Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Tirza Kanya Bestari
Temple Grandin

Autisme adalah gangguan perkembangan sistem saraf yang dapat memengaruhi kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain yang biasa muncul pada usia anak-anak. Temple Grandin adalah tokoh perempuan penderita autis bermental baja, yang mampu melawan masa sulit hingga mampu meraih gelar profesor.

Temple Grandin lahir di Boston, AS, pada 3 Desember 1947. Ayahnya adalah agen properti, Richard Grandin dan ibunya Eustacia Cutler,bekerja sebagai seorang seniman. Belum genap usia 3 tahun, sulung dari empat bersaudara ini mengalami gejala awal autisme, ia benci disentuh, mudah marah dan sangat pendiam.

Seiring berjalannya waktu, gejala autis Grandin semakin parah. Kata dokter, ia mengalami kerusakan otak. Mau tidak mau, Grandin harus menerima perawatan jangka panjang.

Meskipun mengalami banyak keterlambatan dan hambatan dalam perkembangannya, namun secara akademis, Grandin mampu meraih sukses sampai gelar doktor, dan bisa dibilang sebagai orang yang jenius.

Tinggal di rumah bibinya selama liburan musim panas yang memiliki peternakan sapi, ternyata mempengaruhi berbagai aspek kehidupan Grandin. Autisme membuat Grandin menjadi seseorang yang sangat peka terhadap suara, terutama kebisingan.

Grandin menemukan sesuatu yang menarik perhatian: sebuah alat yang digunakan peternak untuk menenangkan sapi yang akan divaksinasi. Ketika Grandin mencoba alat tersebut, ia merasa menjadi lebih tenang. Grandin menemukan bahwa sapi resah dengan suara dan gerakan yang tak terduga, sama seperti dirinya. Hal ini membawa Grandin untuk membuat alat versinya sendiri. Dinyatakan berhasil, alat buatan Grandin ini digunakan untuk terapi autisme sampai sekarang.

“Autisme adalah bagian dari hidupku” ujar Tempel Grandin.

Grandin berhasil mendapatkan gelar psikologi dari Universitas Franklin Pierce pada tahun 1970. Pada tahun 1975, ia juga sukses meraih gelar master pada bidang studi ilmu hewan dari Universitas Arizona. Gelar doktor kembali diperolehnya pada bidang studi ilmu hewan dari Universitas Illinois.

Dalam sekolah pascasarjananya, Universitas Arizona, Grandin meneliti perilaku hewan dan bekerja di industri ternak sebagai bagian dari penelitian pascasarjananya.

Grandin mampu merasakan ikatan khusus dengan ternak, yang membuatnya merasa lebih damai ketimbang harus berinteraksi dengan orang lain. Hal ini membawa Grandin memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya ke rumah pemotongan sapi dan merancang sistem penyembelihan ternak yang lebih manusiawi. Kini, lebih dari setengah ternak di AS dan Kanada ditangani dengan fasilitas yang dirancang oleh Grandin.

 Siapa sangka, pengidap autis ini sekarang bekerja sebagai seorang profesor di bidang ilmu hewan untuk Universitas Colorado dan telah berhasil menerbitkan sepuluh buku.

Kalian bisa menyaksikan lebih jauh tentang kehidupan inspiratif Temple Grandin yang telah diangkat menjadi film dengan judul yang sesuai dengan namanya, Temple Grandin.

Film ini membuatku takjub pada kehidupan Grandin dan membawaku untuk membagikan kepada kalian.

 Grandin telah membuktikan bahwa kekurangan yang dimiliki seseorang tidak semata-mata menjadi penghambat untuk dapat menjalani hidup.

Tirza Kanya Bestari