow (2014), beragam konten editorial dan iklan seperti di media massa, lebih banyak dilihat di media sosial karena keterjangkauannya dengan pemetaan target individual (dalam Sinclair 2016 : 8).
Keberlangsungan media online, diawali dari pembelanjaan iklan yang disalurkan melalui platform-platform digital. Kompas.com pada Februari 2019 membahas mengenai jumlah pembelanjaan iklan Indonesia mencapai Rp40 triliun dalam setahun.
Program Director Mobile Marketing Association (MMA) Indonesia, menyatakan bahwa persentase belanja iklan Indonesia masih memiliki kesempatan untuk naik karena masih berkisar sebanyak 6 persen dari total belanja iklan keseluruhan (Kompas.com, 2019).
Kesempatan belanja iklan akan semakin meningkat juga didukung dengan penggunaan smartphone. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Country Manager MMA Indonesia, bahwa Indonesia merupakan mobile first market artinya pengguna internet jauh lebih banyak terkoneksi melalui perangkat mobile ketimbang desktop.
Di tahun 2019, masyarakat dan pengamat media melihat peluang media sosial semakin gemilang dengan perencanaan media yang di dalamnya termasuk belanja iklan. Namun kini memasuki bulan ketiga tahun 2020, beberapa media melihat industri lainnya melemah dan berimbas pada pergerakan ekonomi media.
Facebook sebagai salah satu media sosial yang memiliki nilai belanja iklan tinggi, menyampaikan tanggapan mereka terkait wabah COVID-19. Melansir dari tekno.okezone.com (2020), membahas mengenai kondisi Facebook yang mengalami kenaikan penyebaran pesan tentang wabah COVID-19 sebanyak 50 persen dibandingkan bulan Februari. Facebook juga memberikan tanggapan bahwa bisnis iklan di sejumlah negara mengalami penurunan drastis.
Facebook mengalami penurunan belanja iklan karena adanya lockdown dan karantina di hampir setiap negara saat ini. Cahya dalam Merdeka.com (2020), menuliskan data dari Busines Insider, dari VP Analytic dan VP Engineering, Alex Schultz dan Jay Parikh bahwa beberapa hal positif meningkat 50 persen pada pesan. Sedangkan pada group call, naik sebanyak 1.000 persen di Italia dan beberapa negara lainnya.
"Bisnis kami terpengaruh secara buruk seperti banyak orang lain di seluruh dunia. Kami tidak memonetisasi banyak layanan di mana kami melihat banyak peningkatan engagement, dan kami melihat melemahnya bisnis iklan di negara-negara dengan tindakan agresif untuk mengurangi persebaran COVID-19," tulis kedua eksekutif tersebut di blog resmi Facebook. (Cahya, diakses dari Merdeka.com. 2020)
Pandemik COVID-19 menjadi perbincangan publik dan tengah menjadi ancaman bagi beberapa media sosial, salah satunya adalah Facebook. Belanja digital menurun drastis dan mempengaruhi kinerja media sosial dalam pembatasan iklan mereka.
Facebook sebagai platform yang hidup dari media beriklan menyadari betul bahwa keinginan konsumen mereka menurun sejak adanya wabah ini. Namun sebagai organisasi mereka tetap memberikan lahan informasi bagi konsumennya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh VP Facebook, bahwa mereka mengalami kenaikan positif pada ranah pesan yang tersebar dan group call.
Di tengah kasus COVID-19, penulis mengamati bahwa masing-masing media mempunyai nilai-nilai organisasi yang mereka bawa. Nilai-nilai inilah yang akan membentuk agenda setting yang ingin mereka ciptakan di tengah publik dengan tidak melepaskan hasil akhir yakni, pertumbungan supply dan demand terhadap media tersebut. Kebutuhan akan berita dan informasi oleh semua kalangan saat ini sangat diperlukan oleh semua pihak.
Penulis mengamati bahwa media mengambil jalan tengah untuk terus memberikan opini dan kebenaran fakta yang ditemukan di lapangan mengenai isu COVID-19. Namun sejalan dengan hal tersebut, pihak organisasi gencar dan terus berusaha menarik perhatian publik dengan memberikan informasi yang beragam pada lini pemberitaan mereka.
Media sosial seperti Facebook, menurut Sinclair (2016 : 11) harus memiliki kemampuan beriklan yang baik dengan cara menargetkan calon konsumen mereka tidak hanya dengan kriteria demografi namun juga memiliki jejak kepentingan pribadi hingga mobilitas fisik secara real time. Penulis menanggapi hal ini sebagai salah satu strategi yang baik untuk melihat peluang saat kapan media beriklan mampu ditunjukkan lagi.
Saat krisis seperti ini, Facebook perlu memberikan kebebasan yang lebih dengan tetap membatasi penggunaan platform untuk menyebarkan berita hoax. Sinclair dalam Advertising and Media in the Age of the Algorithm (2016 : 11), menunjukkan bahwa industri periklanan harus menyesuaikan diri dengan media baru atau penggunaan daring yang lebih terbarukan. Hal ini dikarenakan media global telah mendominasi agen periklanan dan IT untuk mempercepat proses komunikasi pada konsumen dengan jangkauan seluruh dunia.
Isu mengenai wabah COVID-19 menjadi bagian penting bagi media dalam berperan aktif terkait kekuatan menyuarakan suara rakyat. Media harus memiliki saringan dalam memberikan ruang komunikasi bagi para penggunanya.
Adanya pandemi COVID-19 harus dipandang serius dalam bisnis di saat masa krisis ini, karena bisa jadi media mengalami trauma berkepanjangan untuk tetap memberikan lahan gratis bagi penggunanya. Namun perlu disadari dasar dari adanya media adalah keterjangkauan komunikasi di seluruh dunia. Walaupun sisi ekonomi, dalam hal ini nilai belanja digital sangat menurun baiknya media tetap memberikan ruang tersebut agar tetap dipercaya oleh publik.
Media sosial juga perlu mempersiapkan diri menghadapi pasca krisis. Kebutuhan akan berita dan informasi saat ini sangat diperlukan oleh semua pihak. Penulis mengamati bahwa media mengambil jalan tengah untuk terus memberikan opini dan kebenaran fakta yang ditemukan di lapangan mengenai isu COVID-19. Namun sejalan dengan hal tersebut, pihak organisasi gencar dan terus berusaha menarik perhatian publik dengan memberikan informasi yang beragam pada lini pemberitaan mereka.
Saat ini bisa dikatakan media sosial, seperti Facebook perlu menunjukan bahwa industri periklanan harus menyesuaikan diri dengan keadaan karena sebagai media global telah mendominasi agen periklanan dan IT untuk mempercepat proses komunikasi pada konsumen dengan jangkauan seluruh dunia.
Oleh: Samantha Elisabeth Claudya L. / Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi UAJY
Baca Juga
-
Kim Hee-won Akui Sempat Ingin Mundur saat Sutradarai Drama Korea Light Shop
-
Pantai Ba'batoa, Rekomendasi Wisata Nikmati Sunset di Polewali Mandar
-
Kamatian Patut Dirayakan dalam Buku Ikan-Ikan dari Laut Merah Karya Danarto
-
Harvey Moeis dan 6,5 Tahun: Logika Hukum atau Ironi Publik?
-
Tampil Baik, Ini 3 Pemain yang Wajib Masuk Timnas Indonesia untuk Sea Games 2025
Artikel Terkait
-
Bisnis Deryansha Azhary, CEO Kasisolusi yang Dirujak Warganet Gegara Minta Publik Tak Reaktif pada PPN 12%
-
Lewat Strategi Ini UMKM Bisa Tingkatkan Penjualan dan Penuhi Kebutuhan Pelanggan
-
Nasabah PNM Mekaar Asal Lampung Raih Penghargaan Aksi Nyata Bela Negara
-
Perkembangan Teknologi Lifting Equipment yang Meningkatkan Efisiensi Industri
-
VIDA Raih Sertifikasi Global, Buka Peluang Bisnis Identitas Digital Lebih Luas
News
Terkini
-
Kim Hee-won Akui Sempat Ingin Mundur saat Sutradarai Drama Korea Light Shop
-
Pantai Ba'batoa, Rekomendasi Wisata Nikmati Sunset di Polewali Mandar
-
Kamatian Patut Dirayakan dalam Buku Ikan-Ikan dari Laut Merah Karya Danarto
-
Harvey Moeis dan 6,5 Tahun: Logika Hukum atau Ironi Publik?
-
Tampil Baik, Ini 3 Pemain yang Wajib Masuk Timnas Indonesia untuk Sea Games 2025