Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | reza purwodjati
Donald Trump (Alex Brandon/AP Photo)

Amerika menjadi negara nomor 1 dengan kasus COVID-19 terbanyak di dunia dengan angka 2.727.853 per tanggal 1 Juli 2020, dan juga kasus kematian akibat COVID-19 terbanyak di dunia dengan angka 130.122 per tanggal 1 Juli 2020 menurut data Worldmeter.com.

Trump dan pemerintahannya dinilai gagal dalam melawan COVID-19. Trump dikenal sebagai presiden yang kental akan kepercayaan diri yang sangat tinggi, dan karismatik. Sayangnya kepercayaan diri Trump yang merupakan cikal bakal dari pandangan optimistiknya berbuah malapetaka yang berdampak ke seluruh masyarakat Amerika.

Pada awal bulan Februari presiden Trump secara terbuka mengatakan “the Coronavirus [was] very much under control.”, pernyataan ini tidak diikuti oleh kebijakan yang selaras untuk melawan COVID-19. Nyatanya Trump tidak melaksanakan berbagai tindakan preventif yang ditujukan untuk mencegah virus COVID-19.

Negara lain seperti Korea utara tidak menyepelekan virus ini, dan menganggap virus ini sebagai ancaman yang nyata, dengan mengadakan 720.000 masker bagi para karyawan yang bekerja selama masa pandemi untuk mencegah penyebaran virus COVID-19.  

Kurangnya tindakan preventif tersebut mengindikasikan bahwa Trump tidak mengambil secara serius betapa berbahayanya virus COVID-19, pada awal bulan maret kemarin Donald Trump juga menolak untuk menutup Amerika sebagai tindakan mengurangi penyebaran COVID-19, sebaliknya ia mencuit di laman twitternya

So last year 37,000 Americans died from the common Flu. It averages between 27,000 and 70,000 per year. Nothing is shut down, life & the economy go on. At this moment there are 546 confirmed cases of CoronaVirus, with 22 deaths. Think about that!

(COVID-19 Spreading in US Too Fast to Control, CDC Expert Says, 2020) dari pernyataan tersebut Trump mengkomparasikan virus COVID-19 dengan virus flu biasa. Sayangnya pernyataan tersebut langsung dipatahkan oleh fakta bahwa sampai saat ini kematian oleh virus COVID-19 sudah berada di angka 519.083 jiwa 7 kali lipat lebih banyak daripada kematian yang disebabkan oleh flu di Amerika. 

Hal ini juga ditambah dengan minimnya dana yang dikucurkan kepada CDC atau Center of Disease Control. Pada tahun 2018 Trump memotong kucuran dana kepada CDC dalam hal penanganan pandemi sebesar 80%.

Mungkin pada tahun 2018 hal tersebut dilihat sebagai tindakan yang benar, terlebih Trump memiliki gaya kepemimpinan yang erat dengan dunia bisnis, sehingga ia mencoba sedemikian rupa untuk meningkatkan ekonomi dibanding hal lainnya.

Kurangnya dana yang dikucurkan ini sangat berdampak pada penangan COVID-19 di Amerika, Robert Redfield selaku Direktur dari CDC mengatakan “The truth is we’ve underinvested in the public health labs,”  ditambahkan lagi olehnya “There’s not enough equipment, there’s not enough people, there’s not enough internal capacity, there’s no search capacity,”.

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa CDC sebagai lembaga yang kesehatan yang menangani COVID-19 “tidak didukung” oleh pemerintah, yang mana menyebabkan kurangnya Test COVID-19 dan juga perlengkapan bagi tenaga medis seperti APD, masker dan perlengkapan lainnya. 

Kekalahan Trump dalam perang melawan COVID-19 ini bisa menjadi contoh negara-negara lain untuk selalu siap akan sesuatu yang tidak disangka-sangka dan selalu memiliki tindakan preventif untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan juga untuk tidak menyepelekan masalah sekecil apapun.

Namun dapat diperkirakan bahwa perang melawan COVID-19 masih berlangsung dan diperkirakan akan berlangsung cukup lama. Kekalahan Amerika sekarang masih bisa dibilang kekahan kecil, jika Amerika tidak dapat mengambil langkah untuk mengejar COVID-19, akan semakin banyak orang yang terpapar COVID-19 dan semakin banyak angka kematian yang ada.

reza purwodjati

Baca Juga