Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Adela
Ilustrasi ojek online. (mobimoto.com)

Sejak ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020, wabah yang pertama kali dideteksi di Kota Wuhan, Provinsi HubeiTiongkok pada bulan Desember 2019 ini tentunya telah memberikan dampak yang cukup besar terutama bagi perekonomian.

Banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19 ini. Salah satunya dengan menutup semua sekolah dan juga kampus di seluruh Indonesia. Akibatnya seluruh siswa sampai mahasiswa harus belajar di rumah atau dikenal dengan nama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Tak hanya itu, pemerintah juga membuat hukum pidana terkait virus ini. Yang dimaksud adalah pasal 218 KUHP, berbunyi “Barangsiapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta pengelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

Pasalnya pemerintah akan memberlakukan sistem lockdown hampir di semua wilayah Indonesia. Namun, kebijakan tersebut membuat masyarakat Indonesia menjadi dilema karena hanya diperbolehkan di rumah saja.

Kebijakan pemerintah melakukan sistem lockdown ini ternyata tidak menciptakan solusi bagi masyarakat. Terutama masyarakat menengah ke bawah, dimana mereka yang hanya bisa mengandalkan upah harian. Salah satunya adalah para driver ojek online.

Pada zaman yang serba modern seperti sekarang ini, tentunya ojek online menjadi solusi paling tepat, namun sejak virus COVID-19 menyerang Indonesia, ojek online tentu saja kehilangan penghasilan yang biasanya didapatkan. Ini menjadi masalah yang cukup besar untuk keberlangsungan hidup mereka, terutama bagi yang telah berkeluarga.

Untuk itu, pemerintah mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan social distancing, artinya untuk membatasi kunjungan ke tempat ramai dan menghindari kontak langsung dengan orang lain.

Di samping itu juga, masyarakat dihimbau untuk sering mencuci tangan dengan benar, menjaga kesehatan imun tubuh, menerapkan etika bersin dan batuk, dan menggunakan masker ketika pergi ke luar rumah. Hal-hal tersebut tentunya harus dipatuhi oleh setiap lapisan masyarakat untuk sama-sama menghadapi penyebaran virus COVID-19 ini.

Pak Nanang (35 tahun) salah satu driver ojek online, yang masih menerima orderan tentu saja khawatir tertular, namun rasa kekhawatirannya itu masih terkalahkan dengan rasa tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga di rumah.

Menurutnya, tak banyak orderan yang bisa didapat per hari, tapi daripada tidak sama sekali sehingga ia memilih untuk tetap keluar rumah dan menerima orderan. “Hal ini terjadi karena semua sekolah dan kampus di Garut ditutup sementara, sehingga siswa atau mahasiswa yang biasa menggunakan jasa ojek online ini tidak ada," tuturnya.

Orderan yang didapat Pak Nanang pun hanya pesan antar makanan atau pengiriman barang. Itupun sangat jarang. “Paling banyak 6 atau 8, di masa sulit seperti ini kan orang-orang di rumah saja sehingga bisa masak sendiri, lalu untuk pengiriman barang apalagi. Susah sekali dapet orderan," ungkapnya.

Kondisi-kondisi ini menjadi hal yang sangat memprihatinkan, bagaimana tidak. Para ojek online di Garut yang rata-rata usianya tak lagi muda justru harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan di rumah. Virus kecil tak kasat mata ini, telah memberikan dampak yang besar bagi keberlangsungan hidup manusia.

Namun dibalik itu semua, Rudi Gunawan selaku Bupati Garut memberikan bantuan kepada Kepala Keluarga (KK) yang bersumber dari Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Bantuan tersebut berupa beras dan ayam sebagai makanan pokok yang diharapkan dapat membantu masyarakat menengah kebawah di masa pandemi COVID-19 ini.

Pak Nanang mengungkapkan, “Bantuan yang diberikan oleh Bupati betul-betul sangat bermanfaat, karena bantuan ini tidak hanya ada di saat pandemi COVID-19 namun di setiap bulan sebelum terjadinya masa pandemi COVID-19.”

Oleh : Adela/Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta

Adela