Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)
Ilustrasi oligarki (adobe stock)

Hampir kurang lebih tujuh bulan lamanya pandemi Covid-19 yang berasal dari Kota Wuhan Hubei China mengubah tatanan kehiduap masyarakat di negara-negara dunia. Virus yang merebak semenjak bulan Maret lalu sampai saat ini masih terus bergejolak. Data WHO menunjukkan ada sekitar 216 negara terjangkit termasuk Indonesia. Sampai detik ini di Indonesia sendiri masih mengibarkan perang dengan pandemi Covid-19. Kasus demi kasus masih terjadi, angka kasus Covid-19 di Indonesia masih terus bertambah sehingga penanganan pandemi Covid-19 menjadi prioritas negara.

Keselamatan warga negara adalah hukum tertinggi yang harus direkognisi oleh siapapun termasuk wakil rakyat sekalipun. Namun dibalik itu semua, di mana kasus pandemi Covid-19 yang semakin tinggi justru di sisi lain seoalah-olah negara berpaling muka dengan memunculkan kebijakan yang tidak terlalu mendesak dilakukan.

Negara sebagai institusi publik memiliki kewajiban dalam mengelola urusan publik, termasuk pelayanan kesehatan dasar. Oleh karena itu pelayanan kesehatan di tengah pandemi adalah kunci yang harus dituntaskan agar pandemi Covid-19 tidak bergejolak keras di tengah publik.

Harus diketahui pandemi Covid-19 masih menunjukkan eskalasinya, di saat bersamaan eksekutif dan legislatif telah menyepakati RUU sapu jagat (omnibus law RUU cipta kerja) yang  akhirnya diketok palu DPR sebagai tanda telah disahkan di tengah hujan interupsi. Walaupun demikian polemik dan tekanan masih terus berlanjut.

Sejak awal hingga akhir RUU tersebut telah cacat secara prosedur dan hal yang lumrah jika pada ujungnya mendapat penolakan dari mayoritas masyarakat. Berbagai protes dilakukan diberbagai daerah mulai dari buruh, mahasiswa, pekerja dan bahkan organisasi massa yang menyatakan RUU tersebut bermasalah.

Memang demonstrasi dalam negara demokrasi menjadi ruang penyalur aspirasi rakyat yang diperbolehkan. Namun pertanyaanya adalah mengapa eksekutif dan legislatif seolah-oleh terkesan terburu-buru mengesahkan RUU sapu jagad di tengah krisis pandemi yang semakin tidak terkendali?

Lantas mengapa RUU yang masih bermasalah tidak diselesaikan dahulu sebelum disahkan? Melalui dua rumusan tersebut penulis mencoba menggambarkan wajah parlemen Indonesia atas relasinya dengan oligarki kekuasaan dalam parlemen membuat produk hukumnya.

Rahim Oligarki Kekuasaan di Parlemen

Parlemen memiliki tanggungjawab kepada publik atas produk hukum yang dibuatnya. Secara prinsip produk hukum yang disahkan harus digunakan untuk kepentingan dan kemanfaatan publik karena parlemen bekerja atas nama wakil rakyat. Namun disahkanya omnibus law RUU cipta kerja harus membuat publik berpikir ulang apakah benar mereka bekerja untuk kita? Kalau kita bedah parlemen Indonesia ada hal menarik yang perlu dipelajari betul.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aidulsyah dan kawan-kawanya (2020) dengan judul “Peta Pebisnis di Parlemen dan Potret Oligarki Kekuasaan” hadirnya tagar reformasi di korupsi serta yang baru-baru ini ialah mosi tidak percaya, sebetulnya itu mencuat karena produk hukum yang disahkan oleh parlemen terkesan tidak mempertimbangkan kepentingan publik.

Hal tersebut dipengaruhi oleh aktor-aktor parlemen Indonesia di mana ada 575 anggota parlemen yang mayoritas berasal dari pebisnis. Aidulsyah dan rekan-rekanya dalam risetnya menemukan jika aktor parlemen Indonesia yang masa kerjanya 2019-2024 ternyata 55% nya adalah pebisnis dan 45% lainya non-pebisnis. Artinya dari 10 orang DPR maka 5-6 nya adalah pebisnis.

Mayoritas berasal dari latar belakang politisi (anggota partai politik).Melihat pemetaan tersebut tentu tidak terelakkan jika keputusan yang diambil akan dipengaruhi oleh latar pebisnisnya walaupun mereka telah menjadi aktor parlemen. Bagaimana aktor parlemen membuat kebijakan tentu dapat dipertanyakan apakah benar-benar menyasar ke publik sebagai masyarakat yang diwakilinya.

Tentu dengan komposisi aktor parlemen yang mayoritas juga sebagai pebisnis besar maka tidaklah salah jika publik mengatakan kebijakan omnibus law yang disahkan secara cacat hukum antara parlemen dan pemerintah mengindikasikan adanya jalinan interaksi keuntungan yang pada akhirnya semakin menumpuk ataupun  mengakumulasi modal keduanya secara tidak absah dan inskontitusional.

Omnibus Law Jalan Memelihara Tahta?

Kebijakan omnibus law cipta kerja yang disahkan pada dasarnya akan menarik investor untuk datang ke negeri gemah ripah ini. Walaupun dengan dalil akan berimplikasi pada kemudahan pekerja, banyaknya lapangan pekerjaan namun di sisi lain juga ada sistem transaksi antara beberapa kelompok tertentu dengan korporasi besar yang saling menguntungkan namun tidak bagi masyarakatnya.

Banyak teriakan yang menyatakan jika kekayaan negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir orang nampaknya tidak bisa terelakkan. Secara konstitusi tentu tidak bisa dibenarkan karena jauh menyimpang dari esesnsi konstitusi UUD 1945 yang menyatakan jika kekayaan negara dikuasai dan dikelola negara semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Lantas untuk kepentingan rakyat yang mana? Dan pertanyaan tersebut akan lebih tepat jika dijawab dengan rakyat yang berdasi dan lantas bagaimana nasib rakyat yang tidak berdasi? Pernahkah sejauh ini negara memikirkan kebutuhan rakyat sehingga rakyat sampai detik ini masih serba kekurangan di tengah kondisi negara yang melimpah akan sumber daya alamnya. SDA nya mengalir ke mana? Ini yang sering kali tidak dipikirkan negara.

Hal tersebut didasarkan memang angka kemiskinan yang masih tinggi apalagi wabah pandemi membuat angka kemiskinan juga semakin melonjak. Namun bagi yang memiliki material melimpah nampaknya pandemi tidak berpengaruh signifikan. Bagi rakyat menengah tentu sangat dirasakan bagaimana di saat yang serba sulit harus menghidupi keluarganya. Sistem demokrasi ini nampaknya terlalu buruk di mana akan membuat orang yang sudah kaya semakin kaya dan rakyat hanya dianggap sebagai objek formal yang akan diperlukan ketika pemilu saja namun setelah terpilih rakyat seolah-olah hilang begitu saja.

Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)