Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Hari Sumpah Pemuda ke-92

Pada 28 Oktober tahun ini, bangsa Indonesia kembali memperingati hari penting yang menjadi tonggak sejarah pergerakan nasional menuju kemerdekaan. Tepat 92 tahun yang lalu, para pemuda dari berbagai penjuru wilayah nusantara berkumpul pada suatu tempat dan mendeklarasikan hasil rumusan dari kongres pemuda II Indonesia yang hingga kini terus diperingati sebagai “Hari Sumpah Pemuda”.

Sumpah pemuda merupakan suatu pengakuan dari pemuda-pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Hal tersebut menjadi bukti kesadaran pemuda-pemudi nusantara akan rasa nasionalisme dan kebangsaan.

Sejarah Perjuangan Pemuda Indonesia

Sejarah menunjukkan bahwa pemuda Indonesia tidak hanya diam, tetapi juga berperan aktif serta berjuang demi bangsa dan negara. Perjuangan pemuda telah dimulai sejak pergerakan nasional, ketika mahasiswa lembaga STOVIA mendirikan organisasi “Boedi Oetomo” sebagai wadah perjuangan para pemuda pada 20 Mei 1908 di Jakarta.

Perjuangan tersebut diikuti sekelompok mahasiswa Indonesia di Belanda yang membentuk suatu organisasi pemuda bernama Perhimpunan Indonesia. Organisasi inilah yang menginisiasi terselenggaranya Kongres Pemuda pada tahun 1928 yang telah melahirkan Sumpah Pemuda.

Peran pemuda Indonesia dilanjutkan melalui usaha memproklamirkan Indonesia merdeka. Pada saat ada kesempatan dan momen yang tepat, para pemuda mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk membacakan proklamasi kemerdekaan.

Setelah merdeka, para pemuda berada di barisan terdepan dalam mempertahankan Republik yang baru merdeka hingga akhirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia benar-benar bebas dan merdeka dari penjajahan.

Tidak berhenti sampai disitu, pemuda juga bergerak dalam melawan ketidakadilan yang terjadi di pemerintahan. Mulai dari tuntutan turunnya orde lama dan orde baru hingga kemudian dengan kesatuan aksi mahasiswanya, pemuda menuntut adanya reformasi pada tahun 1998.

Pemuda dan Pembangunan

Pemuda merupakan aktor intelektual yang kehadirannya diharapkan mampu membawa suatu perubahan bangsa menuju arah yang lebih baik. Menurut Undang-Undang No. 40 tahun 2009, pemuda adalah penduduk berusia 16 hingga 30 tahun yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan.

Dalam sudut pandang demografi penduduk, kelompok umur pemuda masuk sebagai usia produktif, yaitu usia yang dalam perhitungan beban ketergantungan memiliki posisi sebagai penanggung beban penduduk usia tidak produktif.

BPS mencatat, saat ini ada sekitar 64,19 juta jiwa pemuda yang tersebar di wilayah NKRI dan mengisi seperempat jumlah penduduk Indonesia (25,02 persen). Tentu saja angka tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dan akan sangat berarti jika diiringi dengan kualitas yang mumpuni, mengingat mereka adalah aktor dalam pembangunan yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan.

Melihat fakta tersebut, sudah selayaknya pemuda Indonesia mampu berperan lebih aktif sesuai dengan kualitas yang dimiliki, sehingga peran pemuda sebagai katalisator pembangunan semakin terlihat nyata.

Bagaimana Kualitas Pemuda Indonesia?

Kualitas pemuda dapat dilihat dari capaian pendidikan dan kesehatannya. Pendidikan merupakan kunci dari kesejahteraan suatu bangsa. Pernyataan tersebut tentu tidak berlebihan, mengingat investasi yang paling besar dalam pembangunan dan kemajuan negara adalah pendidikan sumber daya manusia yang ada di dalamnya.

Selanjutnya, pembangunan di bidang kesehatan juga merupakan bagian penting dari pembangunan nasional. Pemuda sebagai motor penggerak pembangunan, harus selalu berada dalam kondisi sehat. Hal tersebut diperlukan agar pemuda dapat secara proaktif mengembangkan diri dan mengelola berbagai sumber daya pembangunan untuk kepentingan masyarakat dan negara.

Menurut BPS, pada tahun 2019 pemuda Indonesia mayoritas telah menamatkan pendidikan hingga SMA/sederajat (37,59 persen) dan SMP/sederajat (34,87 persen). Hanya 9,98 persen pemuda yang menyelesaikan pendidikan hingga PT dan sekitar 13,17 persen pemuda yang hanya tamat SD/sederajat, serta sisanya tidak tamat SD atau belum pernah sekolah.  

Apabila dilihat menurut tipe daerah, terlihat bahwa persentase pemuda di perkotaan yang menamatkan pendidikan perguruan tinggi lebih tinggi dibandingkan pemuda di perdesaan (12,63 persen berbanding 6,32 persen). Hal itu juga terjadi pada jenjang pendidikan SMA/sederajat (42,93 berbanding 30,24 persen).

Selanjutnya, tingkat pendidikan pemuda juga tercermin melalui rata-rata lama sekolah, yaitu sebesar 10,63 tahun atau setara dengan kelas 10 di SMA/sederajat. Rata-rata lama sekolah pemuda di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan (11,26 tahun berbanding 9,76 tahun).

Kemudian, untuk mengukur status kesehatan pemuda, salah satu indikator yang digunakan adalah angka kesakitan. Angka kesakitan merupakan keluhan atas suatu penyakit yang dirasakan oleh penderita yang menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan data BPS, 1 dari 5 orang pemuda Indonesia pernah mengalami keluhan kesehatan pada tahun 2019. Selanjutnya, pada tahun yang sama angka kesakitan pemuda Indonesia adalah sebesar 8,78 persen. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa dari 100 orang pemuda Indonesia, ada sekitar 20 orang yang mengalami keluhan kesehatan dan 8 hingga 9 orang diantaranya mengalami sakit.

Saran untuk Pemerintah

Pada bidang pendidikan, Indonesia masih menghadapi tantangan yang cukup besar dalam menjamin akses dan pemerataan pendidikan untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi. Oleh karena itu, permerintah perlu meningkatkan pembangunan dalam bidang pendidikan agar permasalahan tersebut dapat segera diatasi.

Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan pemerataan pendidikan antara wilayah perkotaan dan perdesaan mengingat masih terdapat kesenjangan capaian tingkat pendidikan yang cukup besar antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Kemudian pada sisi kesehatan, sudah seharusnya pemerintah terus berupaya untuk menekan angka kesakitan di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan pembangunan dalam bidang kesehatan, terutama yang bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah, dan merata. Melalui upaya tersebut, diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Penulis: Arif Rahman, Statistisi Ahli Pertama BPS