Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | faridah n.a
Pedukuhan Ngruno, Kulon Progo (dok istimewa)

Sejarah Kelurahan Karangsari

Pada awalnya Kelurahan Karangsari merupakan gabungan dari 3 kelurahan yang berbeda yaitu Kelurahan Kedungtangkil, Beji, dan Josutan. Menurut keterangan dari Simbah Mangun Kelurahan Karangsari terbentuk pada tahun 1949, namun menurut keterangan dari Kepala dukuh Ngruno Bapak Suryadi Karangsari berdiri sejak 31 Januari 1947 yang kemudian langsung mengadakan pemilihan lurah.

Dinamakan karangsari karena dulu hasil panennya berupa buah kelapa yang dikarang. Kelurahan Karangsari sendiri juga berasal dari dua kata yaitu karang yang berarti batu dan sari yang memiliki arti kemakmuran. Terbentuknya Kelurahan Karangsari bersamaan dengan peristiwa kembali berfungsinya Ibu Kota Yogyakarta setelah berhasil direbut dari penjajah Belanda atau dikenal dengan istilah Jogja Kembali.

Sejarah Pedukuhan Ngruno

Sejarah Pedukuhan Gunung Pentul, Ngruno, dan Suruhan saling berkaitan. Ketiga pedukuhan tersebut sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Sejarah ketiga pedukuhan tersebut dimulai dengan 12 trah keturunan seorang kyai yang menjadi orang yang pertama kali tinggal di pedukuhan tersebut yaitu Kyai Maya Arum.

Kyai Maya Arum meninggalkan bukti sejarah keberadaannya dengan membuat petilasan yang berupa Sumur Jambe. Kyai Maya Arum meninggal di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Keturunan-keturunan Kyai Maya Arum inilah yang kemudian menjadi orang-orang yang mula-mula menempati Pedukuhan Gunung Pentul, Ngruno, dan Suruhan.

Kyai Maya Arum mempunyai putra bernama Kyai Kebo Mati yang berada di Gunung Malang. Lalu Kyai Kebo Mati mempunyai putra bernama Kyai Merak Mati dan bertempat di Dusun Pranta. Ketika Kyai Merak Mati bertapa, ada seekor burung merak yang terbang lalu mati dihadapannya.

Karena itulah kemudian dinamakan Kyai Merak Mati. Petilasannya berupa sumur yang dinamakan Sumur Blimbing. Kemudian Kyai Merak Mati mempunyai putra bernama Kyai Eyang Tanugati. Makam Kyai Eyang Tanugati berada di Gunung Watu Iter. Kemudian Kyai Eyang Tanugati mempunyai putra yaitu Kyai Talap yang membuat petilasan yang dinamakan Sumur Sawah.

Kyai Talap kemudian mempunyai putra yaitu Kyai Eyang Alimudin. Kyai Eyang Alimudin kemudian diberi perintah untuk memimpin Pedukuhan Suruhan dan letak makamnya berada di Pedukuhan Suruhan. Kemudian beliau mempunyai putra bernama Wana Lesana. Makamnya berada di Jetis, yang sebelumnya bernama Demang. Kemudian Wana Lesana berputra lagi Eyang Wana Kersa.

Beliau juga berada di Gunung Watu Iter. Makamnya bersebelahan dengan Kyai Eyang Tanugati. Kemudian Eyang Wana Kersa mempunyai putra bernama Wana Kerta yang merupakan eyang buyut dari Bapak Mangun Wiharjo. Wana Kerta merupakan putra kedua dari Eyang Wana Kersa. Sedangkan saudara-saudara kandungnya bernama Wana Lasa, Sadipta, dan Wangsa Lesana.

Berdasarkan perintah Kyai Eyang Tanugati, dahulu ada seseorang yang bernama Kyai Cawi Runa yang menempati Gunung Tengah. Kyai Cawi Runa mempunyai istri yang bernama Nyai Kembang Asih. Karena namanya Nyai Kembang Asih, tempat tersebut dinamakan dengan Dusun Kembang, di antaranya ada Kembang Watu Ireng dan Wangan.

Dulu, Nyai Kembang Asih memanen ketela di gunung, yang kemudian gunung tersebut dinamakan Gunung Tela. Sebelum memanen buah ketela, Nyai Kembang Asih berjalan melalui Gunung Cilik. Namun di tengah perjalanan, Nyai Kembang Asih dibegal oleh Begawan Patuk Ugra. Sesudahnya, tempat tersebut dinamai Gunung Pranta. Kemudian yang menolong Nyai Kembang Asih adalah Kyai Sigar Penjalin yang kemudian tempat tersebut dinamakan Gunung Penjalin. Tempat pertemuan tersebut adalah tempat yang kini menjadi Pedukuhan Gunung Pentul.

Setelah itu, Nyai Kembang Asih diantar pulang oleh Kyai Tasura ke Gunung Tengah. Tempat tersebutpun akhirnya dinamai Gunung Tasura. Kemudian ketika Nyai Kembang Asih melewati Gunung Alas Gung, bagor atau kantong yang digunakan untuk membawa ketela terjatuh di sebelah selatan Gunung Tasura. Lalu tempat tersebut dinamakan Gunung Bagor.

Nyai Kembang Asih dan Kyai Cawi Runa menetap di Gunung Tengah. Oleh karena itu, tempat tersebut dinamakan Dusun Ngruno. Karena orang yang pertama menempatinya adalah orang yang bernama ‘Runa’. Namun karena pelafalan bahasa Jawa selalu diberi imbuhan nasal, maka menjadi ‘Ngruna’.

Dulu sebenarnya Kyai Eyang Tanugati sempat ingin mendirikan masjid di pedukuhan tersebut. Namun rencana tersebut gagal, karena beliau dipanggil ke Demak untuk membantu membangun Masjid Demak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kyai Eyang Tanugati ada pada masa pemerintahan Kerajaan Demak. Sedangkan Kyai Maya Arum, Kyai Kebo Mati, dan Kyai Merak Mati ada ketika masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah yang menyebabkan tiga kelurahan harus dijadikan satu. Pada mulanya Pedukuhan Ngruno masih menjadi bagian dari Kelurahan Kedungtangkil.

Pada masa penjajahan Belanda, Pedukuhan Ngruno menjadi tempat yang relatif aman. Karena tidak menjadi lokasi perang. Namun tetap ada beberapa warga yang berangkat untuk berperang di wilayah Slarong. Dahulu, warga kelurahan Karangsari banyak yang memanfaatkan pohon kelapa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Hal ini tentu saja karena di Kelurahan Karangsari banyak ditumbuhi pohon kelapa. Kini, mayoritas warga hanya bekerja sebagai buruh maupun karyawan yang merantau ke pusat kota Jogja terutama para pemuda. Selain itu juga dulu banyak warga yang menanam palawija yang berupa jagung dan benguk. Namun tetap saja yang menjadi pokok utama mata pencaharian warga berasal dari pohon kelapa.

Kebudayaan dan Tradisi di Pedukuhan Ngruno

Kebudayaan yang ada di Pedukuhan Ngruno, Kedungtangkil, dan Gunung Pentul yaitu Jathilan. Kesenian ini berkaitan erat dengan nama Pedukuhan Gunung Pentul karena dalam pertunjukan jathilan, ada seorang tokoh yang bernama Penthul. Kesenian jathilan juga menjadi media untuk mensyiarkan agama Islam. Selain itu ada pula kesenian yang biasa disebut dengan selawatan.

Selawat yang dilantunkan adalah selawat Nabi yang diiringi dengan terbang atau rebana. Kesenian lain yang pernah ada di Pedukuhan ini adalah kethoprak dan wayang. Dulu ada seorang dalang bernama Ki Sugito yang berperan aktif dalam melestarikan Seni Pedalangan. Namun setelah beliau meninggal, kesenian tersebut terhenti dan kini hanya menyisakan putra-putranya.

Dulu ada beberapa tradisi yang pernah ada, yaitu merti dusun, nyadran, ruwahan, wayangan. Wayangan ini diadakan pada masa kepemimpinan Mbah Masengadi ketika menjabat sebagai kepala dusun. Namun khusus untuk tradisi wayangan sudah tidak dilanjutkan lagi mengingat faktor biaya yang cukup besar, sedangkan untuk tradisi lainnya  sedang tidak dilaksanakan akibat dari pandemi Covid-19.

Di Pedukuhuhan Ngruno sendiri masih ditemukan tradisi pemakaman yang unik, dimana masyarakat Ngruno ketika memakamkan sanak saudaranya masih ada yang menggunakan Kijing Jati yang mana nantinya jika setiap keturunannya memiliki hajat kemudian berjanji akan Ngijing makam keluarganya dan hajat yang diinginkan terkabul, yang bersangkutan akan menumpuk Kijing Jati yang sudah ada, sehingga nisan atau Kijing nya akan semakin tinggi.

Para warga juga masih mempercayai mitos. Contohnya apabila ingin mendapatkan kenaikan pangkat, maka dapat berziarah ke makam Kyai Eyang Tanugati. Selain itu pernah ada pula warga yang mencoba tinggal di sekitaran makam Kyai Kebo Mati di Gunung Malang. Namun karena tempat tersebut memiliki kekuatan spiritual yang sangat tinggi.

Pada akhirnya warga yang tinggal itu meninggal. Juga mitos adanya Kayu Jati bahan pembangunan Masjid yang tidak jadi dibangun oleh Eyang Tanugati yang masih tersimpan di alam ghaib di sebuah sungai dibelakang masjid Ngruno yang dekat dengan Petilasan KedungMigit.

faridah n.a

Baca Juga