Tidak terasa, kita sudah memasuki setengah tahun berlangsungnya wabah virus korona. Dampak dari virus ini seolah sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Secara perlahan, pandemi Covid-19 mengubah kebiasaan kita dan juga memungkinkan perubahan ini untuk terus bertahan, meski wabah ini nantinya telah selesai.
Korona telah menjadi pandemi global. Wabah mematikan ini sudah terjun ke ratusan negara dan telah memakan puluhan ribu korban jiwa.
Rasa takut dan khawatir pasti menghantui setiap orang yang negaranya mengalami pandemi. Begitu juga mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di negeri orang. Selain khawatir terpapar korona dan rindu keluarga di Tanah Air, pasti kebiasaan mereka di sana banyak pula yang berubah karena adanya wabah ini.
Di sini, aku akan membagikan ulang kisah sejumlah mahasiswa Indonesia di negeri orang dalam menghadapi pandemi virus korona di negara yang mereka tempati. Sama dengan mahasiswa di Indonesia, mereka juga (sempat) belajar dari rumah, jauh dari ruang kelas di kampusnya masing-masing.
“Bulan April lalu, Jepang baru memulai larangan ke luar rumah dan bisa dibilang efektif banget untuk mengurangi penyebaran virus. Tanggapan pemerintah lebih ke bantuan berupa uang tunai sih. Setiap orang yang tinggal di Jepang dikasih pemerintah 100.000 yen atau sekitar 15 juta rupiah,” ungkap Antonio Avarel Yanandie, mahasiswa Tohoku Denshi.
Meski korona mencekam, warga Jepang tetap tenang dan patuh mengikuti aturan pemerintah. Yandi juga mengaku bahwa penangan virus korona di Jepang sangat bagus dengan tingkat kesembuhan yang terbilang tinggi.
“Udah kondusif seperti hari-hari biasa sekarang. Kami juga sudah bisa bersekolah tatap muka sejak bulan Juni lalu.”
“Kalau di Tokyo sih mungkin banyak penambahan kasus, tapi angka kesembuhan mencapai lebih dari 50 persen setiap harinya. Kalau di daerahku, kemarin waktu awal-awal paling banyak hanya 1 penambahan kasus setiap harinya. Tapi sejak bulan Juli, penambahan kasusnya hampir setiap hari 0. Aku selalu nge-check di internet setiap hari,” sambung Yandi.
Mahasiswa jurusan Bisnis Internasional ini juga berpesan, “Puas-puasin habisin waktu sama keluarga deh. Di sini aku gak bisa, apa-apa sendirian. Di rumah ya cuma tidur masak ngegame hahaha. Tapi aku menikmati, sih.”
Selanjutnya, ada kisah dari Maria Angelita Widna Permatasari yang tinggal di Berlin, Jerman. Perempuan berusia 20 tahun ini masih dalam persiapannya untuk masuk ke perguruan tinggi jurusan Seni Musik.
“Dari awal Maret semua sudah mulai ditutup, sekolah juga diliburkan. Pokoknya 3 bulan pertama dari hadirnya virus korona, Berlin seperti kota mati.”
“Padahal, Berlin kan kota besar. Tapi sungguh terasa seperti kota mati, deh!” sambung Angel.
Angel bercerita bahwa pemerintah menyediakan bantuan bagi keluarga Jerman yang mengajukan permohonan.
“Tapi gak semua dikasih bantuan, sih. Bener-bener yang membutuhkan aja. Nanti dilihat track recordnya dulu,” tegas Angel.
Angel merasa warga Jerman memang jarang berinteraksi dengan orang lain. “Jadi mau jaga jarak atau tidak, perbedaannya tidak terlalu signifikan.”
Warga Jerman sangat patuh dengan protokol Kesehatan. Saat bulan-bulan pertama lockdown, warga Jerman sangat was-was. “Aku setiap keluar rumah tuh berasa monster, kita sesama manusia pada takut satu sama lain. Di Berlin juga denda 50 euro kalau nggak pakai masker.”
Untuk sekarang ini, Jerman sudah mulai banyak dikunjungi wisatawan. Pemain biola ini juga sudah memulai kegiatannya secara normal: berlatih musik demi persiapannya menuju perguruan tinggi sambil kursus Bahasa Jerman dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Angel juga mengaku sempat berwisata bersama teman-temannya di sebuah danau yang berjarak cukup jauh dari Berlin.
Untuk menutup artikel ini, ada pesan yang ingin disampaikan oleh Angel kepada pembaca. Ia berpesan agar kita semua tetap menjaga kesahatan dan kewarasan. Angel menyarankan untuk membuat jadwal untuk menyusun kegiatan hari demi hari untuk tetap menjaga keproduktifan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
-
Menggali Makna Mahasiswa 'Abadi': Antara Idealisme dan Keterlambatan Lulus
-
Kuliah atau Kerja? Menyiasati Hidup Mahasiswa yang Multitasking
-
Mengikuti Organisasi Kampus: Sekadar Hiburan atau Langkah Menuju Karier?
-
Fenomena Titip Absen dan Dampaknya: Antara Etika dan Solidaritas
News
-
Kesbangpol dan PD IPARI Karanganyar Gelar Pembinaan Kerukunan Umat Beragama untuk Meningkatkan Toleransi dan Harmoni
-
Sukses Digelar, JAMHESIC FKIK UNJA Tingkatkan Kolaborasi Internasional
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
-
Jalin Kerjasama Internasional, Psikologi UNJA MoA dengan Kampus Malaysia
-
Bicara tentang Bahaya Kekerasan Seksual, dr. Fikri Jelaskan Hal Ini
Terkini
-
Eksploitasi dan Kekerasan Seksual Anak Jalanan dalam Novel Sepuluh
-
Ulasan Novel Alster Lake: Kisah Cinta Seorang Penulis di Danau Alster
-
Ulasan Buku 101 Langkah Mengatasi Insecure: Belajar Menjadi Percaya Diri
-
Ulasan Buku Ulama, Pewaris Para Nabi: Mengenalkan Tugas-Tugas Ahli Agama
-
Panggil 26 Pemain untuk Piala AFF Wanita, Garuda Pertiwi Bawa Bekal Positif